GARISSA, fornews.co – Guna melindungi dari aksi perburuan, jerapah putih terakhir di dunia yang ada di bagian timur laut Kenya, kini dipasangi alat pelacak GPS.
Ishaqbini Hirola Community Conservancy, kelompok konservasi yang mengawasi satwa liar di daerah tersebut memasang alat pelacak itu di salah satu tanduk jerapah pada 8 November lalu. Alat pelacak itu akan memberikan informasi terbaru setiap satu jam terkait keberadaan jerapah tersebut, sehingga memudahkan para penjaga hutan untuk memantau hewan unik ini.
Diketahui, jerapah putih memiliki kondisi genetik langka bernama leucism, yang membuatnya kehilangan pigmentasi kulit. Dia diperkirakan sebagai spesies terakhir dari jerapah putih, setelah pemburu membunuh dua ekor jerapah putih lain pada bulan Maret lalu. Bangkai kedua jerapah putih itu ditemukan di kawasan konservasi di timur laut Garissa, Kenya, tempat jerapah jantan hidup sendirian.
“Tempat penggembalaan jerapah telah diberkati dengan hujan lebat baru-baru ini dan vegetasi yang melimpah menjadi pertanda baik bagi masa depan jerapah putih jantan,” ujar Mohammed Ahmednoor, Manajer kelompok konservasi tersebut, dalam siaran pers yang dilansir dari BBC Indonesia, Kamis (19/11).
Jerapah putih pertama kalinya ditemukan di Kenya pada Maret 2016, sekitar dua bulan setelah adanya sebuah penampakan di negara tetangga Tanzania. Satu tahun kemudian, jerapah putih kembali menjadi tajuk utama setelah seekor jerapah putih betina dan anaknya tertangkap kamera di area konservasi di Garissa, Kenya.
Diketahui, komunitas alam liar Kenya, badan konservasi utama di Afrika bagian timur juga siap membantu upaya melindungi. Mengingat, jerapah secara umum telah ditetapkan sebagai spesies rentan dalam daftar Daftar Merah Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), dengan perkiraan populasi 68.293 ekor secara global.
Hidup di lebih dari 15 negara di Afrika, jerapah adalah mamalia tertinggi di dunia. Mereka menjadi sasaran pemburu untuk kulit, daging dan bagian badannya. Sekitar 40% populasi jerapah telah menghilang dalam waktu 30 tahun terakhir, dengan perburuan dan perdagangan satwa liar berkontribusi pada penurunan populasi satwa ini, menurut Yayasan Satwa Liar Afrika (AWF). (yas)