JAKARTA, fornews.co — Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengutuk pemerkosaan oleh Dokter Residen berinisial PAP terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit (RS) Hasan Sadikin, Bandung.
Komnas Perempuan menyebut meski kejadian serupa di berbagai rumah sakit kembali terulang, namun, hanya sedikit korban yang berani melaporkan.
“Rasa takut dengan ancaman pelaku, rasa malu, dianggap membuka aib, hingga kekhawatiran akan kriminalisasi mejadi faktor utama yang menghambat pelaporan,” ungkap Dahlia Madanih selaku Kominisoner Komnas Perempuan dalam Siaran Pers, Sabtu, 12 April 2025.
Komnas Perempuan memastikan memberikan dukungan penuh kepada korban, dan mengapresiasi respon cepat yang diambil oleh RS Hasan Sadikin, Kementerian Kesehatan serta Universitas Padjajaran.
Dahlia mengatakan ini menjadi masa-masa sulit bagi korban. Apalagi, korban telah mengalami kekerasan seksual di rumah sakit yang semestinya didedikasikan untuk penyembuhan dan perawatan.
“Sungguh di luar nalar dan kemanusiaan. Pasti sangat berat untuk korban dan keluarganya,” ungkapnya.
Menanggapi kasus tersebut Komnas Perempuan merekomendasikan Menteri Kesehatan untuk segera menetapkan kebijakan ‘Zona Tanpa Toleransi’ terhadap kekerasan–termasuk kekerasan seksual–di seluruh fasilitas layanan kesehatan di Indonesia.
Pihaknya juga mendorong RS Hasan Sadikin untuk mengambil langkah konkret dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual agar kejadian tidak selalu terulang.
Ditegaskan, rumah sakit wajib menjadi tempat yang bebas dari kekerasan baik bagi tenaga kesehatan maupun pasien dan keluarganya.
Hal ini, kata Dalia, harus menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap jaminan ruang aman di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya sebagai ruang publik.
Atas kejadian tersebut Komnas Perempuan merekomendasikan kepada organisasi profesi dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk melakukan pengembangan mekanisme pencegahan berikut penanganan kekerasan seksual di masing-masing lembaga.
Dengan adanya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual tersebut menjadi penyikapan terhadap pelecehan, kekerasan, dan eksploitasi seksual yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
“Dapat dicegah dan ditangani secara komprehensif dan tidak disederhanakan sebagai tindakan pidana oleh oknum,” ungkapnya.
Terlepas dari profesi dan latar belakang pendidikan pelaku, menurut Komnas Parempuan, kasus tersebut tidak dapat semata-mata dilihat sebagai tindak pidana murni.
Mengapa demikian? Karena terdapat penyalahgunaan keilmuan dan kekuasaan yang dimilikinya sebagai dokter untuk melakukan tindakan perkosaan.
Profesi dokter adalah profesi yang mulia dan terhormat, terikat sumpah dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang ketat.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2018 tentang Kode Etik dan Hukum Rumah Sakit serta peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
Diketahui, pelaku adalah Dokter Residen Anestesi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
“Fasilitas kesehatan adalah garda terdepan dalam menangani korban kekerasan, dan tidak seharusnya justru menjadi tempat terjadinya kekerasan itu sendiri,” terang Dahlia.
Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan sepanjang 2024, kekerasan seksual di ranah publik menempati jumlah yang tinggi hingga 1830 kasus tiga di antaranya terjadi di fasilitas kesehatan.
Komnas Perempuan menyayangkan fakta ini mengingat fasilitas kesehatan seharusnya menjadi ruang aman bagi semua penggunanya. Terlebih, pelaku adalah dokter yang terikat sumpah dan etika profesi.
Untuk itu Komnas Perempuan menyampaikan dukungan kepada korban yang langsung berani bicara dan melaporkan peristiwa yang dialaminya ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Barat, dan mengajak korban lain untuk melapor.
“Mekanisme perlindungan dari pelecehan, kekerasan, dan eksploitasi seksual di fasilitas kesehatan dan organisasi profesi tenaga kesehatan perlu segera dikembangkan,” ujar Komisioner, Yuni Asriyanti.
Hal itu, lanjut dia, guna menjamin fasilitas kesehatan sebagai ruang aman bagi semua penggunanya. Mekanisme ini juga sebagai pelaksanaan sumpah dan etika profesi dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Komnas Perempuan menekankan proses hukum harus dijalankan secara transparan dan tidak diselesaikan di luar pengadilan melalui pendekatan seperti restorative justice melalui perdamaian dan sejenisnya.
Oleh karenanya layanan korban untuk pemenuhan hak-hak korban harus bisa diakses dengan mudah, cepat dan manusiawi.
Untuk itu, kata Yuni, pihaknya mengapresiasi respon cepat Polda Jawa Barat sebagai penegak hukum yang telah menetapkan pelaku sebagai tersangka berdasarkan UU Nomor 12 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Komnas Perempuan akan terus memantau proses hukum serta memastikan korban mendapatkan hak-haknya sesuai amanat UU TPKS, termasuk hak atas penanganan, perlindungan, pemulihan, restitusi, kompensasi, serta hak untuk didampingi, dan hak untuk tidak disalahkan dan distigma.
“Layanan bagi korban harus bisa diakses dengan mudah, cepat, dan manusiawi,” tutup Yuni. (adam)