JAKARTA, fornews.co – Pemilihan Presiden (Pilpres) pada Pemilu 2024 ini diwarnai tiga isu panas yang sekarang ini bergulir sangat keras. Mulai dari isu pemilu curang, hak angket yang terus digulirkan di DPR dan kemungkinan partai di kubu 01 atau 03 gabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran.
Namun setelah akhir Maret, April, apalagi Mei, Juni 2023, dan seterusnya, politik Indonesia pasca Pilpres 2024 akan baik-baik saja. Mengapa?
Menurut pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, mengutip dari pernyataan dari Mahfud MD, bahwa dia tidak hanya menjadi calon wakil presiden (cawapres) dari Koalisi 03 (Ganjar), namun juga berpengalaman dari sisi hukum.
“Mahfud menjelaskan ini adalah tradisi panjang. Pihak yang kalah selalu menuduh KPU atau Pemilu itu curang. Namun saat ini, di Pilpres 2024, lebih jauh lagi. Kecurangan pemilu itu diupayakan menjadi hak angket di DPR, bahkan pemakzulan presiden,” ujar dia.
“Tapi dimanakah ujung dari isu itu? Untuk isu pemilu curang, ujungnya nanti penetapan KPU soal pemenang pilpres, dan sidang Mahkamah Konstitusi, dengan kehadiran Bawaslu,” imbuh dia.
Denny mengatakan, bahwa jadwalnya telah ditetapkan tanggal 20 Maret 2024 itu final KPU akan mengumumkan siapa pemenang Pilpres 2024-2029. Tentu pihak yang kalah bisa menjadwalkan gugatannya dan itu diberikan waktu satu sampai tiga hari.
Mahkamah Konstitusi (MK) pun bersidang tak lebih dari 14 hari kerja. Dapat dipastikan padaawal April 2024 setelah putusan MK, maka siapapun yang kemudian ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029 tak lagi bisa digugat. Lalu aneka isu kecurangan pemilu akan meredup melalui waktu.
“Berdasarkan pengalaman di pilpres sebelumnya, sulit sekali proses pembuktian kecurangan pemilu di sidang Mahkamah Konstitusi. Bisa kita bayangkan satu dimensi saja, jumlah kasus pembuktian. Prabowo-Gibran unggul sekitar 58 persen. Katakanlah pihak yang kalah ingin menggugat 8 persen saja, agar pilpres menjadi dua putaran,” kata dia.
Itu artinya, ungkap Denny, ada 8% dari 204 juta pemilih. Maka sebanyak sekitar 16 juta pemilih harus dibuktikan di meja pengadilan, bahwa mereka tidak sah mendukung Prabowo-Gibran. Itu minta ampun banyaknya. Lebih sulit lagi jika memang tak ada kecurangan sebanyak itu.
Tradisi lima tahunan sejak Pilpres 2004, 2009, 2014, dan 2019, pihak yang kalah memang selalu menuduh curang. Namun kemudian, yang menuduh curang gagal membawa bukti yang valid di Mahkamah Konstitusi, untuk mengubah pemenang pilpres.
“Ini peristiwa lima tahunan, ritual musiman per-lima tahun, yang ujungnya akan sama. Baik di Pilpres 2004 hingga 2019, pemenang pilpres yang ditetapkan KPU itulah yang akhirnya sah menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia. Sah pula mereka memerintah,” ungkap dia.
Lalu bagaimana dengan hak angket? Denny menerangkan, besar kemungkinan hak angket ini pun mati melalui waktu, karena tak cukup dukungan di DPR untuk memperoleh 50%+1.
Mengapa tak cukup? Bukankah koalisi partai 01 + 03 jumlah kursinya melampaui 50%? Jawabannya seperti biasa. Bentuk koalisi partai segera berubah. Ini hukum besi politik.
“Akibat kita menganut sistem presidensialisme, dimana presiden dipilih langsung, tapi dalam konteks sistem multipartai, maka selalu mungkin terjadi the Divided Government,” terang dia.
“Yang menang pilpres itu, capres dari partai atau koalisi partai A. Tapi yang menang di DPR adalah partai atau koalisi partai B,” kata dia lagi.
Kasus the Divided Government ini, jelas Denny, banyak terjadi di negara Amerika Latin, dan juga di Indonesia. Tahun 2004, SBY-JK yang menang. Tapi di DPR, partai pengusung SBY-JK menjadi minoritas.
Berdasarkan quick count enam lembaga survei, Prabowo-Gibran itu terpilih sebagai presiden-wakil presiden dengan satu putaran saja. Namun total kursi partai pendukungnya, Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat, di DPR kurang dari 50% di tahun 2024 ini.
“Padahal pemerintahan eksekutif yang kuat adalah pemerintahan yang juga perlu dukungan mayoritas di DPR. Jika tidak, aneka UU dan anggaran untuk realisasi program presiden tak berjalan. Presiden akan lumpuh,” jelas dia.
Denny menuturkan, di sisi lain aneka partai yang kalah, tak semuanya siap untuk menjadi oposisi. Untuk survival partai, kaki di pemerintahan dan akses kekuasaan dibutuhkan.
Nasdem, PKB, atau PPP, bukanlah partai yang tangguh untuk beroposisi. Bisa kita duga, pada waktunya, salah satu dari tiga partai ini, atau lebih, akan pergi pindah, bergabung dengan Prabowo-Gibran.
“Konsolidasi kekuasaan baru segera terjadi. Prabowo-Gibran mendapatkan mandat menjadi Presiden dan wakil Presiden RI 2024-2029, tapi dengan koalisi baru partai, yang total kursinya di DPR di atas 50 persen,” tutur dia.
Dalam koalisi baru Prabowo-Gibran di DPR, ada Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, tapi ditambah lagi satu atau lebih partai lainnya. Lantas bagaimana nasib isu kecurangan dan praktek buruk yang mungkin saja terjadi di Pilpres 2024? Suara kalangan civil society, akademisi yang menyuarkan isu kritis itu tidaklah sia- sia.
Isu yang mereka angkat menjadi bagian penting civic education dan pematangan demokrasi. Berbagai kelemahan yang kita lihat pada pemilu presiden 2024, harus menjadi input bagi perbaikan sistem demokrasi, yang diperkuat dengan revisi UU, jika perlu. (aha)