PALEMBANG, fornews.co – Gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang tinggal menyisakan empat bulan lagi ini diprediksi bakal berbeda dengan yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu.
Ada sejumlah hal yang menjadi pembeda pada Pemilu 2024 mendatang, mulai dari proses perekrutan penyelenggara, dukungan terhadap para calon presiden (capres), hingga persaingan partai politik.
Khusus di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), tentu tak jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi secara nasional. Namun ada faktor-faktor yang harus dicermati jelang Pemilu 2024 berjalan pada 14 Februari tahun depan berjalan.
Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumsel, Amrah Muslimin, bahwa dari sisi penyelenggaraan tentu berbeda, karena pada 2019 lalu hari pungut hitungnya pada bulan 17 April, sedangkan pada 2024 nanti pada 14 Februari.
Persoalan yang menjadi yang menjadi perhatian dari KPU RI itu ada di KPU kabupaten dan Kota. Karena KPU RI lah yang menentukan tim seleksi (timsel) dan menentukan seleksi juga.
“Kalau dalam proses seleksi KPU Kabupaten dan Kota, itu irisan-irisan terutama kepentingan partai politik (parpol) masuk ke ranah proses seleksi, tentu itu akan mengkhawatirkan kita sebagai penyelenggara,” ujar dia.
Hal ini, ungkap Amrah, karena memang akhir masa jabatan KPU Kabupaten dan Kota se Sumsel ini ada 16 kabupaten pada 7 januari 2024, artinya satu bulan lebih seminggu mereka dilantik dan sudah harus dihadapkan pada kegiatan-kegiatan yang menjadi tahapan yang paling vital dalam proses Pemilu 2024.
Salah satunya pengelolaan logistik mulai dari surat suara, kotak suara dan bilik, yang memang dituntut bagaimana KPU kabupaten dan kota bisa mengelola logistik itu dengan tepat jumlah dan tepat waktu.
“Bila mengacu pada Pemilu 2019, ada Palembang dan Banyuasin yang menjadi catatan tata Kelola yang tidak profesional dalam hal pengelolaan logistik, hingga mengakibatkan muncul persoalan di Pemilu 2019,” ungkap dia.
Kemudian, sambung dia, soal pemungutan dan penghitungan suara. Seandainya KPU kabupaten dan kota yang terpilih ini adalah orang-orang yang dalam tanda kutip belum punya pengalaman dan tingkat kemampuan wawasan dalam kepemiluannya rendah, maka akan sulit bagi mereka untuk cepat menyesuaikan diri.
“Artinya, siapapun nanti yang terpilih menjadi anggota KPU kabupaten dan kota, mereka harus melakukan akselerasi dalam mengejar tahapan yang akan mereka laksanakan. Terutama di manajemen logistik, kemudian pemungutan penghitungan dan rekapitulasi,” kata dia.
Amrah menjelaskan, bila dilihat dari sisi Pilpres tentu berbeda juga. Karena pada Pilpres 2019 itu kutubnya jelas, ada dua calon antara Jokowi dan Prabowo Subianto. Sementara di Pilpres 2024 ini yang beredar hingga saat ini ada tiga bakal calon, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
“Jelas akan melahirkan tiga kutub yang berbeda. Maka dari itu, perlu memastikan bahwa Pemilu 2024 itu memang harus berkaca pada Pemilu 2019. Jadi perpecahan pada 2019 itu kita lihat bagaimana negara kita pada titik diambah perpecahan, nah itu yang harus diperhatikan. Itu bukan hanya di penyelenggara Pemilu, parpol juga harus menyadari itu,” jelas dia.
Amrah menerangkan, Bahwa tanggung jawab parpol itu untuk menciptakan Pemilu 2024 lebih kondusif dari Pemilu 2019, menjadi suatu keharusan bagi parpol, termasuk aparat penegak hukum yang harus lebih ekstra bekerja.
Karena tiga kutub bakal calon presiden itu mempengaruhi bagaimana presiden yang akan terpilih itu tentu akan menunjuk menteri, termasuk menunjuk pimpinan-pimpinan di aparat penegak hukum.
“Kalau tidak dikelola dengan baik, maka ada potensi oknum-oknum yang bermain. Itu yang harus diperhatikan betul, bagaimana memastikan netralitas aparat dalam hal ini Polri dan TNI, itu betul-betul netral dan mengawal, serta mengamankan jalannya demokrasi,” terang dia.
Kemudian dari sisi parpol, tegas Amrah, persaingan pada Pemilu 2024 ini akan lebih sengit dibanding 2019. Mengapa? Karena bila dilihat dari beberapa calon, misalnya dari calon DPR saja, itu tokoh-tokoh Sumsel hampir semuanya menjadi calon legislatif (caleg) DPR RI. Tokoh-tokoh tersebut punya kualitas dan punya massa.
“Maka perlu sekali dipastikan ketokohonan mereka bisa diimplementasikan dalam proses pergerakan mereka dalam melaksanakan kampanye. Jangan sampai, karena Sumsel punya bermacam-macam suku, bayangkan ketokohan dari suku Komering, Basemah, Musi dan lainnya, kalau tidak dikelola dengan baik maka akan menjadi embrio konflik,” tegas dia.
“Walau perlu disadari, sekarang masyarakat Sumsel bila berkaca dari Pemilu 2019 cukup cerdas setiap melihat kontestasi demokrasi. Namun tetap menjadi hal yang harus dipahami oleh tokoh-tokoh yang mencalonkan diri,” imbuh dia.
Berikutnya, papar Amrah, Pemilu 2024 ini akan lebih menarik lagi, karena pasca Pileg dan Pilpres, akan langsung masuk tahapan Pilkada serentak 2024. Bagaimana kondisil parpol yang baru selesai habis-habisan bertempur secara politik memenangkan Pilpres, tiba-tiba akan ada momen yang akan memecah koalisi.
“Bayangkan, saya pastikan tidak sama (koalisi) itu, antara parta pengusung pada Pilpres dengan parpol yang mengusung pada Pilkada. Ini tentu yang juga menjadi hal-hal yang harus diperhatikan,” kata dia.
Lalu terkait respons masyarakat Sumsel pada Pemilu 2024 nanti, Amrah menuturkan, akan lebih dominan Generasi Z. Nah dari 6,3 juta pemilih di Sumsel, sebanyak 84% adalah berusia 17-54 tahun. jadi generasi-generasi itulah yang dilihat memang generasi milenial, X dan Z. Dari 84% itu diperkirakan sekitar 4 juta pemilih yang diyakini mereka semua menggunakan smartphone yang pasti mengakses internet setiap hari.
“Tentu mereka cepat menangkap informasi yang kalau tidak bisa dikelola bisa menjadi bahaya. Bagaimana seandainya, serangan dari oknum peserta Pemilu yang menggunakan black campaign lewat media sosial,” tutur dia.
Amrah menyebut hal itu harus dicermati dan dicegah dari awal, bagaimana potensi perpecahan itu dimulai dari penyebaran hoaks di media sosial, serta kurangnya literasi dari masyarakat kelompok milenial itu terhadap bagaimana demokrasi itu.
Bila tidak dibendung dengan sosialisasi, literasi kepada masyarakat baik oleh penyelenggara, peserta Pemilu, parpol maupun aparat serta tokoh masyarakat, akan sangat berbahaya bila tidak diatur dengan baik.
”Memang sebenarnya itu tugas parpol dan penyelenggara Pemilu itu bukan hanya sekadar menyelenggarakan Pemilu dan parpol memenangkan Pemilu. Namun hal yang paling penting itu bagaimana peserta dan penyelenggara Pemilu itu memberikan literasi demokrasi kepada masyarakat Sumsel,” kata dia.
Kemudian soal aturan yang harus tegas. Bagaimana penindakan-penindakan terhadap oknum yang menggunakan kampanye yang mengarah ke SARA, itu harus ditindak tegas. Agar bisa memberi efek jera kepada pelaku-pelaku yang memang sengaja atau tidak sengaja melakukan itu.
Terakhir soal partisipasi, kata Amrah, pada Pemilu 2019 lalu pada Pilpresnya faktor ketokohan calon itu, Jokowi dan Prabowo memang sangat mempengaruhi.
Karena, bagaimana pergerakan tim Jokowi untuk masuk ke lini generasi muda pada saat itu, begitupun tim Prabowo yang masuk lini-lini masyarakat lainnya.
Pemilu 2024 nanti yang sudah memunculkan tiga calon, juga memiliki pengaruh yang sama dengan sebelumnya. Saya meyakini Pemilu 2024 ini tingkat partisipasi pemilih di Sumsel akan tetap melampau target nasional di angka 76%.
“Kalau partisipasi pemilih di Sumsel pada Pemiu 2019 lalu di atas angka nasional yakni 78 persen. Bahkan pada Pilkada 2020 jumlah partisipasi pemilih diatas 80 persen,” tandas dia.

















