YOGYAKARTA, fornews.co—Peristiwa perkawinan anak menjadi salah satu hambatan pembangunan nasional dan dapat mengganggu pencapaian SDGs Indonesia.
Hal itu diungkapkan Kepala DP3AP2 DIY, Erlina Hidayati, dalam dialog Pendewasaan Usia Perkawinan Usia Anak Melalui Perkawinan/Perkawinan Usia Anak lMelalui Peraturan Desa secara daring melalui aplikasimeeting, Selasa (12/1/2021).
Erlina Hidayati mengatakan, secara bersinergi dari strata pemerintahan hingga tingkat desa terus berupaya menghapus perkawinan anak di Indonesia.
Bertambahnya perkawinan anak di Indonesia dari tahun ke tahun, berimbas terhadap sektor ekonomi dan budaya.
Kepala DP3AP2 DIY itu pun menyinggung peningkatan perkawinan anak di DIY. Menurut Erlina Hidayati, adanya Undang-undang Keistimewaan seharusnya DIY mampu memiliki kehidupan yang istimewa–termasuk pada kualitas kesejahteraannya.
“Efek perkawinan usia dini sangat banyak. Untuk itu strategi perkawinan anak sangatlah penting.”
Meski DIY adalah peringkat kedua setelah Riau terhadap angka perkawinan anak di Indonesia, namun, data tahun 2018 itu masih berdasarkan Undang-Undang Perkawinan sebelum direvisi, yakni usia 16 tahun untuk perempuan.
“Posisi DIY bisa bergeser, lebih baik atau bahkan lebih jelek, jika, minimal usia perkawinannya mengacu pada Undang-Undang Perkawinan setelah direvisi menjadi 19 tahun,” katanya.
Untuk itu, imbuhnya, upaya pencegahan perkawinan anak harus terus dilakukan.
Sebagai perempuan sekaligus ibu, Kepala DP3AP2 DIY, Erlina Hidayati, mengatakan bahwa anak adalah investasi bangsa. Karena masa perkembangan usia anak dapat berpengaruh pada masa depan dan pembangunan negara.
Perlu diketahui, secara nasional pemerintah pusat memiliki arah kebijakan meningkatkan kualitas anak, perempuan dan pemuda. Salah satu strateginya menguatkan sinergi dan koordinasi dalam upaya pencegahan perkawinan anak yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Selain itu, hal lain yang dilakukan adalah upaya pencegahan stunting di desa melalui pengasuhan anak di keluarga, termasuk pencegahan perkawinan anak.
“Pengaturan perkawinan anak diharapkan ada dalam peraturan desa. Apalagi, wewenangnya semakin luas.”
Peran desa menjadi sangat penting karena adanya wewenang penuh dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan masyarakat hingga pemberdayaan masyarakat desa.
Sebagai langkah awal dalam pencegahan dan penanganan perkawinan anak, pemangku desa dapat menyusun Perdes sebagai komitmen dalam menurunkan jumlah perkawinan anak.
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, usia perkawinan yang ideal yakni minimal 21 tahun.
“Perkawinan dini seolah-olah menjadi persoalan utama. Padahal ada masalah lain seperti kasus kehamilan yang tidak diinginkan (KTD),” ungkap Ketua Dewan Pengurus Daerah Lembaga Pemberdayaan Masyarakat DIY, KPH Notonegoro.
KPH Notonegoro, mengatakan, pencegahan perkawinan anak tidak hanya sebatas pembuatan regulasi. Hal-hal untuk mengatasi penyebab terjadinya perkawinan anak juga perlu dilakukan.
“Jadi, dibuat aturan sebaik apapun kalau sudah terjadi KTD susah juga,” kata KPH Notonegoro.
Untuk itu, tutup KPH Notonegoro, dibutuhkan penanaman budaya kepada anak-anak yang telah mengalami pergeseran budaya akibat globalisasi. (adam)