YOGYA, fornews.co — Puro Mangkunegaran Surakarta merupakan bangunan joglo peninggalan Pangeran Sambernyowo saat berkuasa di sebagian Tanah Jawa di wilayah Mataram.
Pangeran Sambernyowo yang tak lain adalah Raden Mas Said merupakan seorang penguasa Kadipaten Mangkunegaran bergelar KGPAA Mangkunagoro I.
Tahun 1757, di usia 32 tahun, nama Pangeran Sambernyowo tersohor sebagai penguasa sekaligus pemrakarsa bangunan Puro Mangkunegaran.
Puro Mangkunageran yang dilengkapi dengan bangunan pendapa berukuran sangat besar menjadi salah satu kekhasan Kadipaten. Pendapa yang berdiri di atas tanah seluas 3.500 meter persegi mampu menampung 10.000 orang.
Bangunan pendapa itu kemudian disebut Pendhopo Ageng. Namun, ada satu lagi bangunan lainnya yang lebih dahulu berdiri yakni Ndalem Ageng.
Ndalem Ageng adalah Inner Sanctum dari keseluruhan bangunan di kompleks Kadipaten Puro Mangkunegaran yang disakralkan.
Ndalem Ageng sendiri memiliki ruang-ruang khusus yang pada umumnya sama dengan ruangan Ndalem di Karaton Mataram baik Surakarta maupun Yogyakarta.
Di Ndalem Ageng terdapat tiga ruang yang sejajar menghadap ke pintu depan. Pada ruang tengah disebut Senthong Krobongan. Ruangannya terlihat lebih besar dan megah.
Di sisi kanan-kiri Krobongan terdapat Senthong Kiwa dan Senthong Tengen, yang luasnya tidak sama dengan luas senthong utama. Senthong dalam bahasa Indonesia berarti kamar.
Kemudian di bagian belakang Ndalem Ageng terdapat ruang pusaka yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka dalem. Ruangan ini juga disebut senthong.
Selain itu juga terdapat Bangsal Paretan dan Pringgitan yang berfungsi sebagai penghubung antara Pendhopo Ageng dan Ndalem Ageng.
Dalam rentang waktu 265 tahun (1757-2022) hanya Adipati Mangkunagoro beserta putra-putrinya sajalah yang berhak menggunakan Pendhopo Ageng dan Ndalem Ageng untuk acara pernikahan.
Dalam sejarahnya, Pendhopo dan Ndalem Ageng adalah tempat pernikahan yang wajib menggunakan tata cara dan aturan adat yang diberlakukan di Kadipaten Puro Mangkunegaran.
Namun salah satu keponakan KGPAA Mangkunagoro VIII, Joice Hudyonoto, yang diangkat menjadi putri dalem karena kedua orang tuanya wafat pernah memakai Pedhopo Ageng untuk pernikahannya.
Meski diijinkan memakai Pendhopo Ageng untuk acara pernikahan, tetapi, mereka tetap dilarang memasuki area Ndalem Ageng. Pintu Ndalem Ageng harus tertutup rapat.
Pendhopo Ageng juga pernah dipakai pada pernikahan Tunku Kurshiah Aminah (Tunku Atiah).
Tunku Kurshiah Aminah yang merupakan wayah dalem KGPAA Mangkunagoro VIII dari ibu dan wayah dalem Kasultanan Johor-Kasultanan Negri Sembilan Malaysia dari ayah.
Keduanya diijinkan menggunakan Pendhopo Ageng sebagai lokasi resepsi pernikahan, tetapi pintu menuju ke Ndalem Ageng tetap harus tertutup rapat terlarang untuk siapapun. (adam)