PALEMBANG, fornews.co-Ada dua hal yang menjadi perhatian khusus dari Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) Sumsel, Brigjen Pol Rudi Setiawan, SIK, SH, MH, saat melakukan pendakian Gunung Dempo pada 16-17 Agustus 2020 lalu.
Sudah menjadi rutinitas tahunan bagi seorang Rudi Setiawan untuk mengibarkan Bendera Merah Putih di puncak tertinggi suatu daerah yang pernah menjadi tempatnya berada. Seperti saat menjabat Wakapolda Lampung, Rudi dan jajarannya melakukan momen serupa mengibarkan Merah Putih di Puncak Gunung Rajabasa.
Nah, ketika menapaki sepanjang jalur pendakian Gunung Dempo, hingga ke lembah dari dua puncak Dempo, betapa terkejutnya sang Jenderal melihat kondisi mulai dari badang gunung yang terdapat banyak tumpukan sampah.
Sampah plastik dan sebagainya dari sisa pendakian pada pendaki tersebut, terlihat sejumlah jalur, terlebih di areal Mata Air 1, Mata Air 2, Puncak Dempo dan lembah.
Rudi Setiawan menyampaikan, Gunung Dempo merupakan anugerah alam yang dimiliki Sumsel. Dengan indahnya pemandangan di kawasan tersebut, seharusnya patut di jaga.
“Saya terkejut saat melihat sampah di Gunung Dempo, gila-gilaan. Waduh banyak bener,” ujar dia.

Karena melihat banyak orang yang buang sampah bukannya membawa sampah, maka jebolan Akabri tahun 1993 itu mengajak jajaran dan para pendaki yang berbarengan naik untuk melakukan operasi semut.
Sebagai seorang polisi, terang Rudi berpikir bahwa di setiap kerumunan atau tempat berkumpulnya masyarakat, akan cenderung terjadi ketidaktertiban. Apalagi ditempat itu belum ada aturan, kekosongan aturan atau kekosongan hukum. Manusia akan cenderung siapa yang kuat dia yang menang.
“Itu filosofi yang hidup di sana. Di suatu tempat tidak ada pengaturan maka akan cenderung ketidakteriban. Dengan jumlah 1.000 orang lebih tidak ada yang mengatur, itu saya lihat di pintu rimba tidak ada satu petugas pun, baik kepolisian, jagawana, BKSDA dan lain-lain,” ungkap dia.
Jenderal yang pernah mengecap pendidikan di Federal Bureau of Investigation (FBI) 2002 lalu itu menuturkan, mungkin kalau kepolisian juga terlalu jauh, karena sebenarnya otoritas hutan dan gunung itu ada BKSDA, Dinas Kehutanan, Ranger, Polisi Kehutanan.
“Sampai di puncak Dempo juga saya menemukan MCK tidak ada. Kalau pendakian ini sudah menjadi ritual kegiatan, seharusnya pemerintah hadir dan ini harus menjadi tempat yang bisa dikelola. Kewajiban pemerintah itu kan melayani masyarakatnya, seperti harus dibuat MCK dan kebutuhan lain sehingga teratur.” tutur dia.

Sebagai seorang pendaki, jelas Rudi, tentunya harus punya mindset menjaga alam. Salah satunya jangan membuang sampah sembarangan. Karena sampah plastik itu luar biasa, puluhan tahun hingga ratusan tahun tetap tak bisa hilang, akhirnya itu gunung gak indah lagi.
“Jangan sampai Jadi TPA, tempat pembuangan akhir sampah. Ini jelas-jelas sangat tidak membudayakan melestarikan alam. Ini semua yang harus diingat oleh anak-akan muda. Kalau bisa bawa plastik hitam untuk membuang sampah tersebut dan kalau pulang bawa juga sampah sampah tadi,” tegas Jenderal yang berpengalaman di bidang reserse itu.
Namun, seusai sang Jenderal melihat langsung kondisi alam dan jalur pendakian Gunung Dempo yang terdapat banyak sampah, kawanan pendaki dari berbagai kelompok pencinta alam bahu membahu melakukan Gerakan Angkut Sampah (GAS) di Gunung Dempo. Diantaranya HBB Poltek Negeri Sriwijaya, Kampala UNIB Bengkulu, Buana Cakti FT Unsri, KPA Sospala Empat Lawang, Sispala Dwa Dasa Giri Bandar Lampung, pendaki freelance dan Forpa Basemah.
“Saya memang lihat kemarin saat turun di Dempo, ada kawan-kawan pendaki yang sudah benar dengan membawa sampah dari gunung ke bawah. Tapikan itu hanya sebagian kecil, karena lebih banyak orang yang membuang sampah dari pada membawa sampah itu turun,” sambung dia.

Selain tentang sampah, pria kelahiran Kalianda, Lampung, November 1968 itu mengingatkan, pemerintah daerah harus membantu, termasuk pemerintah provinsi harus hadir di sana mulai dari awal.
Dari awal itu poskonya harus ada, dibangun dan diisi peraturan-peraturan, misalnya ketika di sana harus lulus kesehatan/ kondisinya sehat baik, bisa di adakan test yang standar saja, misal tensi atau bawa surat keterangan sehat dari puskesmas.
“Jadi kalo dia sakit atau sebagainya, si jagawana atau BKSDA gak tanggung jawab, karena kamu sudah declare bahwa kamu sehat. Gak ada sakit lainnya. Nah kemudian perlu di assessment. Sudah pernah latihan SARbelum, jadi kita tahu, medannya kan gak cukup gampang dan belum pernah tahu, ada yang namanya badai,” kata dia.
Kemudian keamanan, bagaimana para pendaki yang akan naik Gunung Dempo, mungkin ada yang bawa minuman keras (miras), bawa narkoba jenis ganja dan segala macam.
“Tentu begitu diatas terjadi permasalahan, ketika mereka fly dan tiba-tiba menyenggol kompor, bisa berantem. Muncul halusinasi dan jatuh ke jurang. Ini tidak ada juga pengawasannya,” tandas dia. (aha)