JAKARTA, fornews.co – Mengambil foto, rekaman audio dan rekaman audio visual di persidangan kini tak lagi bebas dilakukan semua pihak termasuk Pers. Sebelum melakukan kegiatan tersebut, wajib memperoleh izin hakim atau ketua majelis hakim dan haru dilakukan sebelum dimulainya persidangan.
Hal itu sesuai isi Peraturan Mahkamah Agung (MA) No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, tertanggal 4 Desember 2020. Pada Pasal 4 ayat (6) mengatur terkait kewajiban adanya izin hakim/ketua majelis hakim untuk dapat melakukan pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual dalam proses persidangan, dan harus dilakukan sebelum dimulainya persidangan. Bahkan pada Pasal 7 Perma No. 5 Tahun 2020 ini juga mengkualifikasikan pelanggaran pada Pasal 4 ayat (6) itu sebagai contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan.
Merespons hal ini, Pewarta Foto Indonesia menilai kebijakan yang ditetapkan MA tersebut akan menghambat fungsi dan peran Pers dalam mencari dan menyiarkan informasi kepada publik. Kehadiran jurnalis dalam proses persidangan merupakan bagian dari keterbukaan informasi publik dan jaminan atas akses terhadap keadilan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.40 Tahun 1999 Tentang Pers Bab II/Pasal 4 ayat (3) UU Pers telah memberi jaminan terhadap kemerdekaan pers, dengan memberi hak kepada pers nasional dalam hak untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Sehingga semestinya MA tidak menghalangi kerja jurnalistik melalui Perma.
Ketua Umum PFI Reno Esnir mengatakan, MA tidak semestinya menganggap kehadiran jurnalis yang mengambil foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual sebagai gangguan terhadap peradilan. Peran dan fungsi jurnalis dinilai dapat meminimalisir praktik mafia peradilan yang dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus. Keberadaan jurnalis di ruang persidangan penting untuk menjamin proses peradilan berjalan sesuai peraturan yang berlaku dan terpenuhinya akses untuk keadilan. Sebab dengan terbatasnya akses di ruang persidangan, diyakini akan membuat mafia peradilan makin bebas bergerak tanpa pengawasan jurnalis.
Larangan mengambil foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual hanya boleh pada kasus kesusilaan atau anak. Sementara pada pada prinsipnya persidangan terbuka untuk umum sebagaimana diatur Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, sehingga pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual merupakan bagian dari prinsip keterbukaan informasi publik tidak relevan harus didahului izin hakim atau ketua majelis hakim. Sebagai konsekuensi jika proses persidangan tidak dibuka untuk umum maka putusan pengadilan bisa batal demi hukum.
Peratuan MA serupa bukanlah hal yang pertama. Pada 7 Februari 2020 lalu, MA melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan, yang isinya tak jauh berbeda, salah satunya mengatur ketentuan soal pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV yang harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Walaupun pada akhirnya surat edaran ini dicabut dengan banyaknya penolakan dari berbagai kalangan.
Berdasarkan uraian di atas, PFI mendesak Mahkamah Agung untuk mencabut Perma No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkup Pengadilan karena dapat menghambat hak Pers dalam mencari, mengelola dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Selain itu, PFI Pusat juga meminta MA agar memperhatikan peran jurnalis sebagai perwakilan mata dan telinga publik. “Jika semua dibatasi dan ditutupi, publik akan bisa membuat opini-opini liar terkait peraturan ini,” tegas Reno. (ije/rel)