MUSEUM Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II, memiliki bangunan megah berukuran panjang 32 meter, lebar 22 meter dan tinggi 17 meter dengan berarsitektur eropa yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial mulai 1823 hingga 1825 sebagai rumah dinas Residen Belanda di Palembang. Bangunan ini memiliki dua sisi tangga berbentuk cembung dan masing-masing terdapat 21 anak tangga.
Ternyata, pada arsitektur tangga dengan letak yang demikian itu, hanya boleh pada bangunan pemerintah Kolonial Belanda, atau para pejabatnya (pemungut pajak) bagi warga pribumi. Apabila ada penduduk biasa yang mendirikan bangunan dengan tangga demikian, maka akan dihancurkan atau dirampas dan dijadikan markas bagi tentara atau pejabat pemerintah kolonial.
“Jadi, pada waktu saya kecil dulu, kalau ada masyarakat di Palembang, memiliki rumah dengan bentuk tangga seperti ini, berarti dia pejabat (pemungut pajak zaman Kolonial Belanda). Bedanya, markas pemerintah kolonial jumlah anak tangganya lebih banyak (lebih tinggi),” tutur Abisofyan (guide Museum SMB II) kepada fornews.co beberapa waktu lalu.
Tangga tersebut sekarang, tetap difungsikan yang akan menghantarkan para pengunjung (wisatawan) ke Museum SMB II. Dua sisi tangga masing-masing fungsinya beda (satu arah), di bagian kiri untuk naik dan yang di bagian kanan merupakan tangga turun. Meski tak jarang pengunjung (wisatawan) museum ada yang naik maupun turun di tangga yang sama atau kebalikannya.
Dari sejarah yang tertulis di museum tersebut bahwa bangun berasitektur eropa ini, sebelumnya lokasi berdirinya sebuah keraton yang dibangung oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau dikenal sebutan SMB I, sekitar tahun 1737 masehi. Setelah kekalahan kesultanan Palembang Darussalam dalam peperangan melawan Kolonial Belanda pada 1821 yang ditandai diasingkannya SMB II, selanjutnya keraton dihancurkan.
Penghancuran ini tidak semata-mata dilatari kepentintan untuk mendirikan bangunan bergaya eropa, tetapi lebih dari itu. Dengan dihancurkannya keraton diharapkan kesan monumental dari ikatan emosional antara pemimpin yang diasingkan dengan rakyatnya terputus. Seiring berjalannya waktu dan dinamika sejarah yang terjadi di Kota Palembang, fungsi bangunan ini telah silih berganti, mulai markas jepang pada masa pendudukan, Teritorial II Kodam Sriwijaya di awal kemerdekaan, beralih pengelola ke Pemkot Palembang, sampai akhirnya menjadi Museum.
Nama museum diambil dari nama Pahlawan Nasional asal Palembang, yaitu SMB II. Di masa hidupnya, melakukan tindakan kepahlawanan dan berjasa besar melawan penjajah. Dengan segala kekuatan mempertahankan diri dari serangan belanda yang berarmada lebih masif. Demi keselamatan Palembang dan penduduknya, tanpa sepengetahuan de Kock, pada Mei-Juni 1821 SMB II menyerahkan kekuasaannya kepada keponakannya Prabu Anom. Pada 3 Juli 1821 SMB II ditawan dan dibawa ke Batavia, selanjutnya Maret 1822 diasingkan ke Ternate. SMB II wafat dalam pengasingannya pada 26 September 1852. (ibr/fornews.co)