Rendahnya perhatian masyarakat Ogan Komering Ulu (OKU), untuk pelestarian aksara Surat Ulu (Ka-Ga-Nga), sebabkan warisan budaya leluhur tersebut berada diujung (tanduk) kepunahan.
Sejarah juga akan kembali memahatnya di batu, bambu, kulit dan tanduk sebagaimana awal ditemukannya aksara yang berkembang di Sumatera bagian selatan tersebut (termasuk OKU). Kurang lebih 350.000 populasi penduduk Ogan Komering Ulu (OKU), tidak lebih dari 10 orang mengerti dan mampu menuliskan ejaan kaganga dengan baik.
Mengutip (wikipedia) istilah kaganga diciptakan oleh Mervyn A. Jaspan (1926-1975), antropolog di University of Hull (Inggris) dalam buku Folk literature of South Sumatra. Redjang Ka-Ga-Nga texts.Canberra, The Australian National University 1964. Istilah asli yang digunakan oleh masyarakat di Sumatra sebelah selatan adalah Surat Ulu.
Aksara Surat Ulu diperkirakan berkembang dari aksara Pallawa dan aksara Kawi yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya di Sumsel. Bahkan, budaya tulis yang tinggi jauh sebelum kerajaan Sriwijaya, atau sudah ada sejak 2500 sebelum masehi. Di mana para leluhur (nenek moyang) mereka menjadikan batu, kayu dan tanduk sebagai media tulis. (Hal ini perlu ada analisa mendalam).
Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), secara geografis meliki luas 3.617,60 km2 dan berada di 103 40’-104 33’ BT dan 3 45’-4 55’ LS bagian Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Daerah dengan suku ahli Ogan, merupakan salah satu daerah di Sumsel, yang memiliki aksara surat ulu merupakan identitas dari leluhurnya. Ada juga suku Besemah (Pagaralam), Pasemah (Lahat), dan Lubuklinggau.
Bahkan, provinsi tetangga Lampung, juga memiliki aksara kaganga. Merujuk Mervyn A. Jaspan, aksara kaganga memang tidak pula dapat dipisahkan dari daerah-daerah tersebut. Karena memang, surat ulu tumbuh kembang di wilayah Sumatera bagian selatan yang meliputan Sumsel, Lampung, Jambi, Bengkulu, dan Bangka Belitung.
Karena itu pula, Pemerintah Kabupaten OKU, melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan hingga saat ini belum mengajukannya aksara ini sebagai hak paten bukan benda. Namun, paling dikhawatirkan jika aksara tersebut lenyap tanpa bekas, sebab tak ada pewaris yang dapat memgajarkan agar tetap lestari. Sebagaimana aksara Jawa, hingga sekarang tetap eksis.
“Untuk pelestarian dan memgantisipasi kepunahan surat ulu, kami Dinas Pariwisata dan Kebyudayaan akan bekerja sama Dinas Pendidikan OKU, mencari formula guna memasyarakatkan aksara kaganga. Tentu melalui sekolah-sekolah,” tutur Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Anas Syafrizal, kepada fornews.co Jumat (05/01).
Ia mengaku, selama ini pihaknya lemah menyosialisasikan aksara surat ulu. Menurutnya, dinasnya beberapa tahun lalu mendorong agar aksara kaganga di setiap plang nama perkantoran instansi pemerintahan di OKU, menyertakan aksara kaganga dan itu hanya bertahan beberapa tahun saja. Semangat memlihara warisan budaya leluhur makin ke sini kembali tersisihkan.
“Memang vakum karena dinas ini terus berpindah-pindah akibat dampak nomenklatur, namun semua sudah kita masukkan kembali ke program kerja kita,” katanya.

Minim Dukungan
Anas Syahrizal juga mengemukakan, banyak hal yang melatari sulitnya menghidupkan kembali aksara kaganga. Yang paling dirasakan, masih ada instansi tidak mendukung program pelestarian surat ulu. “Sudah pernah mengimbau jika dinas instansi harus menggunakan huruf kaganga, namun hingga saat ini belum dipatuhi oleh setiap instansi,” terangnya.
Ia juga menceritakan, kalau pemerintah daerah melalui dinasnya pernah mencoba susun kamus bahasa Ogan. Minimnya ahli bahasa daerah serta huruf kaganga proses pembuatan kamus tersebut tersendat. Butuh banyak kajian untuk menguji kata per kata dalam setiap bahasa Ogan.
“Kita ini memang satu suku. Hanya suku Ogan, tapi ada dibeberapa daerah seperti Ulu Ogan saja banyak perbedaan bahasa untuk arti yang sama. Apalagi di daerah (ulak) seperti Peninjauan, itu juga sudah beda penekanan,” katanya.
Anas juga menceritakan, pembuatan kamus bahasa daerah Ogan, harus rampung dalam empat tahapan. Namun, seiring berjalannya waktu serta makin sekiditnya ahli dalam bahasa tersebut, menjadi hambatan bagi tim pembuatan kamus, sehingga hanya mampu rampung di tahap kedua yakni pencarian suku kata.
“Memang tidak mudah untuk membuat suatu kamus, kita harus mendatangkan tim ahli dari balai bahasa provinsi, narasumber dari orang ahli bahasa di OKU, juga kita datangkan serta tokoh masyarakat. Nantinya tim ahli dari balai bahasa provinsi memberikan satu kata dan akan diartikan dalam bahasa Ogan,” paparnya.
Dikeramatkan
Hambatan yang terbesar dalam melestarikan Surat Ulu justru datang dari para pewaris Surat Ulu yang disebut Jurai Tui. Para Jurai Tui menganggap Surat Ulu itu sebagai barang keramat yang tidak boleh dipegang oleh sembarang orang. Surat Ulu itu hanya jadi barang simpanan dan diselimuti hal-hal gaib serta mistik.
Selain hancur dimakan usia, ada Surat Ulu yang hilang atau sengaja dihancurkan oleh pewarisnya karena tidak tahu manfaatnya. Ada juga Surat Ulu yang dihancurkan karena dulu takut jatuh ke tangan Belanda atau Jepang.
“Upaya melestarikan Surat Ulu di Sumsel seharusnya dengan memasukkan aksara Kaganga dalam mata pelajaran muatan lokal. Saya tidak bisa mengajarkannya di sekolah karena harus berpedoman pada kurikulum sedangkan di kurikulum tidak ada. Lagipula ada banyak tipe aksara Kaganga di Sumsel, harus ditentukan mana yang akan diajarkan. Saya tidak tahu kapan cita-cita itu terwujud,” ujar Ahmad Bastari dalam wawancaranya di Kompas (15/08/2007).
Sepengetahuan Ahmad di Sumsel hanya tiga orang yang bisa membaca aksara Kaganga selain dirinya yaitu Suwandi yang tinggal Lubuk Linggau dan Pamong Budaya Ahli pada Museum Balaputradewa, Palembang Rafanie Igama.
Saat ini beberapa Surat Ulu berupa Surat Buluh dapat dilihat di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dan kitab Kakhas dapat dilihat di Museum Balaputradewa. Sebagian besar Surat Ulu masih tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta.
“Kalau tidak ada yang menyayangi Surat Ulu dan aksara Kaganga, saya takut suatu waktu kekayaan budaya Sumsel ini hilang,” kata Ahmad. (Bagus Mihargo/Kompas/wikipedia)