PALEMBANG, fornews.co – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumsel mencatat, sepanjang bulan September ada sebanyak 29.858 hotspot dan parahnya 2.514 hotspot itu berada di lahan gambut.
Kemudian, sebanyak 2.733 hotspot lagi berada di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit.
Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Yuliusman, SH menyampaikan, berkaca dari situasi genting ini maka WALHI Sumsel mendesak pemerintah pusat khususnya pemerintah daerah dan DPRD Provinsi untuk melakukan tindakan cepat, tepat dan terukur untuk jangka pendek dalam menangani persoalan karhutla dan kabut asap di Sumatera Selatan.
“Kami mendesak DPRD Provinsi dan Pemprov Sumsel harus secara totalitas terlibat langsung dan mengawasi kerja penanggulangan dan pemadaman kebakaran di lapangan,” tegas dia, Rabu (4/10/2023).
Pemerintah pusat dan daerah kata dia, harus menekan pemegang izin, baik izin perkebunan dan izin kehutanan bertanggung jawab penuh dalam penanggulan kebakaran. Tanggung jawab yang tidak hanya sebatas pada lingkup areal izin tetapi bertanggung jawab secara keseluruhan atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumsel.
“DPRD Provinsi harus segera memastikan pemerintah untuk maksimal melakukan rekayasa hujan buatan di setiap daerah Kabupaten Kota yang kondisi udaranya berada pada level berbahaya. Kemudian Pemerintah Provinsi dan daerah harus bertanggung jawab dalam memastikan keselamatan dan Kesehatan warga Masyarakat Sumatera Selatan yang terpapar ISPA secara total,” kata dia.
Yulius mengungkapkan, karhutla merupakan peristiwa yang bisa diprediksi oleh pemerintah pusat dan daerah terlebih stakeholder kunci yaitu pemegang izin yang berbasis lahan. Karena 3,3 juta hektare (Ha) luas daratan di Sumsel, bentangan bentang alamnya telah dikupas dan dirusak oleh korporasi yang rakus lahan.
“Mari kita hitung dengan angka matematis, dimana 8,6 juta ha luas Sumatera Selatan telah dikuasai oleh perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) seluas 1,4 juta ha, 1, 2 juta ha dikuasai oleh perusahaan kelapa sawit, lebih dari 700 ribu ha dikuasai oleh usaha pertambangan,” ungkap dia.
Kondisi Inilah, jelas Yuliusman, yang menjadi penyebab utama karhutla di Sumsel dan terbukti izin-izin perusahaan itu juga terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan yang terus berulang.
Jad, tidaklah heran, sambung dia, bila memasuki fase musim kemarau seperti El Nino 2023 ini bencana ekologis karhutla dan asap dipastikan terjadi di Sumsel.
“Hutan dibabat, gambut dikeringkan secara paksa melalui kanalisasi untuk kepentingan perusahaan HTI, Sawit dan pertambangan. Lalu yang terjadi bencana akut yang berulang dan selalu mendapatkan prestasi bernama lumbung asap. Akibatnya masyarakat Sumsel mendapat suguhan bencana yang dapat merenggut kematian karena terpapar Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA),” jelas dia.
Kemudian, dari data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Palembang bulan Agustus hingga September 2023, kasus ISPA di Sumsel telah mencapai 5.033 jiwa dengan kondisi udara sudah berada pada level berbahaya.
“Kondisi ini diperkirakan akan terus terjadi peningkatan kasus dan dampak buruk lainnya yang berimbas pada kemandekan aktivitas masyarakat,” tandas dia. (kaf)