Penulis oleh A.S. Adam
MASJID Gedhe Kauman dibangun pada tanggal 29 Mei 1773, setelah Kerajaan Jogjakarta berdiri pasca Perjanjian Giyanti tahun 1755, oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana I.
Sebuah pemukiman yang semula tidak bernama kemudian disebut Kauman hingga sekarang. Kauman Berasal dari bahasa Arab dari kata “qaum” yang berarti sekumpulan orang-orang yang taat dalam ajaran Islam.
Baca: Mitos Lelayu Tujuh Jenazah di Kampung Notoprajan
Kata “qaum” yang identik dengan Islam kemudian di-Bahasa-Indonesia-kan menjadi “kaum“. Di kemudian hari banyak orang menyebut pemukiman tersebut dengan nama kampong Kauman.
Sejak dahulu Kauman sebenarnya meliputi tiga kampong, yakni Kauman (sekitar masjid), Suronatan dan Notoprajan.
Dinamakan kampong Suronatan karena dahulu terdapat prajurit Bregada Suranata. Di kampong ini juga terdapat sebuah bangunan lama yang pernah digunakan sebagai kantor pemerintahan dan pelayanan publik.
Baca: Bregada Masa Sri Sultan Hamengku Buwono X Tinggal Segelintir
Selain juga pernah digunakan sebagai Kantor Wali Kota Jogjakarta yang sekarang telah berubah fungsi menjadi bagian dari destinasi wisata. Menjadi pusat souvenir dan oleh-oleh Jogja.
Kampong lainnya adalah Notoprajan. Dinamakan Notoprajan karena di kampong ini terdapat sebuah ndalem Notoprajan tempat tinggal anak-anak keluarga raja.
Di tempat ini pula pernah menjadi tempat pingitan bagi calon raja yang akan naik tahta. Namun jauh sebelum itu, ndalem Notoprajan konon ditempati oleh keluarga raja bernama ndoro Purbo.
Menurut sejumlah narasumber, di kampong itu dahulu banyak orang sakti. Banyak pula pembunuh dan jagal yang paling ditakuti. Kemudian di masa Kiai Haji Achmad Dahlan, para jagal dan pembunuh itu diajak sholat dan mengaji di Masjid Gedhe Kauman.
Pesatnya dakwah Kiai Haji Achmad Dahlan di tiga kampong bersejarah tersebut tidak ditemukan lagi orang berprofesi sebagai pembunuh atau jagal.
Di Kaumsuranata kini lebih mudah ditemui orang ke masjid. Atau, mendengar suara membaca al Qur’an.
Baca: Kiai Haji Achmad Dahlan Dituding Merubah Dasar-dasar Agama
Masjid yang berada di sebelah Barat Alun-alun Utara itu semula biasa-biasa saja. Kehadiran Kanjeng Wirjakusuma sebagai perancang Masjid Gedhe di bawah pengawasan Penghulu Karaton, Kiai Faqih Ibrahim Dipaningrat mulai memikirkan kelangsungan Masjid Gedhe.
Pengelolaan Masjid kemudian diserahkan kepada ulama Karaton terpilih. Mereka tinggal dan menetap di sekitar masjid.
Di sebelah Barat Masjid terdapat ruang takmir yang disebut Kantor Penghulu. Sedangkan di sebelah Utara Masjid terdapat Pengulon yang khusus mengurusi administrasi keagamaan seperti pernikahan, perceraian, rujuk, hukum dalem peradilan agama, juru kunci makam, naib dan kemasjidan.
Baca: Bregada Kembali Diaktifkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Kepala Penghulu atau Hoofdpenghulu, merupakan pemimpin lembaga kepenghuluan yang memiliki abdi dalem Pamethakan atau abdi dalem putihan yang berlaku sebagai staf kepenghuluan.
Masjid Gedhe juga memiliki struktur kepengurusan, seperti Penghulu, Khatib, Modin, Berjamaah, dan Merbot. Dalam struktur tersebut jabatan tertingginya adalah Kepala Penghulu yang membawahi Khatib, Modin, Berjamaah, dan Merbot.
Jumlah Khatib terdiri atas sembilan orang yang masing-masing memiliki bawahan. Khatib Anom (Wakil Kepala Penghulu), Khatib Tengah, Khatib Kulon, Khatib Wetan (Tibetan), Khatib Lor (Tibelor), Khatib Senemi, Khatib Amin (Tibamin), Khatib Iman (Tibiman), dan Khatib Cendana. Mereka juga bertugas sebagai Imam di Masjid Gedhe (Darban, 2000: 11-12).
Pada akhir abad ke-19, Kiai Mohamad Khalil Kamaludiningrat menjabat Hoofdpenghulu. Pada tahun 1896, setelah wafatnya Khatib Amin Masjid Gedhe K.H. Abubakar, jabatan Khatib Amin dilimpahkan bernama Mohamad Darwis kelak menjadi nama Kiai Haji Achmad Dahlan.
Belum lama menjabat sebagai Khatib Amin, Kiai Haji Achmad Dahlan menggeser arah kiblat Masjid Gedhe dengan alasan membetulkan arah kiblat. Hal ini membuat Kraton gaduh. Mohamad Darwis mengarahkan kiblat serong ke Barat Laut.
Menurut Darwis, arah kiblat Masjid Gedhe melenceng ke Utara dari garis katulistiwa di antara 24 derajat (Kiai Syujak, 2009: 37-39).
Kiai Syujak, merupakan salah seorang murid Khatib Amin. Ia mencatat setiap peristiwa yang terjadi. Tidak luput yang terjadi tahun 1897, sebuah pertemuan besar para sesepuh ulama Karaton dan Kauman di Langgar sebelah Barat Masjid Gedhe membahas soal arah kiblat.
Selain arah kiblat, keributan soal perhitungan kalender untuk menentukan waktu sholat ‘ied juga pernah terjadi. Hasil perhitungan hisab dan ru’yah bil ain berbeda dengan kebijakan Karaton yang masih menggunakan Kalender Aboge. Dengan keyakinan membawa kebenaran Islam, Kiai Haji Achmad Dahlan sebagai Khatib Amin menghadap Sri Sultan Hamengku Buwana VII untuk menyampaikan kabar penting.
”Berlebaranlah kamu menurut hisab atau rukyat, sedang Garebeg di Jogjakarta tetap bertradisi menurut hitungan Aboge”, jawab Sultan Hamengku Buwana VII kepada Khatib Amin (Junus Salam, 2009: 156-157).

Menurut peneliti dan pengkaji sejarah Muhammadiyah, Mu’arif, publik harus berhati-hati membaca literatur sejarah agar tidak terjebak sebagaimana Hanung Bramantyo membuat skenario film Sang Pencerah. Bersambung…
Copyright © Fornews.co 2023. All rights reserved.