NEW YORK, fornews.co – Puluhan perawat di Kota New York, Amerika Serikat, menggelar demonstrasi di depan Montefiore Medical Center, Bronx, New York, Kamis waktu setempat. Mereka menuntut Pemerintah memperhatikan sarana dan prasarana pendukung bagi tenaga medis yang tengah berjuang menangani pasien Covid-19.
“Tentara tidak pergi berperang tanpa senjata, mengapa perawat harus bekerja tanpa peralatan pelindung diri?” tanya Leyrose McIntyre, satu dari sekitar 30 perawat yang berdemonstrasi di luar rumah sakit New York, Kamis, dilansir dari AFP.
Aksi yang dilakukan para perawat saat diberlakukannya social distancing karena penyebaran virus Corona itu, dilakukan menyusul kurangnya alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis yang tengah berjuang merawat para pasien Covid-19 di pusat pandemi mematikan Amerika tersebut.
Sejauh ini, New York telah mencatat hampir 100.000 kasus yang dikonfirmasi positif Covid-19, termasuk sekitar 2.300 kematian karenanya. Oleh karenanya, para perawat menyebut kekurangan APD sama saja membahayakan hidup mereka.
Aksi yang digelar bersama New York State Nurses Association, para perawat menyebar di sepanjang pagar di luar Montefiore Medical Center, di Bronx, sambil menjaga jarak di antara mereka. Menggunakan masker dan mengenakan pita hitam sebagai bentuk solidaritas untuk semua pasien Covid-19, mereka membawa berbagai poster yang mengkritik Pemerintah tentang kurangnya APD dan distribusi yang tidak merata.
“Kami adalah pejuang di garis depan. Kami tidak memiliki senjata dan baju besi untuk melindungi diri dari musuh,” kata Presiden New York State Nurses Association, Judy Sheridan-Gonzalez kepada AFP.
Tenaga Medis Terinfeksi
Kurangnya pasokan APD bagi tenaga medis sangat berpengaruh terhadap layanan yang diberikan kepada para pasien. Bukan hanya tidak maksimal, namun kesehatan tenaga medis itu sendiri yang akhirnya terdampak.
Benny Mathew (43) mengatakan, dirinya terinfeksi Covid-19 setelah merawat setidaknya empat pasien virus corona tanpa peralatan yang tepat. Pada tes Covid-19 kedua yang dilakukan 25 Maret 2020, dirinya kembali dinyatakan positif. Namun, pada 28 Maret demamnya telah hilang dan rumah sakit memintanya untuk kembali bekerja.
“Mereka mengatakan kepada saya jika Anda tidak demam, Anda bisa datang bekerja dan itu satu-satunya pilihan,” terangnya.
“Saya disuruh memakai masker dan mulai bekerja. Kami tidak punya cukup tenaga medis untuk menangani pandemi ini, jadi saya pikir sudah tugas saya untuk kembali. Tetapi saya khawatir bahwa saya akan menularkan penyakit kepada rekan kerja saya, kepada pasien yang belum memilikinya,” tambahnya.
Mathew yang juga mengikuti perkembangan epidemi di Italia, tempat saudara perempuannya tinggal, telah mengisolasi dirinya dari istri dan anak-anaknya di rumah sejak awal Februari ketika kasus-kasus yang diduga pertama memasuki rumah sakitnya.
Jacqueline Anom, seorang perawat di unit bedah rawat jalan Montefiore, juga harus mentransformasi rumah sakit rawat jalan untuk menangani masuknya pasien Covid-19. Pasien tidak seharusnya mendapatkan perawatan di gedung 11 lantai di mana tidak ada kamar mandi, tidak ada kamar dengan pintu dan tidak ada tempat tidur yang layak. Tetapi pasien yang terinfeksi corona telah dibawa ke sana sejak Selasa (31/03).
“Saya tidak memiliki peralatan untuk hal-hal yang perlu saya lakukan,” kata Anom, salah satu perawat yang dinyatakan positif Covid-19 saat merawat pasien yang terinfeksi.
Tanpa peralatan yang tepat, dia tidak berani meninggalkan ruang perawatan sepanjang shift kerjanya selama 12 jam, bahkan untuk pergi ke toilet sekalipun. Hal itu dikarenakan Anom khawatir bisa mencemari masker dan sarung tangannya.
“Ini sebuah kekacauan. Saya telah melakukan ini selama 20 tahun dan ini adalah pertama kalinya dalam hidup saya, saya sangat tidak yakin dengan apa yang saya lakukan. Ini sangat mengecewakan dan saya marah, karena kita berada di Amerika, kita tidak harus berjuang untuk APD,” tegasnya. (ije)