PALEMBANG, fornews.co – Ramainya isu memberhentikan Joko Widodo (Jokowi) dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia dengan memakzulkan-nya, dinilai sangat sulit untuk realitas politik Indonesia saat ini.
Penilaian tersebut diutarakan pendiri Lingkaran Survey Indonesia (LSI), Denny Januar Ali atau lebih dikenal dengan Denny JA.
“Memberhentikan Jokowi dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia, memakzulkan-nya, adalah hal yang sangat, sangat, dan sangat sulit untuk realitas politik Indonesia saat ini. Kata sangat-nya tiga kali. Yang lebih penting lagi, ini jika dikerjakan akan buruk untuk prinsip demokrasi di Indonesia,” ujar dia, Senin (15/1/2024).
Denny mengatakan, bahwa itu respon cepat ketika membaca tiga berita. Pertama, berita di awal Januari Minggu kedua tahun 2024, bahwa hadir petisi 100 tokoh yang ingin memakzulkan Jokowi.
“Di dalamnya terdapat nama seperti Amien Rais. Di sana juga ada beberapa purnawirawan Jenderal. Mereka secara serius ingin mengajukan pemakzulan Jokowi,” kata dia.
Sebelumnya, ungkap Denny, berita dari Metro TV newsroom, seorang tokoh lembaga survei yang juga tokoh demokrasi, Saiful Mujani menyebut Jokowi harus dimakzulkan jika ingin pemilu berintegritas.
Kemudian sebelumnya lagi, ada juga tokoh lembaga survei, dan aktivis demokrasi, Eep Saefulloh Fatah, membuka data pemenangan Pilpres 2024, hingga potensi pemakzulan Jokowi.
“Mengapa kita katakan sulit bahkan ilusi, hanya ada dalam imajinasi liar saja, jika mereka ingin berhasil memakzulkan Jokowi, memberhentikan Jokowi dari jabatan presiden?” ungkap dia.
Denny menyebut ada empat alasan, tiga alasan berhubungan dengan realitas politik. Satu alasan lainnya langsung ke jantung prinsip demokrasi. Pertama, saat ini Jokowi sangatlah populer. Approval rating Jokowi sejak bulan Juni 2023 hingga Januari 2024 berkisar 75 persen hingga 82 persen.
“Survei LSI Denny JA yang mutakhir di bulan Januari 2024, approval rating Jokowi, tingkat kepuasan publik pada Jokowi, di angka 81,8 persen. Itu angka yang tinggi sekali. Publik luas mustahil menyatakan dirinya puas kepada Jokowi jika mereka tidak merasakan manfaat langsung program Jokowi dalam kehidupan sehari-hari mereka sendiri,” jelas dia.
Publik luas juga, sambung dia, mustahil menyatakan puas kepada Jokowi jika mereka tidak melihat personality pada Jokowi yang mereka sukai. Tingginya approval rating Jokowi ini sama di berbagai lembaga survei.
“Memakzulkan Jokowi dalam kondisinya yang begitu populer akan mendapatkan perlawanan sangat keras dari rakyat banyak yang puas padanya,” imbuh dia.
Alasan kedua, terang Denny, yang juga membuat pemakzulan Jokowi ilusi adalah rumitnya prosedur. Untuk memakzulkan presiden sesuai dengan ketentuan UUD 45 Pasal 7A dan 7B, tentu saja harus ada alasan substansial yang memadai.
Harus hadir di sana bukti telanjang Jokowi mengkhianati negara, atau Jokowi korupsi, atau melakukan penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya, atau Jokowi melakukan perbuatan tercela.
“Prosedur pemakzulan harus bermula di DPR, dengan 2/3 anggota DPR hadir, dan dari yang hadir, 2/3 menyetujuinya. Persetujuan itu oleh DPR ke Mahkamah Konstitusi,” terang dia.
“Katakanlah jika MK setuju, maka MPR bersidang. MPR yang akhirnya memutuskan itupun harus dihadiri oleh 3/4 dari anggota MPR. Lalu pemakzulan harus disetujui 2/3 dari yang hadir,” imbuh dia.
Denny meneruskan, alasan ketiga yang membuat pemakzulan ini ilusi untuk dikerjakan, karena capres dan cawapres yang potensial menang sesuai dengan begitu banyak hasil survei itu adalah Prabowo Gibran.
Pada Desember 2023, elektabilitas Prabowo-Gibran di angka 45,3 persen. Bahkan di Januari 2024, survei LSI Denny JA, dukungan kepada Prabowo-Gibran menaik lagi, sudah menyentuh 46,6 persen.
“Pasangan inilah yang paling potensial akan menjadi presiden dan wakil presiden 2024-2029. Pasangan ini juga adalah hardliner pro-Jokowi. Susah sekali membayangkan Prabowo-Gibran ikut menari dalam gendang pelengseran Jokowi,” kata dia.
Alasan terakhir atau keempat dan yang paling penting serta esensial, tegas Denny, saat ini masih dalam situasi demokrasi yang mengalami transisi atau masih goyah, jadi harus dikokohkan.
“Dalam demokrasi yang labil, jangan pernah lagi kita memakzulkan presiden. Jika kita tak setuju padanya, kalahkan sang presiden dalam pemilu berikutnya,” tegas dia.
Denny menambahkan, bahwa pemakzulan hanya akan melahirkan pemakzulan selanjutnya dan itu membuat situasi politik dalam negeri akan rawan.
“Tentu selalu ada perkecualian, yaitu kecuali jika presiden memang melakukan pelanggaran hukum yang mencolok sekali. Juga terlihat di sana, mayoritas publik tidak puas dengan Sang Presiden,” tambah dia, seraya menandaskan, tapi bukankah situasi kini adalah kebalikannya? Mayoritas justru puas dengan Presiden. Gerakan atau seruan pemakzulan Jokowi hanya asyik untuk diskusi saja, tapi tak bersambung dengan realitas politik. (aha)