Penulis oleh A.S. Adam
SEJAK Proklamasi 17 Agustus 1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah seluruh wilayah jajahan Belanda (Hindia-Belanda) dari Sabang sampai Merauke.
Namun, Belanda berusaha keras agar orang Papua tidak mengetahui bahwa mereka merupakan bangsa Indonesia.
Dengan tipu daya hasutan Belanda, orang-orang papua dikatakan berbeda dengan bangsa Indonesia.
Belanda juga mengatakan bahwa orang Papua sebenarnya adalah bangsa Belanda.
Masih belum puas menyerang Indonesia, Belanda mengatakan kepada orang-orang Papua bahwa Indonesia adalah Amerika.
Tuduhan-tuduhan Belanda itu pun berhasil. Orang-orang Papua percaya bahwa Belanda adalah saudara sekandung mereka.
Belakangan segala fitnah dan tuduhan Belanda terbongkar setelah pendiri OPM Nicolaas Jouwe mengungkapkan kebohongan Belanda.
Melalui video yang diunggah dan tersebar di media sosial Jouwe menyesal telah tertipu dan memusuhi Indonesia.
Namun, sebagian warga Indonesia berspekulasi pengakuan Jouwe tidak bisa dipercaya. Bisa jadi itu salah satu cara agar dirinya bisa kembali ke Indonesia dengan aman tinggal di tanah Papua.
“Indonesia itu bangsa Melayu yang bukan bangsa Papua, itu bukan bangsa kamu!” kata Jouwea mengutip ucapan orang Belanda yang waktu itu menekan dirinya untuk memisahkan diri dari NKRI.
Belanda sengaja membuat permusuhan antara Papua dengan orang Indonesia, katanya. Jouwe, bahkan harus menyatakan bahwa Indonesia adalah musuh Papua.
Diakui Jouwe, dirinya telah tertipu. Pemerintah Belanda ternyata memberikan janji palsu kemerdekaan terhadap orang Papua.
Orang-orang Papua disuruh meninggalkan Negara Kesatuan Repubik Indonesia dan membuat tentara sendiri. Selanjutnya berperang melawan Indonesia.
“OPM itu lahir dari serdadu Belanda—dan bukan dari keinginan orang Papua,” kata Jouwe.
“Semua orang Papua tidak tahu soal itu, termasuk saya.”
Papua Resmi Kembali ke NKRI
“Presiden Soekarno, what can I do for you? (Presiden Soekarno, apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?” kata Presiden Amerika, John Fitzgerald Kennedy.
“Irian is not giving back to us! (Irian tidak lagi dikembalikan kepada kami),” jawab Presiden RI, Soekarno.
“Don’t wory mr president. (jangan khawatir tuan presiden itu akan diurus).”
“Say it with your deeds (katakan dengan perbuatanmu),” jawab Soekarno.
Percakapan singkat itu menjadi awal dibebaskannya Papua dari cengkeraman Belanda kembali ke NKRI.
Presiden Amerika lantas memerintahkan wakilnya di Indonesia untuk segera membuat konferensi Indonesia–Belanda.
Konferensi itu sebagai simbol Penyerahan Papua ke Indonesia secara resmi.
Pada tanggal 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda, setuju kedaulatan Papua Barat akan diserahkan kepada Republik Indonesia.
Pemerintahan Sementara (UNTIA) yang dibuat oleh PBB atas desakan Amerika, secara resmi menyerahkan Papua ke Indonesia pada 1 Mei 1963.
Hingga pada tahun 1969, Pepera melalui referendum menyatakan seluruh rakyat Papua bergabung dengan Indonesia.
Namun, penyerahan itu menimbulkan friksi. Belanda kembali membuat ulah dengan cara memprovokasi agar Papua berdiri sendiri di luar Indonesia.
Tidak hanya itu, Belanda juga menyuruh Papua bergabung dengan bangsa-bangsa lain di pasifik selatan seperti Polinesia, Mikronesia, dan Melanesia.
Tapi, Jouwe justru tidak mengakui pembebasan itu dilakukan oleh Indonesia. Menurut dia, hanya Presiden Amerika yang berjuang mati-matian mengembalikan Papua ke NKRI.
Sementara penggagas dan pembuat bendera Bintang Kejora ini mengakui bahwa Belanda telah melakukan penipuan besar-besaran.
Jouwe yang tidak mengetahui status Papua di Indonesia, membuat Presiden Amerika, John F Kennedy, bicara.
John F Kennedy pun menceritakan sejarah singkat Hindia Belanda kepada Jouwe.
Pada tanggal 24 Agustus 1828, Gubernur Hindia Belanda di Batavia memerintahkan untuk memproklamasikan pulau Papua Barat menjadi bagian dari Hindia Belanda.
Dengan kata lain daerah yang menjadi wilayah Hindia Belanda itu meliputi Sabang hingga Merauke.
Mengetahui penjelasan Presiden Amerika, Jouwe pun menyadari kesalahannya yang ceroboh dan teledor.
“Atas dasar itu juga Soekarno—Hatta memproklamirkan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Yang di dalamnya termasuk Papua juga. Dan kami orang Papua tidak tahu itu,” kata Jouwe.
Belanda Bentuk OPM
Belanda yang merasa terancam oleh PKII dan KIM lantas membuat organisasi tandingan bernama OPM.
Mengetahui kelicikan Belanda dalam Konferensi Bundar, para pemuda Indonesia lantas mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) dan Komite Indonesia Merdeka (KIM).
Perlawanan para pemuda Indonesia terhadap Belanda itu semakian kuat setelah rakyat Papua turut bergabung dalam PKII dan KIM.
John RG Djopari dalam bukunya berjudul “Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka” mencatat anggota Guinea Raad dimenangkan oleh Belanda dalam pemilu legislatif pada tahun 1961.
Manifesto politik dibuat oleh 70 putra Papua terdidik.
Manifesto itu antara lain berisi tentang penetapan Papua Barat sebagai nama Negara. Bintang Kejora sebagai bendera nasional Papua. Dan “Hai Tanahku Papua” sebagai lagu kebangsaan.
Pada 1 Desember 1961, di Holandia, bedera Bintang Kejora dikibarkan sejajar dengan bendera Belanda. Lagu kebangsaan Papua pun dinyanyikan. Maka berhasilah Belanda membentuk nasionalisme Papua.
Kampanye anti Indonesia terus dipropagandakan.
Belanda menjanjikan akan memberikan kemerdekaan bagi Papua Barat pada tahun 1970.
Ternyata sebelum tahun 1970, Belanda keburu kabur melarikan diri. Sedangkan orang-orang Papua tertipu mentah-mentah.
OPM yang masih melakukan peringatan kemerdekaan setiap 1 Desember dipertanyakan oleh para tokoh pendirinya: untuk apa dan untuk siapa peringatan kemerdekaan itu?
Kesaksian Mantan Calon Presiden OPM
Belakangan beredar video pengakuan pendiri Organisasi Papua Merdeka (OPM) terhadap kebohongan Belanda.
Video berdurasi sekitar tujuh menit yang diunggah pada Ahad (2/5/2021) dan direspon oleh ribuan netizen itu membongkar rahasia Belanda yang selama ini tidak diketahui publik.
Dalam video itu terungkap bahwa Belanda yang gagal menguasai Indonesia lantas menghasut orang-orang Papua untuk memusuhi Indonesia.
“Oleh Belanda, bahwa kami adalah musuh Indonesia,” kata Nicolaas Jouwe.
Belanda juga telah berupaya memisahkan Papua dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Inilah sebab pejuang Papua, Frans Kaiseipo, menamai Papua dengan sebutan Irian yang berarti Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.
Nama itu lantas dipakai oleh pemerintahan Presiden Soeharto sebagai pengganti nama Papua Barat.
Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), nama Irian Jaya dihapus dikembalikan menjadi nama Papua.
Namun, IPAC dalam laporannya “the current status of the Papuan pro independence” pada 24 Agustus 2015 menuduh Indonesia melakukan kecurangan dan kekerasan terhadap Papua.
Institute for Policy Analysis of Conflict menuduh Indonesia telah bersekutu dengan Amerika Serikat dan kekuatan Barat lainnya.
Menurut Nicolass Jouwe, para pemimpin Papua sekarang mengklaim bahwa Negara Papua pernah ada. Mereka meyakini hal itu berdasarkan peristiwa 1 Desember 1961.
Bahkan, mereka juga menuduh Indonesia telah berkonspirasi dengan Amerika dan Belanda untuk menguasai Papua Barat.
Jouwe menyesal telah menjadi aktivis pro kemerdekaan Papua yang justru memusuhi Indonesia.
Diakui Jouwe, perjuangan Papua Merdeka yang telah dilakukannya itu atas dasar dorongan Belanda.
“Perjuangan OPM yang saya lakukan merupakan dorongan dari belanda yang seolah-olah akan mendirikan Negara sendiri dan menjadikan saya sebagai presiden Papua Barat,” kata Jouwe mengaku bersalah.
“Sebagai seorang muda saat itu, saya tidak menyadari bahwa itu hanya merupakan akal-akalan pemerintahan Belanda.”
Memang, kata Jouwe, pada tahun 1961 beberapa hari setelah pengibaran bendera Bintang Kejora di Holandia Presiden Soekarno menggelorakan semangat Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Papua dari Belanda.
Banyak yang mengakui pembentukan Negara Papua sama halnya pembentukan negara boneka milik Belada. Wajar jika harus digagalkan.
Namun, upaya pembebasan itu justru dipandang sebagai penjajahan oleh OPM, meski mereka telah menduga janji kemerdakaan hanyalah sekadar angin surga Belanda.
Janji itu agar Papua tidak sepenuhnya lepas dari tangan Belanda seusai diadakannya Perjanjian Meja Bundar. (*)