Penulis oleh A.S. Adam
MODA transportasi tradisional di Yogyakarta kini tinggal kenangan. Perkembangan jaman dan teknologi, merubah beca menjadi alat transportasi pariwisata. Itu pun tidak mutlak.
Munculnya perangkat lunak, seperti gawai, cenderung membuat pemiliknya mengabaikan nilai-nilai moralitas.
Kebiasaan orang Timur terlihat seperti kebiasaan orang Barat. Begitu juga sebaliknya. Saling mengadopsi budaya sebagai identitas.
“Dampak kemajuan jaman harus diterima lapang dada. Tapi kadang malah menghilangkan nilai-nilai moralitas,” kata Sudarjo.
Sudarjo (58), bukan satu-satunya penarik beca onthel di Yogya yang kini beralih ke Betor.
Ada ratusan penarik beca lainnya yang beralih ke beca motor di DIY.
Ia terpaksa harus menyesuaikan keadaan karena kondisi fisiknya yang tidak lagi muda.
Menggayuh beca onthel sejauh 5 km saat mengantar penumpang taksanggup lagi ia lakoni. Belum lagi jika melewati jalan menanjak. Nafasnya putus-putus.
Sudarjo yang tinggal di Randubelang, Bangunharjo, Sewon, Bantul, DIY, sejak tahun 80-an, semula adalah mandor proyek.
Beberapa tahun setelah memilih berhenti menjadi mandor, ia menarik beca. Kadang Sudarjo takmeladeni penumpangnya ngobrol.
“Apalagi kalau jalannya nanjak, diajak ngobrol penumpang pun saya abaikan,” ucap Sudarjo. “Kalau pas ketemu jalan nanjak nafas harus diatur.”
Kadang, Sudarjo harus menahan nafas agar fokus pada kekuatan kaki.
Ditambah semua jalan di Yogyakarta macet. Terlebih pada musim liburan.
Namun, sekarang ia banyak tinggal di rumah sementara waktu karena pandemi virus corona.
Sudarjo berpikir keras bagaimana caranya menyambung hidup sedangkan pariwisata ditutup.
Padahal, katanya, sumber penghasilannya bergantung dari wisatawan yang datang ke Yogyakarta.
“Ora obah ora mamah (tidak bergerak ya tidak makan),” ucapnya.
Sebelum pandemi wabah corona, ia bisa mengantongi 100-200 ribu rupiah per hari. Penumpangnya kebanyakan adalah turis asing.
“Ada juga penumpang lokal, tapi saya tidak mematok harga, hanya seikhlasnya,” ujarnya.
Sudarjo berprinsip dapat saling membantu akan datang rejeki tidak terduga.
Saat ditemui fornews.co di rumahnya, di ruang tamu berukuran sekira 2×3 meter, tanpa kursi dan meja tamu, hanya ada dua kursi bambu, ia menceritakan pengalamannya.
Sudarjo pernah mengantar anak-anak sekolah yang sedang berlibur ke Yogya, menangis di tengah jalan.
Mereka diterlantarkan di jalan oleh penarik beca lain yang tidak bertanggung jawab.
Tanpa ditarik uang, anak-anak tersebut diantar ke rombongannya, ke terminal bus wisata.
Ia juga pernah menemui calon penumpang yang mengaku tidak punya uang ingin diantar ke suatu tempat.
“Ada juga yang mengaku tidak punya uang, padahal ia punya,” ungkap Sudarjo, Kamis.
Sudarjo bilang ke calon penumpang: “Kalau benar-benar tidak punya uang saya antar sampai ke tujuan”.
Sebagai orang Jawa, Sudarjo mengaku tidak tega mematok harga. Berbeda dengan turis asing yang dianggapnya lebih berduit.
“Saya sering mengantar turis asing dari Kota ke Prambanan. Mereka biasanya juga mengajak makan bersama,” u ujarnya.
Jarak dari pusat Kota ke Prambanan sejauh 22 km, memakan waktu sekira sejam. Tapi bisa lebih. Karena ruas jalan dari Kota ke Prambanan atau sebaliknya, rawan macet.
Meski tidak sempurna berbahasa Inggris, Sudarjo dapat berkomunikasi dengan turis asing.
Ia telah lama mangkal di Prawirotaman. Sebuah kawasan hotel, bar dan resto, yang sering dibanjiri turis asing.
“Where are going”, “How much” atau “we can going with beca” adalah beberapa kalimat bahasa Inggris yang ia hapal.
Meski Sudarjo sesekali menggunakan bahasa isyarat, turis asing yang berbicara dengannya tetap mengerti.
Belakangan pariwisata di Indonesia diberitakan bakal terpuruk. Termasuk berimbas terhadap Yogyakarta. Sudarjo mengaku tidak tahu apa yang akan terjadi dengannya.
Kebutuhan sehari-hari harus terpenuhi. Roda beca motor harus terus menggelinding. Takmungkin mengandangkan betornya di rumah terlalu lama.
Penghasilan istrinya sebagai pengasuh anak di kampungnya, hanya cukup untuk membantu kekurangan memenuhi kebutuhan hidup.
“Kalau benar pariwisata bakal terpuruk, paling saya bekerja serabutan. Penghasilan istri jelas takcukup,” katanya.
Sekarang sudah banyak ojek online, imbuhnya, dahulu, sebelum ada ojol, penghasilan terbilang cukup–meskipun pas-pasan.
“Seperti roda berputar. Rejeki juga tidak mungkin untuk sendiri.”
Ia setuju jika pariwisata semakin ditingkatkan. Karena orang-orang seperti Sudarjo, hanya mengandalkan pariwisata.
Hampir semua moda transportasi di Yogyakarta hanya digunakan oleh wisatawan. Begitu juga bus kota Trans Jogja.
Yogyakarta sebagai tempat destinasi favorit menimbulkan persoalan baru. Trayek-trayek kendaraan wisata yang ongkosnya lebih murah menyebabkan beca tersingkir.
Hal itu diakui sejumlah beca di Yogyakarta. Terutama yang biasa mangkal di titik-titik tempat wisata.
Sebagian penarik beca ada yang mengeluh. Sebagian lainnya pasrah menerima keadaan, karena protes pun tetap percuma.
Kini, saat pandemi Corona, sebagai penarik beca motor, Sudarjo tinggal menunggu keberuntungan.
Keputusan Pemerintah DIY memperpanjang status tanggap darurat yang semula akan berakhir pada 29 Mei 2020, diperpanjang hingga 30 Juni 2020, menambah Sudarjo mengencangkan ikat pinggang.
Ia berharap keadaan pariwisata di Yogyakarta segera pulih membaik sehingga asap dapur kembali mengepul.
“Semoga wabah corona segera pergi, dan pariwisata di Yogyakarta kembali membaik.” (adam)