Penulis oleh A.S. Adam
GULA tidak hanya dibuat sebagai pemanis minuman kopi atau teh untuk dinikmati pada waktu-waktu tertentu. Atau, dinikmati setiap saat menyesuaikan selera suasana.
Pada masa kolonial, gula merupakan komoditas penting sebagai sumber penghasilan di kalangan orang-orang berkulit putih dari negeri kincir angin Belanda.
Kedatangan Belanda di tanah Jawa dengan alasan ekspedisi penelitian ternyata modus perampasan tanah-tanah subur milik pribumi. Salah satunya untuk ditanami tebu. Tebu-tebu yang dipanen diolah menjadi gula.
Sebagian dari pribumi memilih aman dengan perut kenyang menjadi jongos para penjajah Belanda. Mereka menjadi tuan-tuan kecil yang betkhianat terhadap bangsanya sendiri yang kelak melahirkan generasi pemberani yang sengit melawan penjajah.
Pabrik-pabrik gula milik Belanda dibangun yang semua pekerjanya adalah orang-orang pribumi yang dipaksa oleh tuan-tuan kecil atas perintah tuan besar Belanda.
Untuk meraup keuntungan, seluruh hasil dari pengolahan tebu yang dihakmiliki Belanda kemudian dikirim ke berbagai negara. Lahan-lahan yang kosong hampir tak tersisa ditanami rumput manis berukuran raksasa. Pulau Jawa menjadi lumbung tebu yang melimpah.
Pada abad 17, pulau-pulau besar di Indonesia–terutama di pulau Jawa–menjadi tempat pertemuan para perampok yang terus-menerus menyatroni rakyat pribumi. Salah satunya menguasai lahan dengan pohon tebu.
Riibuan hektare lahan tebu yang dipanen tidak disisakan diinikmati oleh rakyat pribumi yang menolak bekerja sama menguntungkan para pengusaha Belanda.
Gula-gula hasil olahan itu hanya dinikmati oleh kalangan Belanda dan sekutunya. Sisanya adalah kemiskinan yang harus dinikmati oleh pribumi Jawa yang melawan.
Namun, anak-anak Belanda yang bermukim di Jawa menyukai kembang gula buatan pribumi dalam berbagai bentuk yang disebut gulali.
Dalam bahasa Indonesia, gulali, berarti penganan yang dibuat dari air gula yang kental. Sebelum gula dapat dibentuk terlebih dahulu gula harus dipanaskan hingga menjadi pasta.
Bahan gulali tidak hanya dari gula putih, namun, gula merah dari pohon aren juga menjadi bahan pembuatan gulali.
Gulali biasanya dikemas sederhana: hanya dilekatkan pada bilahan bambu yang ukurannya disesuaikan agar nantinya saat dipegang gulali tidak mudah terburai saat dinikmati.
Kebanyakan orang hanya mengenal satu jenis gulali. Padahal, gulali dibuat dalam berbagai macam bentuk dengan cara pembuatan yang berbeda.
Di Indonesia, ada beberapa macam gulali yang dinikmati oleh para penyukanya. Gulali gula jawa, gulali gula pasir, gulali permen kapas, gulali rambut nenek, dan gulali sutra.
Namun, asal-usul gulali di Indonesia masih menjadi perdebatan. Sebagian peneliti sejarah mengatakan gulali gula jawa merupakan cikal bakal dari jenis gulali gula pasir di Indonesia.
Gulali di Indonesia diperkirakan mulai diperkenalkan pada tahun 1904 melalui orang asing yang datang ke pulau Jawa. Meski ada yang mengatakan gulali pertama kali dibuat oleh orang Amerika pada tahun 1887.
Jenis penganan yang kerap disebut permen gulali membuat siapapun tergoda, dari anak-anak hingga tua.
“Kebanyakan dari mereka malah dewasa,” kata lelaki sederhana asli Garut, Jawa Barat, yang sudah dua puluh tahun tinggal di Yogya mencari nafkah.
Sejak menikah dan tinggal di kampung Sayidan, Gondomanan, Yogyakarta, usianya yang hampir 70 tahun, fisiknya masih tangguh berjalan kaki memanggul dua peti berlapis aluminium berisi seperangkat alat pembuatan gulali. Satu peti diisi wajan berukuran sedang yang didesain khusus sebagai tempat pengolahan gula yang di atasnya dipajang gulali dalam berbagai bentuk yang disukai pembeli.
Mamat, dikenal sebagai pengasong gulali yang ramah. Meski sesekali berbahasa Jawa, aksen bahasa Sundanya masih melekat.
“Hampir semua pembeli terkenang masa kecilnya,” ucapnya.
Gulali yang dijual Mamat adalah jenis gulali berbahan gula putih yang diberi warna: merah dan kuning. Satu gulali dijual Rp 5.000. Tapi, Mamat lebih sering membentuk gulali yang mudah dibuat, meski tidak semua orang mampu membuatnya.
Pembeli menyukai gulali bentuk kuda, burung, ayam jago, kembang, dan bentuk bundar dengan dua warna yang dibuat melingkar.
Mamat bercerita, pernah ada pembeli memesan gulali berbentuk pesawat. Semula agak kesulitan membuatnya karena belum terbiasa meramgkai bentuk pesawat. Imajinasinya yang tinggi dan terbiasa membuat gulali tak membutuhkan waktu lama untuk membuat gulali berbentuk pesawat.
Di masa pandemi, berkurangnya wisatawan di Yogyakarta akibat pembatasan terhadap tempat wisata berimbas kepada pedagang kecil. Mamat harus lebih cermat mencari tempat berjualan agar semua gulalinya terjual habis.
“Sebelum pandemi virus corona bisa habis tiga kilogram gula,” ujarnya. “Sekarang, di masa susah seperti ini, hanya habis setengah kilogram gula pasir.”
Harga gula pasir yang semakin mahal membuat Mamat hanya mampu menghabiskan gula sebanyak satu kilogram. Ia mengaku khawatir jika stok gula pasir terlalu banyak akan terbuang sia-sia.
Jauh sebelum pandemi memuncak, Mamat, selalu kehabisan gulali. Wisatawan yang berkunjung ke Kraton Yogyakarta melumat habis gulali manis buatannya. Terlebih pada bulan Festival Kesenian Yogyakarta gulali laris manis.
Setiap hari, Mamat, dapat ditemui di sekitar Tamansari, Ngasem. Sebuah tempat bersejarah yang banyak dikunjungi wisatawan selain Kraton dan Malioboro.
Ia mulai buka lapak gulali sekitar pagi jam 09.00 hingga menjelang sore. Kadang jika sedang lesu tak sampai jam 14.00, Mamat, memutuskan pulang ke rumah kontrakan di Sayidan.
“Saya teringat masa kecil, waktu masih sekolah dasar,” kata dua wisatawan asal Jakarta, usai membeli gulali buatan Mamat.
Dua wanita cantik berambut panjang bermasker dengan bando kacamata hitam, berkaos putih bertuliskan Jogja dan tersenyum lebar itu mengaku senang menjumpai gulali saat berjalan-jalan di komplek Tamansari.
Mereka kaget karena masih ada pembuat gulali. Di Jakarta sangat sulit ditemui. Mungkin masih ada. Kalaupun ada itupun tak pernah dijumpainya.
“Bentuknya lucu. Jadi terkenang masa anak-anak,” kata Tika.
Tika, bersama ibunya yang cantik, memperlihatkan wajah yang senang karena bisa menjumpai penjual gulali saat berwisata di Yogya.
Pernah Ditangkap Satpol PP
GULALI buatan Mamat masih terbungkus plastik menunggu pembeli lainnya. Angin bersemilir menyejukkan cuaca di siang bolong yang panas. Tapi gulali tidak mudah lumer. Kata Mamat, gulali bisa tahan keras selama tiga hari.
Mamat menyarankan memasukkan gulali ke dalam almari pendingin agar keras gulali bisa bertahan lebih lama.
Saya sempat bertanya jika ada gulali yang tidak laku apakah akan masuk tempat sampah? Ternyata tidak. Gulali yang masih tersisa dapat dicairkan dan kembali dibentuk.
Tapi, pandemi Covid-19 membuat Mamat harus berupaya menerapkan protokol kesehatan: memakai masker, rajin mencuci tangan dan menjauhi kerumunan.
Jauh sebelum Daerah Istimewa Yogyakarta diberlakukan darurat Covid-19, ketika Mamat masih mangkal berjualan di sekitar Benteng Vredeburgh di kawasan Titik Nol Kilometer Yogya, pernah berurusan dengan Satpol PP karena berjualan di area bebas pedagang kaki lima.
Dua peti modal berjualan gulali milik Mamat terpaksa disita petugas. Bersama puluhan pelanggar lainnya, Mamat, disidang dan dikenai denda sebesar Rp 50.000.
Dua kali di tempat yang sama, Mamat, diciduk petugas Satpol PP. Ia terpaksa berjualan di area bebas PKL yang ramai pengunjung. Keuntungannya bisa berlipat-lipat dibanding di tempat biasa.
“Paling tidak saya pernah merasakan dan tahu, bahwa aturan tidak boleh diabaikan,” katanya menyesal.
Setelah dua kali mengalami sidang karena pelanggaran berjualan di area bebas PKL kini Mamat lebih bijaksana memilih tempat berjualan gulali.
Ia selalu meminta ijin kepada pengelola tempat sebelum menggunakannya sebagai tempat mangkal berjualan. Mamat tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Jika tertangkap lagi risikonya adalah malu dan rugi.
Sebagai pengasong gulali tidak mudah bagi Mamat untuk dapat terus menyambung hidup. Di masa sulit darurat Covid-19 harus lebih pandai mengirit pengeluaran uang. Ia pun pasrah dan terus berusaha.
“Kadang dalam kondisi kepepet per tiga gulali saya jual Rp 10.000 agar bisa buat makan.”
“Dulu, kalau tertangkap Pol PP saya tidak jualan,” kenang Mamat.
Pengalaman berurusan dengan petugas menjadi pelajaran berharga bagi Mamat. Pengalamannya diceritakan kepada teman-teman sesama pedagang agar lebih berhati-hati dan mentaati peraturan.
Mamat tidak marah. Tidak kesal. Apalagi dendam. Ia memaklumi penertiban yang dilakukan oleh SatPol PP karena itu sudah menjadi kewajiban tugasnya.
Berharap Pandemi Covid-19 di Indonesia Segera Berakhir
MAMAT, yang setiap hari bersandal japit berkeliling mengasong gulali, berusaha mematuhi protokol kesehatan selama pandemi belum berakhir.
Kondisi ekonomi yang sulit tidak mudah mengirim uang dalam jumlah besar untuk anak-anaknya di Garut, Jawa Barat.
Uang yang dikumpulkan setiap hari dari hasil berjualan gulali untuk jatah anak-anaknya, setelah dipotong biaya kebutuhan selama di Yogya, kadang sangat mepet.
Mamat pernah diminta Saudara-saudaranya datang ke sebuah acara keluarga di Garut. Tapi, Mamat tidak dapat memenuhinya dan memilih mengirimkan uang sejumlah Rp 300.000 untuk mereka.
“Daripada saya pakai ke Garut, uang saya kirim ke sana agar bisa dimanfaatkan. Sedangkan uang tidak cukup untuk biaya transportasi.”
Pilihan sulit itu terus dialami Mamat selama diberlakukan pembatasan di masa pandemi Covid-19. Mengetahui kondisi yang sulit selama kurun waktu lebih dari setengah tahun, Mamat berharap agar pandemi segera berakhir.
Ia berharap kepada pemerintah agar ekonomi rakyat kecil menjadi perhatian serius. Karena di masa pandemi hampir semua pedagang mengalami kerugian.
“Semoga pandemi ini segera berakhir dan wisatawan yang datang ke Yogya semakin ramai,” ucap Mamat. (*)