Penulis : Arafah Pramasto,S.Pd. (Pemerhati Kesejarahan asal Palembang dan Anggota Studie Club Gerak Gerik Sejarah)
PERMAINAN elektronik/game PUBG (dibaca ‘Pabji’), singkatan dari Player Unknown’s Battlegrounds diberitakan akan menerima fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak bulan Maret lalu. Sempat santer terdengar bahwa kepastian fatwa mengenai PUBG akan diputus pada April kemarin. Tetapi seperti dilansir dari Jawapos.com (1/4), kabar mengenai pemblokiran PUBG oleh Kemkominfo dan fatwa haram MUI yang dilengkapi foto sebuah portal berita berjudul Kominfo Resmi Blokir Game PUBG dari Indonesia pada 30 Maret 2019 dan tajuk MUI Kaji Fatwa PUBG Haram, adalah kabar palsu. Pembuat hoax itu merekayasa berita di situs tirto.id. Tampilan berita yang judulnya sudah direkayasa itu kemudian di-capture, selanjutnya disebar melalui media sosial. Versi aslinya, berita yang terbit pada 23 Maret 2019 itu berjudul MUI Kaji Fatwa Haram Gim PUBG, Perlukah ?.[1]
Mungkin dalam dua dekade terakhir ini masalah seputar permainan kerap dianggap sebagai pengaruh luar, sebut saja dampak bermain Dingdong era 90-an, Play Station II (utamanya tentang Game Grand Theft Auto (GTA)), Point Blank, dan dilanjutkan dengan polemik PUBG. Kabar yang sempat menyeruak sepertinya kini telah menguap di awal Mei 2019, terlebih lagi dengan banyaknya liputan mengenai “kecurangan.” Ternyata, kecurangan itu bukan soal bermain curang dalam PUBG, game yang dituduh menjadi “inspirasi” penembakan brutal di Masjid Al Noor, Christchurch, New Zealand.
Kecurangan itu juga tidak dikait-kaitkan dengan permainan, pertandingan olahraga, maupun game lain. Justru dakwaan “curang” tersebut berkelindan dengan perhelatan akbar demokrasi negeri ini (baca : Pemilu). Jika benar fatwa haram itu akan diputus, pertanyaan mendasar ialah, apakah benar hal itu (mengharamkan permainan) perlu diprioritaskan dalam kehidupan bangsa ?
Pertanyaan di atas sesungguhnya memiliki akar sosio-historis. Nusantara telah memiliki “Peradaban Main” yang cukup tua. Contoh yang paling populer dan tersebar luas tentu adalah bermain Gasing, mainan tertua yang ditemukan di berbagai situs arkeologi. Misalnya saja di wilayah Natuna, Kepulauan Riau. Di sana, permainan ini sudah ada jauh sebelum Belanda menjajah negeri kita. Di Sulawesi Utara, Gasing mulai dikenal sejak 1930- an. Bentuk Gasing sangat beragam, bahkan permainannya pun beragam di tiap daerah. Bentuknya ada yang lonjong, kerucut, berbentuk seperti jantung, silinder, serta seperti piring terbang. Di daerah Toraja, Sulawesi Selatan, dikenal sebanyak 32 bentuk Gasing. Selain bentuknya, Gasing pun memiliki beragam istilah di setiap daerah. Di Lampung Gasing disebut Pukang; sedangkan masyarakat Jawa Barat dan Jakarta menyebutnya Gangsing atau Panggal; di Maluku disebut Apiong; di Kalimantan Timur disebut Begasing; dan di Nusa Tenggara Barat disebut Manggasing. Istilah Manggasing juga dipakai oleh masyarakat Sulawesi Selatan.[2]
Dalam masyarakat Bali di Desa Trunyan, terdapat permainan bertanding keterampilan fisik untuk kanak-kanak yang disebut Pinceran. Permainan ini semacam Gasing atau di dalam bahasa Inggris diebut Top. Alat Pinceran ini dibuat dari buah jarak pagar yang berbentuk bulat dan masih hijau. Buah ini ditusuk dengan dua batang lidi. Sebatang lidi ditusuk secara vertikal sampai tembus, sehingga yang bagian atas berfungsi sebagai gagang untuk digesekkan di antara dua telapak tangan waktu hendak diputar, sedangkan bagian bawah berfungsi sebagai kaki Gasing yang dapat berputar di lantai tanah. Batang lidi yang lain ditusukkan secara horisontal dan berfungsi seperti “taji” karena diruncingkan ujungnya. Dengan adanya taji ini, maka dua buah gasing diputar berdekatan akan dapat saling merusak sewaktu bersentuhan. Pinceran yang lebih besar kerusakannya dibandingkan dengan kerusakan lawannya dianggap kalah.[3]
Berdasarkan perbedaan sifat permainan, menurut Guru Besar antropologi Universitas Indonesia James Danandjaja, maka permainan rakyat (Folk Games) dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu permainan untuk bermain (Play) dan permainan untuk bertanding (Game). Perbedaan permaianan bermain dan permainan bertanding, adalah bahwa yang pertama lebih bersifat mengisi waktu senggang atau rekreasi, sedangkan yang kedua kurang mempunyai sifat itu.[4]
Mungkin aktifitas bermain pertama bisa kita lihat dalam bidang seni musik. Jenis kesenian ini tergolong permainan rakyat yang bersifat untuk bermain / rekreatif. Budaya “main” musik di Nusantara telah sedemikian marak sejak berabad-abad silam. Ada sebuah catatan tentang permainan musik yang disaksikan oleh Walter Murray Gibson, seorang pelarian mantan konsulat-jenderal untuk tiga republik di AS yang terkena skandal pembelian sekunar beras milik dinas perpajakan pemerintah AS untuk seorang jenderal asal Guatemala. Gibson melarikan diri ke Sumatra dan menjejakkan kaki pertama kali di Palembang pada awal tahun 1852. Catatan Gibson yang populer semasa di Palembang ialah waktu ia menghadiri sebuah jamuan pesta orang Cina. Selama pesta ada kelompok musisi yang duduk di lantai. Kelompok itu, kata Gibson, “Memukul lonceng-lonceng kecil di atas papan yang bentuknya menyerupai dulcimner; memetik senar-senar kecapi, mendentingkan segitiga, dan menabuh genderang dengan bunyi ribut.”[5]
Tentang “lonceng” sebagai alat musik juga pernah dicatatkan oleh pelancong Portugal pada abad ke-16 bernama Tome Pires. Alat musik lonceng dalam catatan Pires ialah bebunyian yang dimainkan bersama-sama seperti organ. Sedangkan papan yang menjadi tempat bagi lonceng-lonceng, sebagaimana disebut oleh Gibson, menyerupai dulcimer yakni alat music tradisional Amerika berupa siter berdawai tiga yang dimainkan dengan cara dipetik. Penyepadanan itu menandakan alat musik yang disaksikan oleh Gibson sifatnya melodis. Kemungkinan besar ia melihat instrumen gamelan atau kulintang.[6] Di samping itu, dua abad sebelum Gibson, Tome Pires ikut memuji Pulau Jawa sebagai tanah para “pantomim” dan topeng yang beranekaragam, baik lelaki maupun perempuan melakoninya.[7] Selain dari catatan bangsa asing mengenai permainan kesenian di Nusantara, sebaliknya pula ditemukan sisa peradaban bangsa Barat berupa alat musik yang dapat dimainkan sendiri.
Di Provinsi Bengkulu, tepatnya ialah di kota Mukomuko berdirilah salah satu benteng yang dibangun kongsi dagang Inggris East Indian Company (EIC) pada tahun 1798 bernama Benteng Anne / Anna. Salah satu penemuan unik dari ekskavasi benteng ini adalah artefak logam tembaga berbentuk mirip tusuk konde. Artefak sepanjang 6,5 cm dan lebar bagian melingkar 2,5 cm ini diduga merupakan alat musik harpa atau biasa disebut “Harpa Yahudi” (Inggris : Jew’s Harp). Harpa ini biasanya terdapat tambahan yang membujur pada bagian tengah. Rupanya bagian yang membujur tersebut sudah hilang pada temuan di benteng Anne. Hal ini terlihat dari adanya bekas tempat menempelnya logam di bagian tengah. Harpa Yahudi dianggap salah satu instrumen musik tertua di dunia.[8] Instrumen ini dimainkan dengan cara dijepit di antara bibir, serta logam yang membujur itu kemudian dipetik dengan jari. Mungkin karena ukurannya yang kecil dan portabel, alat musik ini cocok untuk dimainkan para penjaga benteng dalam melepas lelah.
Beralih ke seni pertunjukan modern, hampir serupa dengan Harpa Yahudi yang berasal dari luar Nusantara, main “Stambul” kemudian dikenal dalam sejarah bangsa ini. Buku pelajaran Sejarah Budaya SMU Kelas 3 Program Bahasa karangan Machmoed Effendhie tahun 1999 menceritakan bahwa seni pertunjukan modern di Indonesia adalah rombongan Teater Bangsawan. Berawal dari peran Muhammad Pushi yang membentuk Teater Pushi Indera Bangsawan di Penang (Malaysia), rombongan itu kemudian banyak melakukan pentas ke berbagai kota termasuk ke Sumatera dan Batavia. Pada pementasan di Batavia itulah rombongan teater ini bubar dan semua peralatannya dibeli oleh Jaafar yang kemudian membentuk rombongan baru yang dinamainya Stamboel.[9] Nama Stambul / Komidi Stambul yang menjadi sebutan pertunjukan ini dikarenakan tema-tema yang diangkat diambil dari kota Istanbul (pelafalan lokal menyebut “Ista(m)bul”-Pen), Turki. Sebab itu pula sering disebut dengan nama Cerita 1001 Malam.[10]
Nama ‘Stambul’ sendiri faktanya tidak secara tunggal dipakai untuk menyebut permainan seni pertunjukan di atas. Berdasarkan inventarisasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) tahun 1983, provinsi Sumatera Selatan juga mengenal Stambul namun dalam bentuk permainan anak. Asal kata Stambul dalam permainan ini diambil dari nama bola yang dimainkan yakni ‘Bola Stambul’ yang terbuat dari ijuk pohon aren arau sabut kelapa yang dibentuk bulat lonjong, diisi batu kerikil secukupnya sebagai pemberat, dan sebuah tali diikatkan pada salah satu ujung sehingga bola dengan mudah dipegang atau diputar-putar. Bola Stambul yang dipertandingkan sedikitnya dimainkan oleh 6 pasang anak (12 orang) dalam tiap kelompok secara berhadapan. Ada yang bertugas menggendong dan digendong sekaligus melempar bola. Permainan ini selain melatih fisik juga mengajarkan kerjasama bagi anak-anak. Berkembang sebagai permainan masyarakat terpelajar pedesaan dan dimainkan di surau-surau, Stambul kemudian menyebar sampai ke kawasan kota. Permainan ini mulai hilang sejak zaman pendudukan Jepang sekitar tahun 1942.[11]
Untuk apa menguraikan khazanah “bermain” di Nusantara seperti di atas ? Jawabannya ialah karena menurut sejarawan Anthony Reid, masyarakat Asia Tenggara sebagaimana Indonesia termasuk salah satunya, ialah kawasan dengan iklim lunak dengan persediaan bahan makanan seperti beras, ikan, buah-buahan yang tersedia secara pasti dibandingkan dengan sebagian besar wilayah dunia lainnya, sehingga mereka memiliki “keuntungan alamiah” untuk bebas dari perjuangan terus-menerus dalam bertahan hidup. Tak ayal orang Eropa memandang orang Asia Tenggara yang mereka jumpai dalam kurun waktu sekitar abad ke-16 sampai ke-17 mempunyai banyak waktu luang dan bisa meluangkan malam hari dengan bernyanyi, berpesta, bermain, dan saling menghibur. Lebih dari itu, sebagai contoh, kata dalam bahasa Thai dan Melayu untuk “play” (Thai : “fen”, Melayu : “main”) mencakup banyak kegiatan, mulai dari adu sapi dan teater hingga hubungan seksual di luar perkawinan.[12]
James Danandjaja juga memasukkan “Permainan Rakyat” sebagai salah satu “folklor” karena diperoleh melalui warisan lisan. Folklor memiliki definisi yakni sebagian kebudayaan suatu kolektif, macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Hal ini terutama berlaku pada permainan rakyat kanak-kanak, karena permainan ini disebarkan hampir murni melalui tradisi lisan dan banyak di antaranya disebarluaskan tanpa orang dewasa seperti orangtua mereka atau guru sekolah mereka. Rupa-rupa permainan rakyat juga sangat banyak. Berdasarkan perbedaan sifat permainan, maka permainan rakyat dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu permainan untuk bermain (play) dan permainan untuk bertanding (game).[13]
Onghokham sejarawan dan cendekiawan Indonesia dalam pengantarnya bagi terjemahan buku Anthony Reid, memberi pujian bahwa Reid ikut membicarakan manusia Asia Tenggara sebagai Homo Ludens yaitu ‘Manusia yang Bermain-main’. Namun Onghokham mengkritik Reid yang dianggapnya kurang bisa menunjukkan serta menganalisis konsekuensi tentang Homo Ludens itu. Misalnya, sepak bola yang dimainkan para pemuda, yang telah menyebar pada masyarakat Indonesia atau Asia Tenggara, telah ada akar sejarahnya dengan berbagai nama seperti olahraga “Sepak Raga” atau “Sepak Takraw”, dan ini tidak terdapat di bagian dunia manapun juga. Contoh lainnya seperti “Adu Jago” di Asia Tenggara, juga telah menyebar dari masyarakat bawah sampai ke atas.[14]
Tan Malaka sebagai Bapak Bangsa dan pahlawan kemerdekaan Indonesia pernah menuliskan rasa keprihatinannya atas kondisi sekolah-sekolah zaman Hindia Belanda yang dianggapnya tidak sepadan dengan geest (hawa) usia anak. Murid-murid, kata Tan Malaka, tak beda kerjanya semacam mesin pabrik gula, siang malam tak berhenti bekerja, tak beda dengan siswa yang siang-malam harus menghafalkan pelajaran. Para murid tak bisa bergaul kecuali waktu uitspanning (istirahat) sehingga tidak tahu senangnya berkumpul-kumpul; sifat ini akan dibawa hingga dewasa, mereka akan menjadi orang yang suka mencari kesenangan sendiri-sendiri. Melalui permainan, anak-anak akan belajar taat pada peraturan. Sungguhpun peraturan tadi (dalam bermain layangan umpamanya) tidak dituliskan dalam Reglement (peraturan tertulis). Di samping itu, bermain juga mengajarkan dasar organisasi. “Kalau ada anak yang melanggar adat bermain, maka anak itu lekas kena tegur dan kalau tiada mau mendengar, maka ia akan kena boycot,” pungkas Tan Malaka.[15]
Singkat kata, para ahli sejarah, ahli antropologi, hingga ideolog-pahlawan seperti Tan Malaka secara umum bersepakat melihat masyarakat Indonesia memang tak bisa lepas dari kegiatan bermain dalam berbagai bentuk seperti pertunjukan seni, perlombaan, pertandingan, hingga pengisi waktu luang. Ada baiknya jika (wacana) pengharaman PUBG ingin diterapkan, keputusan itu telah melalui proses penelitian komparatif dan komprehensif. Jangan sampai keputusan itu sekadar menjadi tindakan eliminasi tanpa ada alternatif solusi. Apalagi kita hidup di negeri yang diwarisi oleh berbagai kearifan, wacana fatwa haram itu mestinya juga dibarengi himbauan bagi para anak bangsa dalam mengolah potensi itu. Sebut saja dengan menciptakan versi elektronik dari permainan tradisional namun tetap mengasyikkan, membangun fisik, membangkitkan keterampilan seni dan intelektual, serta tidak mendegradasi moral.
Berbicara soal moral, saking universalnya kata “main”, kita kerap mendengar istilah “ada main” – dalam konotasi negatif – untuk menyamarkan kata “selingkuh” atau “zina” sampai pada masalah kongkalikong politik maupun jabatan. Percuma saja mengharamkan ratusan game online karena alasan substansinya yang mempromosikan kekerasan, namun dalam kehidupan nyata, di luar dunia maya, masih jamak masyarakat kita yang senang “bermain-main” dengan kejujuran. Contoh-contoh paling sederhananya seperti ketika mahasiswa/(i) dari kalangan berpunya namun doyan memakan beasiswa Bidikmisi – tak peduli sehebat apa prestasinya, beasiswa jenis ini tetap hanya untuk kalangan tidak mampu, atau masyarakat mampu tapi gemar menerima Bansos (Bantuan Sosial) sejenis beras dan Program Keluarga Harapan (PKH), termasuk pula para caleg yang berusaha membeli suara rakyat dalam pemilu (tak sedikit pula yang meminta pengembalian uang / barang tatkala dinyatakan gagal), fatwa haram tak akan berdampak nyata ke akar rumput.
Sumber :
- “Penggemar PUBG Waswas dengan Hoax Fatwa Haram” dalam Jawapos.com 1 April 2019.
- Hutari, Fandy, Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal : Kumpulan Esai Seni, Budaya, dan Sejarah Indonesia, Yogyakarta : Insist Press, 2011. Hlm. 88.
- Danandjaja, James, Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain lain, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1997. Hlm. 173-174.
- Hlm. 171.
- Pramasto, Arafah, Noftarecha Putra, Rampai Sejarah Keindonesiaan dan Keislaman, Bandung : CV Jejak, 2018. Hlm. 66.
- Gordon, Steward, Asia Menguasai Dunia, Jakarta : Ufuk Press, 2008. Hlm. 222.
- Hendrata, Ade Oka, dkk., Peradaban di Pantai Barat Sumatra, Yogyakarta : Ombak, 2013. Hlm. 261.
- Effendhie, Machmoed, Sejarah Budaya SMU Kelas 3 Program Bahasa, Jakarta : CV Armico, 1999. Hlm. 115.
- Arief, M. Sarief, Politik Film di Hindia Belanda, Depok : Komunitas Bambu, 2010. Hlm.22.
- Tim, Permainan Anak-Anak Daerah Sumatera Selatan, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983. Hlm. 108.
- Reid, Anthony, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I : Tanah di Bawah Angin, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014. Hlm. 200.
- Danandjaja, James, Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain lain, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1997. Hlm. 171.
- Cit. Hlm. xxvii.
- Malaka, Tan, Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia), Bandung : Sega Arsy, 2014. Hlm. 119.