Penulis: Arafah Pramasto,S.Pd (Anggota Studie Club ‘Gerak Gerik Sejarah’)
Perhatian publik tertuju pada pemberitaan internasional mengenai pencabutan status Hagia Sophia/Aya Sofya sebagai museum dan kembali berfungsi sebagai sebuah tempat ibadah, menjadi masjid bagi kaum Muslimin, oleh Pengadilan Administrasi Utama Turki di hari ke 10 bulan Juli 2020.
Gelaran ibadah Salat Jumat diadakan perdana pada 24 Juli 2020, sebuah peristiwa yang bagi sebagian besar umat Islam di Turki maupun dunia dianggap bersejarah. Mengingat tempat yang masuk di dalam daftar Warisan Dunia Badan Pendidikan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO) tersebut telah menjadi museum selama 86 tahun, hingga akhirnya berubah kembali menjadi masjid.
Dinamika ini tak hanya berisi ‘euforia’ bagi sebagian golongan dalam kepercayaan tertentu, dan sudah pasti terpaan kontroversi juga menghampiri meski Presiden Erdogan ikut menegaskan bahwa Hagia Sophia tetap akan dibuka untuk umum. Jika saja sebagian atau banyak dari pada kita berselisih pendapat mengenai sudah tepatkah keputusan pemerintah Turki di bawah Recep Tayyip Erdogan dalam mengembalikan fungsi Hagia Sophia sebagai masjid, ada yang perlu diperhatikan sebelum melangkah terlalu jauh dalam mempertentangkan satu identitas, seumpama Islam, dengan gagasan lain umpamanya liberalisme atau pun agama lainnya.
Karena, justru Mufti Agung Mesir, Shawky Allam mengatakan, perubahan status Hagia Sophia dilarang dalam Islam. Shawky merujuk fatwa Laith bin Saad Fakih dari Mesir yang memerintahkan agar gereja diperlakukan sebagai bagian dari arsitektur bumi dalam Islam.
“Teks-teks Islam memberitahu kita bahwa kita merupakan pelindung dan pembela, dan karena itu harus sangat memperhatikan warisan budaya manusia,” katanya dalam wawancara pertunjukan Al-Nathra yang ditayangkan channel Sada Al-Balad di Mesir.
Tentang bagaimana sebelumnya Hagia Sophia atau Aya Sofya menjadi museum, ada seorang sosok penting yang tak lekang diingat dalam sejarah Islam ataupun pula oleh peradaban dunia. Mustafa Kemal, seorang tokoh yang pada tahun 1923, menyatakan Turki sebagai sebuah negara sekuler berbentuk republik dalam artikel bertajuk ‘Mustafa Kamal Attaturk Tersiksa di Akhir Hayatnya’ yang dipublikasi serta beberapa kali diposkan ulang melalui media sosial pada 2015 lalu, mencap Kemal sebagai tokoh yang ‘membunuh’ syiar Islam serta bertanggung jawab atas keruntuhan Khilafah Utsmaniyah.
Penutupan Aya Sofya sebagai tempat ibadah pada 1934 ialah bagian dari rangkaian ‘Reformasi Agama’ yang digagas Kemal, seorang yang menganggap bahwa Islam adalah agama rasional yang hendaknya bersesuaian dengan bumi Turki. Sejumlah rencana dimulai dengan pembentukan komite dalam Fakultas Teologi Universitas Istanbul untuk sebuah ‘Modernisasi Islam’, seperti mengganti bentuk dan suasana masjid-masjid seperti gereja-gereja di barat yang penekanannya ialah kebersihan, bangku-bangku, tempat menyimpan mantel, mewajibkan jemaat masuk dengan sepatu yang bersih, mengganti bahasa Arab dengan Turki, penyediaan alat musik untuk memperindah bentuk Shalat, dan mengubah teks-teks khutbah yang ada dengan konten berisi pemikiran agama sesuai filsafat Barat.
Pada tahun 1932, pemerintah mengeluarkan kebijakan lafal Adzan ke bahasa Turki yang amat ditentang masyarakat Muslim setempat. Upaya-upaya komite Fakultas Teologi itu dapat digagalkan kaum ulama. Klaim bahwa Kemal yang menjadi ‘tersangka’ atas keruntuhan Utsmani tentu amat tergesa-gesa serta lemah. Meski tak dapat dipungkiri bahwa ia merupakan figur yang terlalu berani dengan lompatan gagasan yang begitu jauh dalam hal sekularisasi; yang seharusnya memisahkan unsur agama dalam tataran de jure bernegara, malah menjadi kelewat mencampurinya.
Namun, Kemal yang sejatinya merupakan tokoh yang hadir di zaman Khilafah Utsmaniyah, memang tengah mengalami kemerosotan cukup jauh. Ia lalu mendapatkan penghargaan gelar sebagai ‘Bapak Bangsa Turki’ atau Attaturk. Tanggal 10 November 1938 sang diktator itu wafat akibat sakit lever. Rakyat Turki dengan sedikit lega mulai melihat sekeliling wajah bangsanya yang baru. Attaturk berbuat lebih baik dari diktator lain selama hidupnya, tulis Jules Archer. Ia memerdekakan bangsanya dari jajahan asing dan mengeluarkannya dari abad kegelapan. Wajar saja, Kemal-lah yang berperan dalam menghalau kolonisasi Barat di bawah Yunani pasca Utsmaniyah kalah Perang Dunia I; ia juga yang membidani negara Turki modern.
Beranjak dari sebab-musabab perubahan Aya Sofya dari masjid ke museum dan kembali lagi pada status terdahulu, kita perlu membaca sejarah bangunan ini langsung ke akarnya. Buku-buku sejarah mencatatkan nama awalnya adalah ‘Hagia Sophia’ yakni sebuah gereja yang didirikan oleh Kaisar Romawi Timur/Byzantium, oleh salah seorang yang termasyhur yakni Justinian I (527-565 M). Ia merupakan kaisar yang berhasil merebut kembali Afrika Utara dari bangsa Vandal dan sebagian Italia dari bangsa Goth, bahkan memperoleh kembali Spanyol bagian selatan.
Byzantium merupakan kekaisaran Kristiani yang mengadopsi ritus Kekristenan Timur dengan liturgi Yunani (berbeda dengan ritus Barat yang Latin-Katholik). Sembari para jenderalnya meluaskan wilayah kekaisaran, Justinian dikenal karena perhatiannya pada pendirian bangunan-bangunan publik yang berguna, selain juga untuk menghiasi kota, termasuk sejumlah pabrik di Konstantinopel, ibukota Byzantium. Ia termasuk yang pertama kali membawa ulat sutra ke Eropa.
Bangunan yang paling mengagumkan di antaranya adalah Katedral Hagia Sophia, yang dalam kurun waktu yang panjang menjadi bagunan gereja terbesar di dunia. Namanya kian abadi setelah mempekerjakan Trinbonian, seorang pengacara ternama, untuk mengumpulkan dan menyederhanakan teks-teks hukum yang beredar. Kumpulan/kompilasi yang berhasil dikerjakan lalu dikenal dengan nama Code of Justinian, salah satu model bagi sumber hukum kebanyakan negara-negara Eropa. Kaisar pekerja keras, bahkan sering kali ia belajar sepanjang hari tanpa makan atau tidur itu wafat di usia 83 tahun.
Kita perlu mengulas sedikit sosok Justinian, karena ternyata reputasinya itu bisa saja mengaburkan fakta sejarah yang tertua. Lebih awal dari Justinian, kaisar Konstantin Agung merupakan pendiri dari sebuah kota yang ia sebut Nova Roma (Roma Baru), diresmikan sebagai ibukota Byzantium pada 2 April 330 M. Sebagai penguasa pertamanya, ia tidak benar-benar mengganti namanya demi Romawi, melainkan demi dirinya sehingga kota itu pun dikenal sebagai Konstantinopel selama kurang lebih seribu tahun berikutnya.
Ia juga membangun sejumlah gereja di ibukotanya yang baru, terutama Aya Sofya, Aya Irini, dan Rasul Suci. Tetapi, menurut John Freely dalam buku Istanbul Kota Kekaisaran, mengutip sejarawan abad ke-5 M bernama Socrates, menyebut Konstantin hanya membangun Gereja Rasul Suci dan sekadar memugar Aya Irini, sedangkan Aya Sofya diselesaikan Konstantin setelah meneruskan ayahnya (bernama Konstansius Khlorus-Pen) sebagai kaisar.
Artinya, Hagia Sophia bisa saja didirikan jauh lebih awal, bahkan sebelum Byzantium berdiri dan bahkan lebih dahulu dari peresmian Kekristenan Ortodoks menjadi agama resmi kekaisaran itu – Konstantin dicatat sebagai kaisar Kristen Byzantium pertama, meski ia memeluknya saat mendekati ajal.
Sebagaimana Aya Irini didedikasikan pada ‘Kedamaian Ilahi’ (dalam bahasa Yunani, ‘Eirene’), maka Aya Sofya diabdikan untuk ‘Kebijaksanaan Ilahi’ (dalam bahasa Yunani, ‘Sophia’). Terdapat versi lain mengenai arti dari nama bangunan ini, Aya Sofya atau Hagia Sophia dalam bahasa Yunani mempunyai sebuah arti sebagai ‘Kearifan Kudus’. Bangunan gereja yang asli pada masa Konstanin akhirnya terhapus dalam sejarah, setelah peristiwa Pemberontakan Nika di bawah Hypatius pada tahun 532 M. Pasca kondisi pulih, Justinian I membangun kembali Hagia Sophia sebagaimana yang dapat dilihati sekarang.
Tak hanya mempertahankan nama indahnya, Justinian membangun gereja itu dengan begitu megah. Rancang bangun gereja itu berbentuk persegi empat, dengan lebar sekitar 70 meter dan panjang 75 meter. Di tengah-tengah tembok timur terdapat sebuah apse yang menonjol keluar, setengah lingkaran di bagian dalam dan berbentuk tiga sisi di bagian luar; di sebelah barat, terlihat serambi luar dan serambi dalam, masing-masing memiliki sembilan ruangan kecil berkubah. Di atas tengah-tengah daerah persegi empat dari bagian tengah gereja tampak sebuah kubah raksasa dengan kubah-kubah lebih kecil di timur dan barat serta kubah setengah lingkaran yang menaungi apse dan empat sudutnya.
Kubah tersebut, seperti yang ditulis oleh sejarawan abad ke-6 Byzantium asal Palestina bernama Procopius, seolah tidak bertengger di atas dasar yang keras, melainkan menaungi ruang di bawahnya seperti digantung langsung dari surga. Sesungguhnya penopang utama kubah itu adalah empat pilar berbentuk tidak beraturan yang berdiri di atas daerah berbentuk bujur sangkar berukuran 31 meter di keempat sisinya.
Nasib Hagia Sophia berganti sesudah ia menjulang tegak sebagai bangunan peribadatan umat Kristiani selama hampir satu milenium. Saat senja menjelang malam pada hari penaklukan Konstantinopel, selasa 29 Mei 1453, Sultan Mehmet II melewati gerbang Adrianopolis sembari dielukan sebagai ‘Fetih’ atau ‘Sang Penakluk’. Orang Turki sudah mengenal kota yang mereka panggil Konstantiniye, meski setelah penaklukan disebut dalam bahasa Turki menjadi ‘Istanbul’, plesetan dari bahasa Yunani ‘Eis tin Polin’ yang berarti ‘di dalam kota’ atau ‘menuju kota’.
Mehmet memerintahkan agar bangunan ini segera dirubah menjadi tempat ibadah umat Muslim dengan nama Aya Sofya Camii Kabir, Masjid Besar Aya Sofya. Hal ini menandakan perlunya pendirian sebuah menara untuk para muazin, termasuk sebuah panggung kecil atau mimbar bagi imam yang memimpin salat serta mihrab atau ceruk yang menunjukkan arah kiblat ke Mekkah. Setelah semua pembangunan itu kelar, Mehmet Fetih melaksanakan salat Jumat di masjid itu pada 1 Juni 1453 ditemani dua imam kepalanya, Aksemsettin dan Karasemsettin.
Tulisan singkat ini memang tidak ditujukan untuk menguatkan klaim mengenai pantas atau tidaknya keputusan pemerintah Turki mengalih-fungsikan Aya Sofya kembali sebagai masjid. Kajian sederhana ini pun mungkin belum memenuhi kriteria komprehensif seperti ditulis oleh mereka yang sanggup menguak romantisme Aya Sofya, sebagai bagian dari alur sejarah Islam – bahkan di antaranya ada yang tak jarang menyisipkan harapan agar model pemerintahan era Utsmaniyah / Ottoman kembali berdiri.
Tapi, di masa merebaknya ‘pageblug’ Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sekarang, yang bahkan turut mewajibkan kita berhati-hati di tempat ibadah, perlu pemaknaan lebih dalam atas pemberitaan seputar Hagia Sophia atau Aya Sofya.
Aya Sofya yang berarti ‘Kebijaksanaan Ilahi’ memang meminta kita semua berusaha bijak dalam memandang situs bersejarah. Sejak awal pembangunannya, tak ada yang dapat dengan tegas menyebut siapa pendirinya : ia dikenal sebagai warisan Justinian I abad ke-6, tapi telah menjadi salah satu ikon kota yang didirikan oleh Konstantin tiga abad sebelumnya, meski begitu Konstantin tak diyakini sebagai peletak batu pertamanya namun hanya merampungkannya.
Jika sekonyong-konyong kita lantang menyebut kembalinya Aya Sofya sebagai masjid sebagai ‘Kemenangan Islam Melawan Sekularisme’, justru Mustafa Kemal Attaturk yang bertanggung jawab atas perubahannya menjadi museum adalah Bapak Bangsa yang menyelamatkan Turki dari kolonisasi pasca kalah Perang Dunia I. Mehmet II mengubahnya menjadi masjid dengan tidak merobohkannya terlebih dahulu, artinya sisa peradaban Romawi-Kristen pun juga sangat perlu dihargai.
Menyoal protes pemerintah Yunani atas keputusan Erdogan, di dalamnya bisa saja memuat tendensi keagamaan, karena Hagia Sophia awalnya adalah tempat ibadah Kristen dari Ritus Timur Yunani selama sekitar 1000 tahun, belum lagi Yunani dahulu pernah dijajah Ottoman, meski kemudian dapat merdeka. Yunani lalu sempat mengancam kedaulatan Turki pasca 1918 walau akhirnya gagal juga.
Berbagai perspektif, segi, dan dimensi dapat kita jumpai dalam menanggapi satu bangunan, bahkan di kalangan Muslim sendiri ada yang tidak menyetujui kembalinya fungsi bangunan sebagai masjid seperti dalam pendapat Shawky Allam.
Sebagai penutup, sewajarnya kita resapi tulisan Akbar S. Ahmed, seorang antropolog modern, saat ia merenung dalam kunjungannya ke situs sejarah Cordoba (Spanyol) :
“….saya merenungkan nasib dua rumah Tuhan terbesar di dua ujung Eropa yang berlawanan. Masjid Cordoba di barat dan gereja di Konstantinopel di timur. Masjid itu diubah menjadi gereja oleh kaum Kristen, gereja tersebut dirubah menjadi mesjid oleh umat Muslim. Perubahan dengan paksa seperti itu menyedihkan saya, dan saya teringat teladan dari kebijaksanaan dan kemuliaan Umar (bin Khattab) di Jerusalem (saat Umar menolak tawaran Patriark Sophronius untuk shalat di dalam Gereja Makam Suci, karena takut jika kelak Umat Islam menuntut tempat suci itu diubah menjadi masjid-Pen)…”
Sumber :
- Ahmed, Akbar S., Rekonstruksi Sejarah Islam : Di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban, Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2002.
- Archer, Jules, Kisah Para Diktator : Biografi Politik Para Penguasa Fasis, Komunis, Despotis, dan Tiran , Yogyakarta : Narasi, 2014.
- Crowley, Roger, 1453 : Detik-detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim, Jakarta : Pustaka Alvabet, 2011.
- Freely, John, Istanbul Kota Kekaisaran, Jakarta : Pustaka Alvabet, 2012.
- Freely, John, Sultan Mehmet II Sang Penakluk, Jakarta : Pustaka Alvabet, 2012.
- Gombrich, Ernst H., Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda, Tangerang Selatan : CV. Marjin Kiri, 2015.
- Haaren, John H., Tokoh-tokoh Termasyhur Abad Pertengahan : dari Alaric si Visigoth sampai Warwick Sang Kingmaker, Jakarta : Penerbit Almeta, 2005.
- Isputaminingsih, “Sejarah Islam : Kasus Sekularisme Turki”, Jurnal Criksetra Vol. 3 No. 5.
- Mufti Agung Mesir : Hagia Sophia Jadi Masjid Dilarang dalam Islam, dalam tempo.co diakses 24 Juli pukul 19.23 WIB.
- Mustafa Kamal Attaturk Tersiksa di Akhir Hayatnya, dalam dakta.com diakses 18 Juli 2020 pukul 06.07 WIB.
- Netizen Sambut Masjid Hagia Sophia Gelar Salat Jumat Perdana, dalam cnnindonesia.com diakses 24 Juli 2020 pukul 14.53 WIB.
- Sejarah Hagia Sophia, Perjalanan Kembali Menjadi Masjid, dalam kompas.com diakses 17 Juli 2020 pukul 13.04 WIB.
- Wells, H.G., Sejarah Dunia Singkat, Yogyakarta : Penerbit Indoliterasi, 2013.