fornews.co–Ganjis, pelukis wajah Malioboro yang bertahan meski seni rupa di Indonesia pernah ambruk dihantam pandemi mewabah di dunia.
Pandemi menghancurkan perekonomian dan tatanan hidup manusia–tak terkecuali–pelukis wajah Malioboro yang tersekap kemiskinan.
Jum’at malam, 16 Februari 2024, Ganjis masih kerja lembur merampungkan lukisan wajah dari wisatawan yang berkunjung di Malioboro. Tangannya luwes memainkan kuas dan pensil konte.
Dengan hati-hati dan teliti, Ganjis, menggoreskan dan menyapu alat lukisnya di wajah yang mulai terlihat sempurna.
Wisatawan Malioboro mengaku takpuas pulang tanpa lukisan wajah. Membawa oleh-oleh panganan atau pakaian sudah biasa. Tapi, bisa membawa lukisan wajah dari Kota Seni adalah kebanggaan.
“Berapa harga lukisan wajah?” tanya wisatawan di Malioboro.
Ajuan pertanyaan itu hampir setiap jam mampir dari wisatawan yang menikmati malam di Malioboro.
Malioboro identik dengan lukisan wajah. Selain kebanggaan, bisa membawa pulang lukisan wajah dari Malioboro menjadi prestis. Atau, bukti diri pernah ke Jogja.
Seantero dunia mengakui Malioboro is awesome terlebih di waktu malam. Suasana begitu beda dan menggoda. Siapa tak tertarik datang ke Jogja? Wisatawan mancanegara pun terkesima.
Belakangan, setelah Malioboro bersolek yang memaksa Unesco jatuh cinta, pelukis wajah di Malioboro ikut terseret-seret ke pinggiran seperti nasib ratusan PKL menunggu disingkirkan pelan-pelan.
“Saya pernah didatangi Sat Pol PP. Diusir. Katanya seperti PKL. Saya tetap bertahan karena ini menjadi bagian Malioboro. Menjadi identitas Malioboro,” ujar Ganjis.
Harus diakui, seniman di Jogja banyak berjasa terhadap Malioboro yang mendunia melalui karya-karyanya. Bahkan oleh budayawan, sastrawan, musisi, penulis dan wartawan.
Ada banyak yang terlibat di Malioboro. Sebut saja WS Rendra, Adjib Hamzah, Montinggo Busje, Kirjomulyo, Umbu Landu, Untung Basuki, Iwan Fals, Setiawan Jodi, Sawung Jabo, Cak Nun, Mustofa W Hasyim, hingga catatan-catatan kaki para penyair.
Ada pula berbagai kelompok, komunitas dan civitas akademika yang menjadikan Malioboro sebagai ibu kandung renda-renda kesenian seperti PSK, Sanggarbambu, KPJM, Sanggarsuwung termasuk mahasiswa seni rupa, teater serta mahasiswa pertunjukan, hingga komunitas Malioboro berisi pelaku seni, budaya dan pariwisata dengan berbagai latar belakang.
Keterlibatan mereka terhadap Malioboro tidak bisa dinisbikan atau dilupakan begitu saja. Disadari atau tidak, Jogja telah menyatakan diri sebagai kota seni, budaya dan pendidikan.
Masyarakat menilai pernyataan tersebut telah menguntungkan sektor pariwisata di Jogjakarta.
“Dulu, kesenian di Malioboro setiap malam hidup. Wisatawan merasa nyaman dan terhibur. Suasana Jogja begitu kental,” ungkapnya.
Sambil menyelesaikan pekerjaannya, Ganjis berpendapat tentang Malioboro yang telah banyak berubah.
Kepada reporter fornews.co, beberapa wisatawan mengungkapkan Jogjakarta memang Kota Seniman setelah menemui sejumlah pelukis wajah di Malioboro.
Layaknya menikmati lukisan di ruang pameran karya-karya Ganjis ditawar tinggi meski dirinya menolak dibeli karena setiap lukisan wajah sudah ada pemiliknya.
Setiap satu wajah dibandrol Rp 150 ribu untuk bahan kertas dan Rp 750 ribu untuk lukis wajah kanvas.
Tapi, tidak semua lukisan wajah diselesaikan di tempat. Sebagian yang belum rampung diselesaikan di rumah. Tergantung kondisi staminanya. Jika kondisi menurun atau sedang tidak enak badan pekerjaan dibawa pulang.
Biasanya, kata Ganjis, jika tidak selesai dalam hitungan jam pesanan lukis wajah akan dikirimkan melalui jasa pengiriman seperti Indah Cargo atau JNE.
“Tapi, mereka lebih puas jika bisa membawa lukisan wajah dari Jogja,” ucapnya. “Pernah ada menangis terharu.”
Didatangi Orang Kaya Asal Belanda
TAHUN 1997, sekira 27 tahun lalu, Ganjis mulai melukis wajah di kawasan Taman Pintar (eks. Pasar Shoping) di Jalan Senopati.
Keputusan itu diambil untuk menghidupi keluarganya meski sempat kikuk melukis wajah di ruang terbuka yang menjadi pemandangan tidak biasa bagi kebanyakan wisatawan.
“Waktu itu di Jalan Senopati masih banyak lapak-lapak gerobak penyedia pigura. Sederetan dengan lapak batu akik,” kenangnya.
Di kawasan Jalan Senopati itu, kali pertama Ganjis melukis wajah di ruang terbuka, sempat didatangi bule asal Belanda ditawari kemewahan hidup asalkan bersedia pindah ke negeri kincir angin.
Di usia 25 tahun Ganjis masih banyak pertimbangan memikirkan istri dan anaknya. Ia merasa belum mampu mengambil keputusan dalam waktu singkat. Tawaran yang hanya datang sekali itu ditolak halus.
Padahal, kata Ganjis, ia dijanjikan mobil mahal, rumah mewah, galeri pribadi, dan dikabulkan semua kebutuhannya asal tinggal dan menetap di Belanda.
Namun, tetap tinggal di Jogja sempat membuatnya sukses. Ganjis sempat menikmati hasil dari kerja kerasnya membuka lukisan wajah.
“Waktu itu sebelum covid bisa terjual 5-7 lukisan dengan harga 3.5 juta hingga 20-an juta rupiah,” ujarnya.
Lahir dari pasangan Herdono dan Sarjiyem, keluarganya yang hampir semuanya pelaku seni menitis dari ayahnya seorang dalang asal Gunung Kidul yang turut melestarikan kesenian tradisional.
Ganjis tidak hanya ahli sebagai pelukis wajah, melainkan seorang seniman yang karya-karyanya dipajang dan dikoleksi.
Di Batu Raden, misalnya. Sejumlah karya patung tokoh wayang menjadi tempat berswafoto bagi pengunjung tempat wisata.
Patung tanpa kepala di tempat wisata itu berbahan fiber dan resin. Orang tidak perlu berganti busana cukup memasang diri di belakang patung berpakaian tradisional.
Patung tanpa kepala tokoh dalam pewayangan itu adalah kepeduliannya terhadap kesenian dan budaya tradisional.
Setiap pengunjung di tempat wisata itu dapat berswafoto dengan membayar Rp 20.000 per orang.
Atau, patung ikan gurami yang dipasang di salah satu restoran ternama di Jogja. Patung ikan gurami itu terlihat lebih hidup saat malam hari dengan penataan cahaya yang menarik.
Beberapa tahun lalu karya-karya lukisan Ganjis juga pernah dipamerkan bersama perupa Jogja.
Saat ini ia sedang mempersiapkan model patung untuk tempat wisata Watu Amben, Pathuk, Gunung Kidul.
Sebagai pelukis wajah, Ganjis berharap Malioboro yang lekat dengan pelukis wajah tidak hilang begitu saja.
Harapan itu menjadi sinyal bagi pemerintah setempat bahwa pelukis wajah di Malioboro telah menjadi bagian dari pariwisata. Seniman dan pekerja seni adalah penyokong kemajuan pariwisata di Jogja.
Perlu diketahui, dari pantauan reporter fornews.co, ada banyak pengunjung Malioboro yang rela berlama-lama di Jogja (long stay) agar bisa membawa pulang lukisan wajah sebagai oleh-oleh dari Jogja.
Bagi mereka, membawa oleh-oleh lukisan wajah terasa sangat berbeda dengan panganan, pakaian atau souvenir lainnya.
“Ada perasaan senang dan bangga bisa membawa pulang lukisan wajah setelah menunggu tiga hari di Jogja. Padahal, sebelumnya sudah empat hari di Jogja,” jawab wisatawan asal Jakarta sembari tersenyum lebar. (adam)
Copyright © Fornews.co 2023. All rights reserved.