Penulis oleh A.S Adam
DESEMBER 1946, setahun empat bulan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Belanda kembali menyerang.
Kapten Raymond Pierre Paul Westerling, perwira kesayangan Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor, dikirim ke Sulawesi untuk melawan pejuang Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS).
Serangan Belanda di Sulawesi Selatan justru mendapatkan perlawanan kuat dari rakyat Makasar.
Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi pimpinan Panglima Ranggong Daeng Romo dan Wolter Monginsidi sebagai Sekjen, membuat Belanda kewalahan.
Para pemuda dan laskar yang tidak takut mati menyerang pos-pos tentara Kolonial Belanda.
“Belanda tidak mampu lagi menghadapi perlawanan rakyat Indonesia di bagian Timur, maka, dikirimlah Westerling dan pasukannya,” ungkap sejarawan Anhar Gonggong dalam wawancaranya dengan tvone.
Pada 9 November 1946, Hendrik Spoor memanggil seluruh pemimpin Hindia Belanda di Sulawesi Selatan ke Batavia.
Spoor mengirimkan pasukan khusus Depot Speciale Troepen (DST) ke Sulawesi Selatan yang dipimpin Westerling.
“DST adalah pasukan khusus yang dilatih memang untuk membunuh,” ungkap Anhar.
Pada 5 Desember 1946, sebanyak 130 tentara DST tiba di Makasar dan mendirikan markas di Matoangin.
Westerling melakukan penyerangan dengan caranya sendiri, dengan cara membantai penduduk setempat. Namun, westerling menyangkal pemberitaan media massa.
“Di lima hari pertama saya mundur setelah mendapat perintah militer dan menjelaskan situasi di Sulawesi Selatan,” katanya.
Gerakan sporadis yang dilancarkan pasukan Westerling kurang dari tujuh hari itu telah membuat ratusan nyawa penduduk setempat meregang.
Dengan dalih mendapatkan laporan dari informan yang menurut dia dapat dipercaya, Westerling segera membuat rencana penyerangan di Sulawesi Selatan.
Penyerangan itu disebut Westerling sebagai penumpasan pemberontakan.
Westerling sendiri tidak pernah mengakui kejahatan yang dilakukannya di berbagai penjuru Indonesia.
Dalam beberapa kali kesempatan dia membela diri dan menyatakan bahwa tindakannya di Sulawesi Selatan adalah bagian dari situasi yang tidak normal, yang harus diselesaikan dengan operasi kemiliteran.
Bahkan ia mengatakan tidak mendapatkan arahan secara pasti dari Kolonel de Vrees sebagai pemegang Komando teritorial untuk wilayah Borneo dan sekitarnya.
“Saya mendapat wewenang penuh untuk membuat rencana pengerahan pasukan,” katanya kepada wartawan di Belanda.
Pada 12 Desember 1946, DST di bawah pimpinan Westerling mulai melancarkan aksi teror di sekitar Kota Makasar.
Pukul lima pagi, pasukan Westerling melakukan pengepungan di Desa Batua dan melakukan penggeledahan di rumah-rumah penduduk.
Penduduk digiring berkumpul di tanah lapang bersama ribuan warga lainnya. Bagi yang menolak berkumpul atau melarikan diri langsung ditembak mati di tempat.
“Mereka mencari Wolter Monginsidi dan M Saelan. Namun, Belanda tidak menemukannya,” ujar Saleh, salah satu warga Desa Batua yang mengalami peristiwa itu.
Rumahnya ikut diobrak-abrik Belanda. Pasukan Westerling juga merampas barang-barang berharga miliknya.
Satu persatu, penduduk setempat ditembak mati setelah disuruh lari di persawahan yang berlumpur.
“Bayangkan saja kalau sawah selesai dibajak tanahnya pasti berlumpur. Kami disuruh lari kemudian kami ditembaki,” kenang saleh.
Setelah para penduduk berkumpul dengan daftar yang ia miliki dari informan pribumi, Westerling mulai mencari penduduk yang dianggap ekstrimis. Setelah teridentifikasi warga itu langsung dieksekusi di depan ribuan orang.
Sejarawan Batara Hutagalung kepada penulis mengatakan, Westerling menggunakan cara-cara sistematis yang diterapkan di seluruh Sulawesi.
Tahap pertama, dilakukan pengepungan terhadap satu wilayah, bisa terjadi beberapa desa kemudian semua penduduk dikumpulkan ke satu lapangan besar.
Tahap kedua, berdasarkan daftar nama dari para informan-informan mereka yang adalah pribumi, yang masuk kategori pengkhianat bangsa, dipisahkan orang-orang tersebut dan langsung ditembak mati di tempat.
Tahap ketiga, apabila di antaranya itu terdapat kepala desa, maka, diangkatlah kepala desa baru yang ditunjuk oleh Belanda. Kemudian disampaikan pidato oleh Westerling atau wakilnya bahwa inilah akibatnya kalau berani melawan Belanda.
“Jadi ini yang dinamakan metode Westerling—tembak di tempat!”
Belanda Berlakukan Darurat Perang di Sulawesi Selatan
Dengan cara yang sama selama enam hari tanggal 12-18 Desember 1946 Westerling dan pasukannya terus meneror warga Kota Makasar menewaskan sekitar seratus warga sipil.
Tanggal 19 Desember 1946, Simon Spoor memberikan keleluasaan kepada Westerling untuk terus melakukan aksinya dengan cara memberlakukan keadaan darurat perang di daerah Mandar, Pare-pare, dan Makasar.
Kolonial Belanda mempreteli Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru dinyatakan merdeka dengan mengadakan konferensi Denpasar yang merupakan tindaklanjut dari konferensi Malino.
Kedua konferensi itu seakan-akan memperkukuh Indonesia bagian Timur sebagai Negara Federal.
“Belanda sadar tidak dapat menduduki Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena itu Hindia Belanda melakukan perpecahan,” kata sejarawan Universitas Hasanuddin, Edward L Poelinggomang.
Dalam konferensi di Denpasar, sebut Edward, para tokoh politik dan tokoh adat di Indonesia bagian Timur ditakut-takuti sehingga tidak bisa mengajukan tuntutan kepada Pemerintah Belanda.
“Belanda memberikan ketakutan kepada para tokoh politik dan adat di Indonesia bagian Timur agar tuntutan yang diajukan tidak boleh mendapat penolakan.”
Di Bulukumba, pasukan Westerling tidak hanya membunuh warga sipil, aparat desa yang pro kemerdekaan Republik Indonesia juga dibantai di depan warganya.
Di Pare-pare, pasukan Westerling juga membantai dua raja pelopor perjuangan dari Kerajaan Suppa yakni Andi Makkasau Parenrengi dan Andi Abdullah Bau Masepe.
Tidak hanya raja, rakyat biasa yang melindungi keberadaan raja dan para pejuang juga dibantai oleh pasukan Westerling untuk melemahkan kejuangan rakyat Indonesia di Sulawesi.
Pada 1 Februari 1947, di daerah Mandar yang kini menjadi Provinsi Sulawesi Barat, Laskar Gabungan Pemberontak Rakyat Indonesia kode 531 (Gapri 531) berhasil menembak mati dua pasukan DST dalam pertempuran sengit di Talolok Majene.
Pertempuran sengit juga terjadi antara Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) dengan tentara Westerling di Kabupaten Takalar pada 28 Februari 1947.
Jenderal Lapris, Ranggong Daeng Romo, gugur dalam pertempuran besar itu.
Pertempuran yang menewaskan dua pasukan khusus KNIL membuat Wakil Komandan Operasi Khusus DST Mayor Stufkens dan Vermeulen marah.
Masyarakat Mandar yang sudah dikumpulkan ditembak secara membabibuta.
Westerling Dipecat
Pada 17 Februari 1947, aksi teror Westerling berhenti, dan pasukannya ditarik dari Sulawesi Selatan. Spoor lantas menonaktifkan Westerling pada 16 November 1948.
Mandar bisa dikatakan menjadi penutup aksi Westerling selama di Sulawesi.
Namun, meski sudah dipecat, Westerling kembali berulah mengetahui Belanda harus mengakui kedaulatan Republik Indonesia di Meja Bundar pada tanggal 23 Januari 1950.
Tidak terima keputusan Konferensi Meja Bundar, Westerling lantas membentuk Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) bersama pasukannya yang masih setia untuk melakukan kudeta kepada Repubik Indonesia.
Sebanyak 94 TNI dari Divisi Siliwangi gugur dalam kudeta berdarah itu.
Namun Batalyon H Divisi Siliwangi berhasil menghadang dan menghentikan APRA yang hendak menuju Jakarta.
Aksi kudeta Westerling gagal. Sedangkan anak buah Westerling ditangkap hidup-hidup.
Baca: APRA Hanyalah Janji Palsu untuk Mengadu Domba Rakyat Indonesia
Westerling yang berhasil kabur dari TNI melanjutkan petualangannya seorang diri ke Jakarta.
Ia berniat mengacaukan sidang kabinet pada 24 Januari 1950 dengan mengincar Soekarno, Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai sasaran tembaknya.
Namun, semua upayanya gagal. Westerling lantas melarikan diri menggunakan paspor palsu yang disponsori oleh Konsul Jenderal Belanda di Singapura bernama R van der Gaag.
Westerling dibawa lari ke Singapura menggunakan pesawat angkatan laut milik Belanda setelah dijemput di pelabuhan Tanjung Priok pada 22 Februari 1950.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 21 Agustus 1950, dari Singapura Westerling menumpang pesawat Quantas Australia yang membawanya ke Brusel, Belgia.
Pada April 1952, secara diam-diam Westerling berhasil pulang ke Belanda—meski sebenarnya ia telah ditangkap di rumah Graaf van Rechteren—dan pihak Indonesia meminta Westerling diesktradisi ke Indonesia.
Baca: Putri Westerling Menolak Ayahnya Dikatakan Pembantai Ribuan Orang Indonesia
Permintaan pemerintah Indonesia itu tidak digubris. Pemerintah Belanda melalui putusan Mahkamah Belanda pada tangga 31 Oktober 1952 menyatakan Westerling tidak bisa diekstradisi ke Indonesia dengan alasan dirinya bukan warga Indonesia.
Hingga akhir ajalnya Westerling tidak pernah diadili meski telah menjadi bandit raja pati di Sulawesi Selatan dan di tempat lain di Indonesia.
“Westerling dididik sebagai penjahat, dan ditugaskan untuk selalu melakukan kejahatan-kejahatan walau pun alasannya menegakkan pemerintahan Kolonial Belanda. Tapi bagi kita kan kejahatan. Bagaimana saya tidak menganggap jahat kalau dia bunuh ayah dan keluarga saya?” pungkas Anhar. (^)