JAKARTA, fornews.co – Komisaris Utama PGN Arcandra Tahar menyatakan, pengaruh gejolak geopolitik terhadap
minyak dan gas, mengharuskan dalam negeri mempersiapkan diri akan naik-turunnya harga komoditi dan bersiap dengan apa yang akan dikerjakan.
“Salah satunya dengan memanfaatkan peluang di masa transisi energi menuju energi terbarukan. Saat ini kita masih berputar dengan fosil, suatu saat nanti akan ke zero emisi,” ujar dia.
Arcandra mengungkapkan, diantara fosil dan zero emisi ada di tengah-tengah itu dinamakan transisi. Masa transisi, energi fosil yang impact emisi terhadap environment-nya kecil atau minimum, dalam hal ini adalah gas bumi.
“Maka gas menjadi pilihan yang harus kita gunakan selama masa transisi, sebelum nanti benar-benar beralih ke NRE,” ungkap dia.
Arcandra menjelaskan, gas bumi merupakan salah satu komoditi energi yang ikut berperan dalam mendorong ketahanan atau kemandirian energi dalam negeri saat ini. Berbasis pada undang-undang dimana sumber daya alam (SDA) dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu, sambung dia, prinsip pengelolaan SDA harus diarahkan pada upaya untuk memperpanjang rantai pengolahan di dalam negeri agar kebermanfaatan bagi rakyat semakin besar.
“Gas dapat diolah menjadi LNG, bisa saja dalam bentuk petrochemical atau pupuk, itu rantainya (pengolahannya) sudah panjang. Apalagi petrochemical, produk turunannya semakin banyak lagi. Semakin banyak turunannya, maka harganya akan semakin tinggi dan kebermanfaatannya juga semakin tinggi.
Prinsip itu yang harus kita kembangkan, sehingga lapangan kerja tercipta dan pertumbuhan ekonomi kian merata ke daerah-daerah,” jelas dia.
Di sisi lain, terang dia, pembangunan industri manufaktur akan meningkat. Memungkinkan kebutuhan komoditas energi juga meningkat. Umumnya gas menggunakan pipa ke industri yang membutuhkan atau bisa juga diubah menjadi LNG yang saat ini sudah berfungsi sebagai komoditi dan bisa diperjualbelikan.
“Menurut hemat saya, transisi energi, lebih kepada local wisdom. Eropa mati-matian dengan wind, karena memang anginnya kencang di sana. Di Timur Tengah menggunakan matahari. Indonesia, (local wisdom) apa yang kita punya untuk renewable energy. Dari sisi kebijakan, pemerintah sekarang sudah memikirkan dengan matang termasuk dalam hal pemanfaatan gas di masa transisi,” terang dia.
Karena kondisi geopolitik yang penuh dengan ketidakpastian, kata dia, juga berpengaruh terhadap harga komoditi energi migas. Akan ada siklus naik turun seolah menjadi sebuah kepastian namun akurasinya kurang begitu sesuai. Dengan demikian, menurut Arcandra, lebih baik untuk lebih mengedepankan langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk memitigasi dampak dari ketidakpastian tersebut.
“Terpenting adalah langkah-langkah apa yang akan kita kerjakan. Ini salah satunya di Eropa. Salah satu langkah mitigasi Eropa saat ini adalah sewaktu mengandalkan gas pipa dari Rusia, mereka tidak mengantisipasi kalau ada hal-hal tertentu yang mengakibatkan gas tidak mengalir. Setahun belakangan ini mungkin sampai tahun depan, mereka berlomba-lomba membangun fasilitas infrastruktur agar LNG dari negara pengekspor gas bisa masuk ke Eropa,” kata dia.
Akibatnya, dengan ‘dimerdekakannya’ Eropa dari ketergantungan gas dari satu negara, imbuh dia, kemungkinan harga gas akan turun. Soal berapa turunnya, kapan turunnya, itu yang menjadi misteri. Nah di Indonesia sendiri, ketergantungan impor cukup besar. Kebutuhan minyak dalam negeri kira-kira adalah 1,4 juta barel per hari.
“Sedangkan produksi kilang dalam negeri untuk menghasilkan BBM sekitar 800 ribu barel per hari. Hal ini, menyebabkan impor BBM sekitar 600 ribu barel per hari,” kata dia.
Arcandra menambahkan, di sisi lain, kondisi kilang dalam negeri dulunya didesain hanya dapat menerima jenis minyak mentah tertentu. Memang minyak mentah yang diolah di kilang yang bukan spesifikasinya, dapat menghasilkan produk turunannya BBM dan lain-lain. Akan tetapi tidak seefisien mengolah minyak mentah yang sesuai dengan spesifikasi kilang.
Salah satu yang mempengaruhi harga komoditi adalah geopolitik. Tentu pemerintah tahu persis dan bagaimana seharusnya bertindak. Dari sisi geopolitik dan hubungan bilateral menjadi pertimbangan pemerintah dalam menyikapi perpolitikan dunia, karena impact-nya cukup besar.
“Tentunya kita bisa mempertimbangkan kebijakan negara lain yang cocok untuk dicontoh. Seperti halnya dalam menentukan strategi-strategi transisi dengan diversifikasi usaha ataupun dekarbonisasi menuju renewable energy,” tandas dia.