Masyarakat di lahan gambut diarahkan untuk menjalankan sistem pertanian dengan cara organik. Bertani organik, diyakini memberi keuntungan besar bagi petani, karena biaya yang murah, menghasilkan makanan yang sehat serta ramah terhadap lingkungan.
Bertani organik, merupakan sistem budi daya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis. Satu hal yang memungkinkan petani dapat menerapkan sistem pertanian organik, karena bahan baku pembuatan pupuk organik telah tersedia di sekitar mereka.
“Semua sudah tersedia di sekitar kita. Tinggal kapan kita akan memulainya. Bahkan tidak perlu mengeluarkan biaya besar, sebagaimana harga pupuk pertanian pabrikan (terkandung unsur kimia),” ujar Direktur INAgri Syahroni, di sela pelatihan pertanian organik di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Desa Sari Agung, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Minggu (21/07).
Sebelumnya, ia juga memberikan pelatihan pertanian organik di Ponpes Al Ittihad, Desa Mulyasari, Kecamatan Tanjung Lago, Banyuasin. Pelatihan dan pendampingan pertanian organik terus ia lakukan, bagi petani di lahan gambut maupun di lahan mineral bail di Sumsel, Riau, Jambi, juga di Kalimantan (lahan gambut) juga di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Ia menjelaskan, pada umumnya petani di lahan gambut dalam mengola pertanian selain sistem bakar atau pemanfaatan pupuk kimia untuk mengurangi kadar asam, dan menyuburkan tanaman masih dilakukan. Padahal cara ini justru dapat berdampak buruk terhadap keberlangsung lahan pertanian dan ekosistem gambut.
“Untuk merubah kebiasaan ini, memang tidak mudah. Perlu pendampingan, serta memberikan pemahaman serta kemampuan untuk memproduksi NPK (nitrogen, phosphor dan kalium) yang tadinya didapat dari pupuk kimia, diajarkan membuat pupuk organik,” ujar instruktur Sekolah Lapang Petani Gambut BRG ini.
Ia menguraikan, bagaimana kerja pupuk kimia yang semakin lama produktifitas pertanian menurun sementara biaya pertanian semakin mahal. Karena, sifat tanah padat dan kadar asam tinggi sehingga bergantung serta kadar pupuk kimia yang digunakan semakin banyak.
“Padahal untuk menurunkan kadar asam, tidaklah mahal dan mudah. Dalam satu hektar, dibutuhkan kurang lebih dua karung arang sekam (kulit padi). Paling biayanya kurang lebih 25.000 perhektar untuk membeli sekam, baru diproses menjadi arang sekam,” terangnya.

Sedangkan, untuk pupuk organik bisa manfaatkan daun kering, kotoran ternak, buah-buahan dan sayuran busuk, serta sisa makanan (nasi). Semua itu akan bisa memberikan unsur NPK (kebutuhan tanaman), menggantikan pupuk kimia.
“Pembuatannya memang membutuhkan beberapa waktu baru bisa digunakan, tapi kalau sudah tersistem, maka itu tidak akan lagi masalah. Sejauh pendampingi yang kami lakukan, masyarakat mulai tertarik dengan cara ini (bertani organik) dan ada yang berhasil,” tuturnya.
Kesempatan yang sama, Deputi III Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG, Myrna A Safitri menyampaikan, pertanian organik dinilai jauh lebih unggul ketimbang bergantung pada kimia. Yang paling diunggulkan adalah hasil produksinya, karena terbebas dari kandungan kimia (sehat) harganya juga lebih tinggi.
“Contoh kankung, di kota besar (Jakarta) kalau dari pertanian kimia, itu harganya sekitar Rp3.000 perikat. Tapi kalau organik itu Rp9.000. Artinya tiga kali lipat perbandingan harganya. Dan ini laku. Karena masyarakat kota sekarang, juga mulai mempertimbangkan faktor kesehatan,” ujarnya kepada petani di Lalan, pada acara Doa dan Sosialisasi guna mengantisipasi kebakaran lahan di musim kemarau bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdatul Ulama (LPPNU).
Ia menjelaskan, dengan pertanian organik selain memberi keuntungan bagi petani, juga ramah lingkungan. Dengan pendekatan ini, Myrna berharap, pemanfaatan lahan gambut secara berkelanjutan dapat tetap menjaga ekosistem gambut.
“Karena, pola bertani dengan cara membakar dan penggunaan zat kimia dalam pertanian, dampaknya sangat luas dan kerusakan jangka panjang. Lahan gambut yang sudah rusak, tidak mudah dan butuh waktu sangat lama untuk bisa pulih,” ucapnya.
Lebih jauh disampaikan, BRG dalam upaya restorasi lahan gambut yang terbakar pada 2015 silam, khususnya di Sumsel, setidaknya 100.000 hektar lebih sudah dilakukan pembahasan dari taget 120.000 hektar lebih.
Wakil Ketua LPPNU, Budi Ilham Nasution memgimbau kepada petani di Lalan, Muba, dan Tanjung Lago, Banyuasin, agar beralih pada sistem pertanian organik. Ia juga bertekad untuk mendorong pertanian, agar masyarakat bisa sejahtera dan alam tetap terjaga.
“Umumnya lahan gambut kadar asam atau kadar PH diangka 3-5. Jelas tidak mudah tanaman bisa tumbuh. Maka perlu cara yang sehat dan ramah lingkungan. Tidak dengan membakar atau menggunakan zat kimia pada tanah dan tanaman,” imbaunya.
Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan ini, juga siap memperjuangkan usulan yang datang kaitan dengan budi daya perikanan. Ia mencontohkan, bagaimana salah satu daerah di jawa memadukan pertanian dan perikanan (mina tani).
“Hal ini perlu dicoba dan dikembangkan di daerah-daerah yang memang memungkinkan untuk itu (mina tani). Banyak yang bisa dilakukan, asal kita tekun dan mengikuti aturan yang ada,” katanya. (ars)