PALEMBANG, fornews.co – Kalangan pers mendesak agar Mahkamah Agung segera mencabut aturan pembatasan pengambilan gambar, rekaman audio, dan rekaman audio visual yang harus seizin hakim atau ketua majelis hakim. Pembatasan yang tercantum dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 5 Tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan tersebut dinilai menghambat kerja jurnalis.
“Kami bisa mengerti bahwa MA ingin menciptakan ketertiban dan menjaga kewibawaan pengadilan. Namun, niat untuk itu hendaknya tidak membuat hak wartawan dibatasi. Sebab, hak untuk mendapatkan informasi itu ditetapkan oleh regulasi yang derajatnya lebih tinggi dari peraturan Mahkamah Agung, yaitu Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,” ujar Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang, Prawira Maulana, Rabu (6/1/2021).
Diketahui, Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1 Palembang Bombongan Silaban yang memimpin jalannya persidangan kasus narkotika hanya memberikan kesempatan para jurnalis untuk mengambil foto dan video selama 10 menit sebelum sidang. Selanjutnya para jurnalis pun tak diperkenankan lagi mengambil gambar dan video saat persidangan berlangsung.
Dalil pembatasan ini adalah Perma No 5 Tahun 2020. Aturan ini juga dinilai menyalahi Undang Undang Nomor 40 Tahun 199 tentang pers yang di dalamnya menjamin kerja-kerja jurnalis. Karena kerja-kerja jurnalistik mulai dibatasi, alhasil peran pers bagi kepentingan masyarakat mulai terganggu. Selain itu hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang dijamin oleh undang-undang juga terabaikan.
“Karena itu AJI Palembang mendesak MA untuk segera mencabut ketentuan itu karena tidak sejalan dengan UU Pers,” tegasnya.
“AJI Palembang membuka ruang pertemuan bersama antara komunitas pers dan Pengadilan Negeri Kelas 1 Palembang serta otoritas pengadilan yang ada di Sumatra Selatan untuk membahas perkara ini dan agar disampaikan ke MA,” imbuhnya.
Desakan yang sama juga datang dari Komite Keselamatan Jurnalis, yang terdiri dari gabungan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil. Secara nasional, komite ini juga meminta MA untuk tidak terus membuat ketentuan yang bisa membatasi jurnalis bekerja, karena itu sama saja dengan menghambat kebebasan pers.
Dalam penyampaian sikapnya, KKJ menilai, ancaman pidana melalui kualifikasi tindakan mengambil gambar dan merekam tanpa seizin hakim sebagai penghinaan terhadap pengadilan akan menambah daftar panjang kasus kriminalisasi terhadap jurnalis. Ancaman pidana ini juga berlebihan karena semestinya dapat dilakukan secara bertahap mulai dari peringatan ringan, sedang, hingga berat.
Selain itu, KKJ mendesak MA untuk mengevaluasi Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1 Palembang Bombongan Silaban yang melarang jurnalis meliput persidangan kasus narkotika pada 7 Februari 2020 lalu. (yas)