PENULIS: Nefri Inge
‘Ayah..Ayah..,” teriakan Noval saat melihat pesawat terbang di atas kepalanya. Kedua tangannya melambaikan tangan ke arah pesawat, sembari melompat-lompat seakan ingin meraih tangan ayahnya.
Teriakan anaknya nyaring terdengar di telinga Kurniati (36). Hatinya begitu tersayat, melihat anak satu-satunya yang begitu rindu dengan sosok ayahnya, yang sudah lama meninggalkan mereka.
Kurniati terpaksa berbohong ke anaknya. Dia belum bisa menjelaskan, jika ayah Noval sudah lama berpulang ke Yang Maha Esa. Dia mengarang cerita, jika ayah Noval berada di dalam pesawat, yang sedang melintas di langit rumahnya.
Di usia 8 bulan, garisan takdir membawa Noval menjadi anak yatim. Ridwan Toni (35), ayah Noval, mengalami kecelakaan di arah Betung Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan (Sumsel), tepat 10 tahun yang lalu.
Suami Kurniati langsung menghembuskan nafas terakhir di tempat kejadian, karena mengalami pendarahan hebat dan luka yang parah. Lebaran Idul Fitri di tahun 2012, menjadi momen indah terakhir bagi keluarga kecil Kurniati bersama suaminya.
Kurniati terpaksa membawa anaknya ke rumah orang tuanya di kawasan Plaju Palembang. Karena tidak mempunyai sedikit pun uang, Kurniati berpangku tangan dengan orang tua dan saudaranya.
“Beberapa tahun saya depresi, nyaris seperti orang gila karena kehilangan suami saya. Cuma bisa melamun dan menangis. Saya depresi bertahun-tahun, untung keluarga saya mengerti dan membantu mengurus Noval,” ucapnya kepada Fornews.co, Sabtu (3/9/2022).
Saat putra kecilnya berusia 3 tahun Kurniati tersadar akan hidupnya yang masih harus terus berjalan. Dukungan dan doa dari keluarganya yang tak pernah terputus, membuat dia kembali bangkit dan membuka lembaran baru lagi.
Untuk mengisi kehampaan hatinya, dia mengikuti pengajian dan majelis, hingga bergabung dengan Lembaga Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKA), di bawah binaan Yayasan Masjid Agung Palembang Sumsel.
Dia pun bertekad untuk tidak lagi menyusahkan orang tua dan saudaranya. Kurniati mulai mengais rezeki dengan membuka usaha kuliner di sekolahan. Dia juga bekerja sambilan menjadi Cleaning Service (CS) di sekolah anaknya.
“Waktu pandemi, sekolahan tutup. Jadi saya beralih profesi jadi tukang ojek. Awalnya ikut ojek online, tapi tidak nyaman ketika membawa penumpang pria. Jadi sekarang, orang-orang terdekat saja yang memakai jasa saya sebagai ojek,” ujarnya.
Diakuinya, stigma negatif saat menyandang status orang tua tunggal kerap sampai ke telinganya. Terlebih saat dia harus pulang malam karena mencari rezeki yang halal.
Anaknya pun pernah mendapatkan perundungan, karena tak pernah dijemput oleh ayahnya ketika pulang sekolah. Perasaan Kurniati sempat kalut, karena ejekan demi ejekan yang menghampiri hidupnya dan anaknya.
“Saya sering dibilang tetangga,’Kenapa pulang malam, sudah janda pula’. Tapi saya jelaskan, kalau mencari rezeki sendirian, memang tak semudah yang punya keluarga lengkap. Kadang harus pulang malam, saat saya dapat santunan dari yayasan atau ke rumah tahfidz, dengan jarak rumah yang jauh,” ujarnya.
Penghasilan Terbatas
Penghasilannya sekarang, tentu tak sebesar ketika dia masih bersama suaminya. Dulunya, dia bisa mengantongi uang Rp 2,5 juta per bulannya. Anaknya pun mendapat asupan susu yang berkualitas.
Namun hidupnya seketika berubah usai suaminya meninggal dunia. Kini penghasilan tetapnya hanya Rp 300.000 per bulan, yang didapat dari upah sebagai cleaning service di sekolah anaknya.
Sedangkan per harinya, dia bisa mengantongi penghasilan kotor mulai dari Rp 20.000 hingga Rp 50.000. Uang tersebut didapat dari hasil jualan jajanan di sekolah dan jasa ojek harian. Di tengah keterbatasan pendapatan, dia harus merogoh kocek Rp 15.000 per hari, untuk biaya harian anaknya.
“Kini saya hanya memikirkan bagaimana bisa membahagiakan Noval, dengan segenap tenaga. Untuk menikah lagi pun, belum terpikirkan,” ucapnya.
Menyandang status janda juga dialami oleh Reni Puspita (41). Ibu tiga anak asal Palembang Sumsel ini, harus menjadi orang tua tunggal, sejak suaminya meninggal dunia di tahun 2018 lalu.
Beruntung, dia mempunyai kemampuan memasak sejak usia belia. Dengan kepiawaiannya mengolah bahan-bahan, dia bisa menafkahi ketiga anaknya dengan berjualan kue basah khas Palembang. Seperti kue 8 jam, kue bolu, lapis legit, srikaya dan bolu kojo.
Seperti Kurniati, Reni pun kerap mendapat stigma negatif karena berstatus orang tua tunggal. Apalagi dia masih tinggal di perkampungan di Palembang, dengan jumlah penduduk yang padat.
“Ya, kita memang harus kuat dari berbagai stigma negatif tentang status saat ini. Apalagi anak-anak kita berstatus yatim, banyak cibiran dan godaan. Tapi harus tetap kuat, jangan sampai terpengaruh dengan omongan miring orang lain,” katanya.
Bersama Kurniati dan ratusan wanita tangguh lainnya, Reni bergabung dengan PEKA untuk bersama-sama bangkit, berbagi pengalaman dan semangat, serta rutin mendapatkan santunan untuk keluarganya.
Rangkul Orang Tua Tunggal
Doly Nofiansyah, Ketua PEKA Masjid Agung Palembang menjelaskan, jika PEKA Palembang merupakan perpanjangan tangan dari program Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), untuk merangkul para wanita yang juga orang tua tunggal di Palembang.
“Masalah para ibu tunggal ini adalah ekonomi rendah, tak punya penghasilan hingga tinggal di hunian tak layak. Perekonomian mereka awalnya tergantung dengan suami, dengan tingkat pendidikan yang rendah,” ujarnya.
Sejak dibangun tiga tahun lalu, PEKA Palembang sudah merangkul hingga 448 orang ibu tunggal, yang tersebar di 18 kecamatan di 107 kelurahan di Palembang Sumsel. Bahkan di tiap kelurahan dan kecamatan, sudah mempunyai masing-masing pendamping.
Program PEKA Palembang sendiri, berisi edukasi tentang marketing, permodalan, pelatihan keterampilan, pendidikan hingga kesehatan yang sangat penting dipelajari oleh ibu tunggal.
“Sekarang memang lebih diprioritaskan untuk membantu ibu tunggal yang ditinggal mati oleh suaminya, dengan kondisi ekonomi yang rendah. Kita mencoba membantu mereka, untuk keluar dari masalah perekonomian,” katanya.
Kegiatan sosial tersebut juga membantu anak-anak yatim, untuk mendapatkan beasiswa dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Bahkan, PEKA Palembang juga mendorong para anak yatim binaannya, untuk mendapat beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Tak hanya pelatihan ekonomi kemandirian saja, PEKA Palembang juga memberikan permodalan berupa peralatan usaha, bagi ibu-ibu tunggal untuk memulai usahanya. Sudah banyak anggota PEKA Palembang yang bisa hidup mandiri dan memenuhi kebutuhan untuk anak-anaknya.
Untuk bidang pendidikan, PEKA Palembang turut mendampingi ibu-ibu tunggal, agar memberikan pendidikan agama sejak dini. Yakni dengan program Santri Mengaji, dengan menyumbangkan iqra dan alquran bagi anak-anak yang mau belajar mengaji.
“Jika ingin bergabung dengan PEKA Palembang, cukup dengan melampirkan akte kematian suami, atau bisa juga berstatus ibu tunggal karena dicerai suami, mencantumkan akte anak mereka dan surat keterangan tak mampu dari lurah dan camat,” ungkapnya.*