YOGYA, fornews.co – Sepanjang Jalan Suronatan pada Rabu siang 17 Mei lalu mendadak sepi. Para pedagang kaki lima yang biasa mangkal hilang dari pandangan. Mereka harus bersembunyi.
Sepinya Jalan Suronatan itu karena Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sedang berkunjung di Madrasah Mu’allimat Yogyakarta.
Kedatangan Menteri PPPA ke Madrasah itu untuk meresmikan Pesantren Perempuan Cinta Anak (PPCA) salah satu program gagasan Aisyiyah.
Pertemuan itu berada di Aula, sisi Selatan gedung madrasah. Di sana ribuan siswi menyaksikan langsung dialog menteri melalui layar lebar yang direlay ke seluruh ruangan kelas.
Di Aula, khusus tamu undangan, juga hadir Ketua Aisyiyah berserta jajarannya termasuk KPAI dan pengurus Komnas Perempuan.
Beberapa menit usai pembukaan, Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati, S.E, M.Si memberikan pidato di atas podium. Ia tak berpanjang lebar karena waktunya terbatas.
Dalam pidatonya, dirinya menyebut banyak pemberitaan kasus kekerasan anak dan perempuan di lingkungan pesantren.
Namun pemberitaan itu terpatahkan, Menteri PPPA, menyaksikan sendiri Pondok Pesantren Mu’allimat yang dikelola dengan mengedepankan humanis.
Menteri PPPA itu mengatakan pesantren bertujuan untuk menciptakan sebuah pesantren atau madrasah yang menyenangkan bagi pertumbuhan anak melewati masa-masa remaja.
Tidak hanya itu, sambungnya, pesantren atau madsarah juga mempersiapkan para santri memasuki usia dewasa.
“Dengan demikian anak-anak dapat meningatkan prestasi jauh lebih baik lagi dalam belajar maupun aspek kemampuan lainnya,” katanya di depan sejumlah pejabat Aisyiyah dan pengurus madrasah di bawah naungan Muhammadiyah.
Menurut dia, pesantren yang merupakan pendidikan Islam terbesar dan tertua di Indonesia memiliki peran dan posisi strategis dalam upaya perlindungan anak Indonesia.
Berdasarkan data dari Kementerian Agama I Gusti menyebut saat ini di Indonesia terdapat 36.600 pesantren dengan santri aktif sebanyak 3,4 juta berikut pengajarnya mulai kiai, ustadz dan ustadzah sebanyak 370.000.
Dengan jumlah yang banyak itu pihaknya berharap pesantren dapat berperan aktif sebagai model pendidikan yang mengupayakan pencegahan tindak kekerasan pada anak-anak di lingkungan pendidikan.
I Gusti sempat jeda dalam pidato dan menjelaskan apa saja tugas Kementerian PPPA. “Maraknya kekerasan seksual pada anak dan perempuan menjadi tugas berat PPPA,” ujarnya.
Tugas utamanya adalah menurunkan angka kekerasan pada anak dan perempuan. Demikian telah diamanatkan oleh Presiden RI untuk mengatasi persoalan tersebut.
Sebagai lembaga pembina PPPA telah menginisiasi forum anak di 448 kabupaten kota seluruh Indonesia di 44 provinsi dan beberapa desa kelurahan.
Dalam pidatonya itu I Gusti mengatakan pemberitaan kekerasan anak dan perempuan di lingkungan pesantren menjadi citra buruk bagi pendidikan pesantren di Indonesia.
Namun, ujarnya, Mu’allimat dapat menjadi contoh pesantren dengan pendidikan yang baik.
“Mu’allimat menjadi inspirasi di tempat-tempat lainnya untuk memberikan ruang yang setara bagi perempuan,”
I Gusti menegaskan bahwa anak bukan saja menjadi tanggung jawab orang tua kandung, ”melainkan juga menjadi tanggung jawab kita semua sebagai orang tua.”
Dijelaskan, isu perempuan dan anak sangat sektoral yang tidak hanya bisa ditangani oleh pemerintah tanpa sinergi kerja sama dengan berbagai pihak dari masyarakat.
Selain mendorong pesantren ramah anak PPPA juga meningkatkan peran anak sebagai pelopor dan pelapor di pondok pesantren.
“Sebab keterlibatan agama dalam perlindungan anak memiliki kemampuan khususnya dalam pendisiplinan santri pada pola pengasuhan dan proses belajar mengajar,” ungkapnya.
Kedatangan salah satu menteri pilihan Presiden RI Jokowi itu berharap dapat berkolaborasi dengan Aisyiyah sehingga menjadi kekuatan luar biasa.
Tapi, menteri PPPA malah berkelakar anak-anak lebih pantas menjadi konsultan menteri karena tidak banyak permasalahan yang dihadapi.
“Kiai Dahlan mendirikan madrasah sekaligus pesantren bertujuan untuk mendidik siswa menjadi unggul dibarengi dengan ahlak, tanggung jawab dan moral yang menjadi dasar para generasi muda berkemajuan,” ungkap Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah, Dr. Apt. Salmah Orbayinah, M.Kes.
Maka itu, kata dia, Aisyiyah berkomitmen menjadi problem solver terhadap berbagai permasalahan anak dan perempuan di Indonesia.
“Aisyiyah juga sangat konsen pada program-program perempuan dan anak yang diharapkan sejalan dengan PPPA,” katanya.
“Termasuk konsen terhadap kasus-kasus anak dan perempuan. Ini terbukti dari kader Aisyiyah yang banyak menjadi pengurus di Komnas Perempuan dan KPAI.”
Ketua Umum PP Aisyiyah itu menyebut tingginya kasus pernikahan dini dan perceraian oleh usia muda karena ekonomi, hamil duluan, dijodohkan, dan sedikit yang saling mencintai.
Dengan adanya madrasah tersebut perkaderan manusia berkualitas dapat dilakukan melalui pendidikan, keluarga dan sistem. Hal ini yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan Aisyiyah.
“Mu’allimat dan Mu’allimin merupakan sekolah kader yang mencetak calon-calon pimpinan Aisyiyah dan Muhammadiyah. Dalam satu sekolah menghasilkan cendekiawan sekaligus ulama yang mencerahkan bangsa Indonesia,” pungkasnya. (adam)
Copyright © Fornews.co 2023. All rights reserved.