YOGYA, fornews.co – Potensi pariwisata Yogya lebih unggul dari Bali, sayangnya tidak dikelola serius dan mengabaikan konservasi alam dan budaya.
Hal itu diungkapkan konsultan pariwisata dari PT Prana Bhumi Lestari (Prabu) yang berkantor di Jalan Jogja – Piyungan.
“Jika potensi pariwisata di Yogya dikelola serius tidak mustahil mengalahkan Bali,” ungkap CEO Prabu, Bimo, Rabu (25/1/2023) usai kunjungannya ke beberapa tempat wisata di DIY.
Baca: Yogya Saatnya Beralih ke Bangunan dan Rumah Bergaya Mataraman
Menurut Bimo, jika potensi pariwisata Yogya dikelola serius terutama Gunungkidul dan Kulonprogo, wisatawan akan berkunjung lebih lama.
Pihaknya mengamati Yogya hanya memiliki lenght of stay selama 2-3 malam sementara Bali memiliki 7 malam. Maka, saat ini Bali layak disebut Holliday is Every Day.
Dirinya bahkan meyakini para wisatawan akan memperpanjang lenght of stay di Yogya.
Baca: Para Pemangku Adat Desa di Yogya Kembalikan Bangunan Identitas Mataram
“Nah Yogya saat ini hanya punya Karaton dan Malioboro. Ini sangat berpengaruh terhadap masa tinggal (lenght of stay) para turis lokal maupun mancanegara,” kata dia.
Meski Yogya memiliki Malioboro dan Karaton sebagai center point, namun, setelah itu hendak ke mana?
Yogya harusnya mampu punya terobosan baru untuk mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya baik wisatawan lokal maupun mancanegara sehingga memiliki lenght of stay lebih lama.
Baca: Kuliner Jadul di Pasar Blumbang Potorono
“Ada permasalahan destinasi terhadap Yogya. Bali sudah sangat lengkap, secara natural memiliki Pasar Tradisional Sukowati, Ubud, Kute, Ulu Watu dan Nusa Dua,” kata Bimo.
Pihaknya menilai potensi pariwisata di Gunungkidul dan Kulonprogo dapat mendunia dengan syarat pengembangan dan tata kelolanya bertaraf internasional.
“Konservasi alam dan budaya menjadi salah satunya.”
Sayangnya, sambung Bimo, masih banyak bangunan yang mengabaikan konservasi alam dan budaya. Padahal bangunan di Yogya harus bersahabat dengan alam.
Dirinya sangat prihatin dengan kondisi pariwisata di Yogya yang tidak serius memperhatikan para pelaku pariwisata.
Baca: Kadipaten Pura Pakualaman Lestarikan Warisan Budaya Bangsa
Aspek-aspek konservasi alam dan budaya—termasuk kekhasan Yogya—masih luput dari perhatian.
Padahal, ungkapnya, Yogya sejak lama memiliki basis kekuatan budaya.
“Pariwisata bisa didevelop untuk kelas internasional, itu yang Prana Bhumi sedang lakukan terhadap Yogya.”
Baca: Cagar Budaya Babon Anim di Kota Baru Penuh Tempelan Gambar
Disinggung soal PAD industri pariwisata Yogya dan Bali, Bimo menyebut PAD Yogya masih sangat jauh dibandingkan Bali yang telah mencapai ratusan Trilyun per tahun. Sementara PAD pariwisata Yogya diperkirakan 2-3 trilyun per tahun.
Meski begitu pihaknya meyakini PAD di DIY dapat dikejar dalam 5-10 tahun dengan pendapatan 50-100 trilyun.
Retribusi Tempat Wisata
Bimo bahkan mengkritisi pengembangan pariwisata di Yogya melalui retribusi di jalan yang justru dapat berdampak buruk terhadap pengembangan pariwisata.
Untuk menghasilkan PAD mulai dari desa hingga provinsi tidak perlu dengan retribusi di jalan, namun, harus melakukan pengembangan destinasi-destinasi yang berkualitas.
Di industri pariwisata, terang Bimo, harus memiliki pemikiran repeatasi agar terjadi pengulangan kunjungan.
Sistem retribusi di jalan secara langsung justru malah membuat para wisatawan kapok untuk kembali berkunjung.
“Tentu saja akan berdampak terhadap pariwisata di Yogya, salah satunya membuat masa tinggal wisatawan lebih lama,” kata Bimo.
Dengan begitu, sambungnya, wisatawan yang berkunjung akan semakin banyak otomatis pendapatan daerah juga meningkat. Bahkan perekonomian masyarakat lokal dapat terangkat.
Pihaknya berharap stakeholder dan para pelaku industri pariwisata di Yogya berkomitmen terhadap konservasi alam dan budaya.
“Potensi Pariwisata di Gunungkidul dan Kulonprogo akan mengalahkan Bali,” pungkasnya. (adam)