Ditulis oleh A.S. Adam
SIANG sekira pukul 13.00 WIB langit cerah membiru. Gunung Merapi yang gagah terlihat jelas dari Ngetiran, Desa Sariharjo, Kapanewon Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Jogjakarta, meski BMKG memprediksi bakal terjadi cuaca ekstrim.
Di sisi Barat Monumen terdapat wahana Taman Layak Anak Desa Sariharjo. Monumen itu dibangun tahun 1968 untuk mengenang pahlawan yang gugur dalam pertempuran.
“Waktu itu, terjadi tembak menembak antara TP (sebutan untuk Tentara Pelajar) dan pasukan Belanda (di sekitar monumen TP),” ujar Suparjo (79), saksi pertempuran 29 Mei 1949 di Rejodani.
Tentara Pelajar Brigade 17 (TP BE-17) mendapat kabar tentara Belanda yang bermarkas di Beran bakal melakukan operasi militer di Rejodani.
Belanda, melalui mata-matanya, mendapatkan bocoran para pemuda Rejodani bersiap menghadang. Namun, sebagian pemuda Rejodani justru melakukan penyerangan di Kaliurang.
Baca: Peristiwa Heroik Pejuang Pemuda Rejodani
“Jadi yang ada di Rejodani hanya TP berjumlah 10 orang,” kata Suparjo, kepada fornews.co.
Suparjo menceritakan tentara pelajar yang berjumlah 10 orang kemudian bersiaga. Mereka bersembunyi di parit sisi Timur kawasan monumen yang dirimbuni pohon pandan.
Pagi sekira pukul 07:00 WIB, pertempuran meletus. TP BE-17 yang penuh semangat, gagah dan berani, menggempur Tiger Brigade Belanda yang menyerbu masuk lewat Dusun Pothon, Ngetiran.
Namun, lanjut Suparjo, tentara pelajar tidak tahu ternyata Tiger Brigade berisi prajurit pemberani.
Meski begitu, Tentara Pelajar Indonesia lebih berani. Tidak takut mati. TP yang bersenjata karabin terus menembaki tentara Belanda dalam jarak dekat di persawahan usai dipanen.
“Maju…! Maju…! Maju…!” ucap Parjo menirukan pekikan TP saat mengenang peristiwa sengit tersebut.
Tentara Belanda yang bermarkas di Beran segera meminta bantuan pasukan lain yang berada di Kledokan, Pakem di seputar Jalan Kaliurang.
Tentara Belanda bergerak cepat. Mereka dari Timur, menuju ke lokasi pertempuran, menyeberang sungai Boyong. Sampai di Jalan Kaliurang, tentara Belanda itu dijemput truk dan diangkut melewati Dusun Sardonoharjo.
Tentara Pelajar yang sedang membalas serangan Belanda dari arah Barat tidak tahu ada tentara Belanda lain muncul dari Timur, sehingga TP dihajar dari dua arah, Barat dan Timur.
Sesekali Suparjo melihat sebuah cahaya yang diikuti asap seperti sens diikuti mortir. Di tempat sens itu jatuh ledakan terjadi. “Jlerrr..! Jlerrr…!”
Waktu itu, Suparjo, belum genap berusia 10 tahun. Ia bersama adik, ibunya dan tetangganya bernama mbah Sis, menyaksikan peristiwa itu.
Suparjo berdiri paling depan di antara banyak warga lain yang menyaksikan pertempuran sengit itu. Suara rentetan senjata dan bom, terdengar hingga radius satu kilometer lebih.
Sekira pukul 10:00 WIB, perang berhenti. Suparjo, melihat dua TP berlari ke arah Utara secara sembunyi-sembunyi. Lalu, mereka masuk ke arah Barat di Dusun Pothon dan selamat dari musuh. “Mereka kehabisan peluru.”
Dua TP itu diketahui bernama Martono dan Rujito. Keduanya meneruskan karirnya di militer. Setelah pensiun, Martono menjadi Menteri Koperasi. Sedangkan Rujito menjadi Bupati di Banyumas.
Beberapa menit setelah perang berhenti. Setelah dirasa aman memastikan Belanda pergi, Suparjo, memberanikan diri mendekati lokasi kontak senjata.
Ia melihat 6 orang TP gugur tergeletak di parit dekat rimbunan pandan. Dan dua orang TP lain gugur tergeletak di jalan.
Namun, di pihak Belanda juga banyak korban, salah satunya adalah pimpinan mereka Kolonel van Muller, yang ditemukan tewas di dekat rerimbunan pandan.
“Mungkin anak buahnya tidak ada yang menyadari kematian Muller.”
Mayat Muller ditimbun di tengah sawah. Agar jasadnya tidak diketahui, warga Rejodani meratakan sawah dengan bajak sawah. Setelah itu, sawah dialiri air irigasi agar mayat Muller yang sudah ditimbun dan diratakan hilang jejak.
Tidak hanya kolonelnya yang tewas ditembak TP, sebanyak 21 tentara Belanda juga ditemukan tewas di sekitar Jalan Tentara Pelajar.
Tapi, saat terjadi penyerangan oleh tentara Belanda semua laki-laki tidak ada. Kebanyakan mereka ikut berperang, dan sebagian kecil lainnya mengungsi. Tinggalah kaum perempuan.
Jasad kedelapan TP itu diangkut oleh para perempuan Rejodani dengan tandu lincak bambu yang ditutup daun pisang menuju Masjid Sulthony, berjarak 950 meter ke arah Utara.
“Setelah diletakkan di teras masjid dan disholatkan, jenazah dimakamkan di pemakaman Rejodani dekat masjid,” kenang Suparjo. (adam)
Copyright © Fornews.co 2023. All rights reserved.