Penulis oleh A.S. Adam
PAGI sekitar pukul sepuluh, pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) melakukan teror di Kota Bandung.
Peristiwa itu menandai dimulainya aksi kudeta Westerling dan pasukannya pada 23 Januari 1950.
Aksi teror yang didalangi oleh Raymond Pierre Paul Westerling menyebabkan puluhan prajurit TNI dan belasan warga sipil gugur.
Pimpinan Komando Depot Speciale Troepen (DST) itu kecewa Pemerintahannya berdamai dengan Indonesia.
Tidak puas dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang mengesahkan pengakuan Belanda atas kedaulatan Republik Indonesia, Westerling, mengumpulkan orang-orang anti Republik Indonesia.
Golongan anti Republik Indonesia itu akan dijadikan sekutunya untuk melakukan kudeta dengan rencana mengambil alih Pemerintahan Indonesia.
Di balik semua itu, APRA yang mendapatkan dukungan dari Negara Pasundan, tidak lain adalah janji palsu untuk mengadu domba rakyat Indonesia. APRA sekaligus adalah mimpi kosong bagi orang-orang Belanda yang hendak kembali menguasai Indonesia.
“Perang Dunia II sebenarnya adalah istilah untuk menghanguskan hakikat yang sebenarnya, bahwa Perang Dunia II sebenarnya adalah perang antarimperialis,” ungkap sejarawan, Prof. Ahmad Mansur Suryanegara.
Ahmad mengatakan, Belanda bisa berkuasa di Indonesia juga karena adanya kerja sama dengan pribumi.
“Tapi tidak semua pribumi memihak kepada Belanda,” katanya, “di mana pun ada penjajahan maka pribumi akan digunakan untuk menindas pribumi.”
Pada Februari 1949, Westerling bertemu dengan panglima tertingi Belanda di Indonesia, Jenderal Simon Hendrik Spoor.
Westerling memohon kepada Simon Spoor merestui gerakan bawah tanahnya, yakni gerakan bersenjata dengan misi menyebar teror di kalangan Pemerintah Republik Indonesia Serikat.
“Tujuannya apa? Agar Indonesia tetap menjadi Negara Federal dan dapat dikuasai kembali sebagai Kolonial Belanda,” kata Ahmad.
Hendrik Spoor yang juga berambisi menguasai Indonesia mengabulkan permintaan Westerling dan segera membentuk APRA.
Cukup mudah bagi Westerling mengumpulkan orang-orang anti Republik Indonesia untuk menjadi pasukannya. Itu karena Westerling adalah bekas Komando DST yang berubah menjadi KST.
Kurang dari enam bulan, Westerling mampu mengumpulkan bekas KNIL, DST dan KST yang pernah dipimpinnya.
“Pasukan itu tidak semuanya orang Belanda kulit putih, banyak orang-orang keturunan Ambon,” kata Guru Besar Politik Universitas Pertahanan Indonesia, Salim Said.
Para keturunan Ambon yang direkrut Westerling adalah mereka yang dulunya diinternir oleh tentara Jepang: dibebaskan setelah Jepang kalah.
Hal itu ditenggarai adanya dendam terhadap Soekarno yang dinilai telah berkhianat karena bekerja sama dengan Jepang.
“Maka, sebagian dari mereka memiliki dendam kepada Soekarno, dan mereka tidak berfikir Indonesia (persatuan dan kesatuan). Dan Westerling juga berpandangan sama seperti itu,” kata Salim Said yang pernah mewawancarai Westerling.
Salim Said merupakan wartawan Indonesia pertama yang mewawancarai Westerling sekitar tahun 1969—1970 saat dirinya berada di Belanda.
Westerling
Westerling adalah seorang keturunan Yunani Belanda yang lahir dan besar di Turki. Sejak kecil ia menyukai petualangan dan peperangan.
Saat Perang Dunia ke II berkecamuk di berbagai belahan dunia Westerling memutuskan untuk menjadi tentara sukarelawan Belanda.
Baca: Westerling Bandit Raja Pati
Pada Juni 1942, Westerling mengikuti pelatihan komando di Basic Command Training Center di Achnacarry, Skotlandia, di bawah William E Fairbairn.
Dari pelatihan itu Westerling mendapatkan baret hijau dengan spesialisasi sabotase dan peledakan.
Ia juga mendapat baret merah dari Special Air Service (SAS) Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat Inggris.
“Awalnya di mendarat di Medan bersama pasukan indie,” ujar Said.
Karena di Medan mendapat perlawanan, kata Said, Westerling lantas menangkap seorang tokoh pejuang gerilyawan dan disembelih.
“Caranya sadis. Tokoh pejuang itu terlebih dahulu dikasih makan. Setelah itu baru disembelih, dan kepalanya dibawa ke hotel.”
Hal itu dilakukan Westerling karena prinsip dia sebagai militer agar orang Indonesia takut.
Sebagai alat perang, Spoor lantas mengirim Westerling ke Sulawesi Selatan karena Kolonel de Vrees dianggap tidak mumpuni.
“Di mata Spoor Kolonel de Vrees tidak berhasil, makanya Spoor butuh orang seperti Westerling,” kata Said.
Tapi, kekejian Westerling di Sulawesi Selatan memaksa Spoor menonaktifkan perwira andalannya itu.
Hal itu dilakukan agar Westerling terhindar dari pengusutan dan kemungkinan tuntutan pengadilan militer.
Pada 16 November 1968, Westerling resmi diberhentikan dari dinas kemiliteran. Ia kemudian menikah dan menetap di Cililin, Bandung, Jawa Barat.
Selama di Jawa Barat, dengan berbekal dua truk militer bekas tentara KNIL, Westerling membuka usaha jasa angkutan perkebunan.
Usaha jasa perkebunan Westerling hanya beroperasi di sekitar Jakarta dan Bandung.
Westerling kemudian memperluas koneksinya di antara pengusaha-pengusaha di sekitar Bandung dan Cianjur.
Baca: Surat Terbuka Putri Westerling
Namanya yang terkenal dan pengaruh kemiliterannya, memudahkan Westerling mendapatlkan keuntungan.
Dari usaha jasa angkutan perkebunan selama setengah tahun, Westerling, mampu menghasilkan 600.000 gulden atau lebih dari Rp 2 milyar dengan nilai tukar saat ini.
Pendapatan itulah yang kemudian digunakan sebagai biaya operasional APRA.
Tapi, Westerling tidak sendiri, ia disponsori oleh teman lamanya bernama Leon Nicolaas Hubert Jungschlager. Leon, adalah tokoh pimpinan Organisasi Gerilya Hindia atau Nederlandsch Indies Guerilla Organisatie (NIGO) Belanda yang sangat anti Republik Indonesia.
Leon membantu Westerling menyediakan dana yang didapat dari sejumlah perkebunan di Jawa Barat dan perusahaan besar Belanda, salah satunya adalah perusahaan ekspedisi Koninkluke Paketvaart Maatschappu.
Diketahui, Leon pertama datang ke Indonesia tahun 1924 sebagai juru mudi pada perusahaan ekspedisi dan pelayaran Belanda di Indonesia.
Pada 27 Desember 1949, secara resmi Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat yang ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan perwakilan Belanda di Istana Merdeka, Jakarta.
Mendirikan Milisi Rahasia APRA
Mengetahui hasil KMB, Westerling bersikap reaktif. Ia lantas mengancam mengobarkan perang besar kepada Pemerintah Indonesia, jika tidak segera mengakui kedaulatan negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) khususnya Negara Pasundan.
Westerling menunggu jawaban Pemerintah Indonesia sekurang-kurangnya tujuh hari. Jika menolak Westerling dan pasukannya akan melancarkan serangan.
Sehari sebelum teror APRA berlangsung, tanggal 22 Januari 1950, Westerling bersiaga di Hotel Preanger yang bersiap menuju Padalarang.
Di Padalarang pasukannya menunggu persenjataan yang akan digunakan untuk melumpuhkan Pemerintah RIS di Jakarta.
Hari berikutnya, tanggal 23 Januari 1950, pukul lima pagi, pasukan APRA mulai bergerak.
Di bawah JH van der Meulen, pasukan APRA berangkat dari Cimahi yang sebagian besar sebelumnya telah berkumpul di bekas markas Corps Speciale Troepen di Batujajar.
Mereka bergerak menuju pusat Kota Bandung menempuh jarak 16 kilometer melewati Cililin, Jalan Cimindi, dan Ciberem.
Di sepanjang perjalanan, APRA menjarah toko-toko dan pabrik-pabrik yang mereka lewati.
Mereka juga menduduki pos-pos keamanan polisi militer Indonesia dan melakukan pemblokiran jalan raya Cimahi-Bandung.
Pukul sembilan pagi, APRA telah sampai di Kota Bandung masuk melalui Jalan Banceuy. Mereka lantas berpencar dan langsung melakukan teror secara membabibuta di seputaran kota.
Warga Kota Bandung yang sebelumnya tidak menyadari terhenyak dan berhamburan. Peluru-peluru APRA menembus tubuh parjurit-prajurit TNI yang ditembak bertubi-tubi.
Westerling dan pasukannya membuat kekacauan dengan menyerang prajurit TNI Divisi Siliwangi. Mereka menyasar TNI yang melakukan penjagaan di Bandung.
Banyak TNI yang gugur dalam serangan itu.
Di Jalan Merdeka 10 prajurit TNI gugur. Di perempatan Jalan Braga dan Jalan Suniaraja 7 TNI gugur dan di depan Hotel Preanger 3 TNI gugur.
Sedangkan tiga jenazah TNI lainnya dibuang di Sungai Cikapundung, di sekitar Jalan Konferensi Asia Afrika.
Di sepanjang Jalan Braga belasan TNI dan belasan sipil meninggal dunia di Jalan Oude Hospitaalweg (sekarang menjadi Jalan Lembong).
Puncaknya, pada pukul 11.00 gerombolan teroris itu menduduki Kantor Staf Kwartier Divisi IV Siliwangi yang bertempat di kawasan Braga.
Mereka juga menghabisi lima belas pasukan TNI yang sedang bertugas.
Seragan teroris APRA itu berakhir pada sore sekitar pukul lima. Mereka kembali ke Cimahi.
Mengetahui serangan itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Pertahanan RIS langsung mengerahkan pasukan TNI Siliwangi dengan tambahan pasukan TNI dari Jawa Tengah untuk menumpas APRA.
Kepala Staf Angkatan Perang RIS, Kolonel TB Simatupang, segera memberikan instruksi kepada Panglima Siliwangi, Kolonel Sadikin, untuk menyiapkan pasukan guna melakukan serangan balasan terhadap APRA di Bandung.
Pada 27 Januari 1950, JH van der Meulen, pemimpin pasukan APRA berhasil ditangkap TNI di Cianjur tanpa perlawanan. Sehingga APRA yang direncanakan melakukan aksi teror di Jakarta berhasil digagalkan.
Tanggal 22 Februari 1950, Westerling melarikan diri melalui Tanjung Priok dan dijemput pesawat Angkatan Laut milik Belanda. Ia lantas dibawa lari ke Singapura.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 21 Agustus 1950, dari Singapura, Westerling menumpang pesawat Quantas Australia yang membawanya ke Brusel, Belgia.
Pada April 1952, Westerling berhasil pulang ke Belanda secara diam-diam.
Namun, hingga ajalnya Westerling tidak pernah diadili terhadap aksi brutalnya di Sulawesi Selatan dan di tempat lain di Indonesia. (*)