KAYUAGUNG, fornews.co – Masyarakat petani di desa gambut, dinilai menjadi kekuatan penting dalam perlindungan dan penyelamatan ekosistem gambut. Mereka diharaokan dapat melindungi dan mengelola gambut dengan tepat, ekonomis, dan berkelanjutan.
“Sejak tahun 2017, serangkaian pelatihan dan pembangunan mini demplot diberbagai desa target restorasi, terus dilakukan Badan Restorasi Gambut (BRG). Hal seupaya terbentuknya desa-desa khususnya di Sumsel, yang mampu melindungi dan menyelamatkan ekosistem gambut secara swadaya,” ujar Dinamisator BRG wilayah Sumsel, DD Sineba, usai pembukaan Sekolah Lapang Petani Gambut, di Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, OKI, Jumat (18/07).
Menurutnya, dalam menjalankan fungsi restorasi gambut sendiri dilaksanakan melalui tiga pendekatan, yakni pembasahan gambut, revegetasi dan restorasi sosial. Di dalam proses restorasi sosial ini, resiliensi dan inovasi masyarakat menjadi tolak ukur keberhasilan.
“Jadi, perubahan agroekologi gambut demikian itu perlu direspon dengan kemampuan masyarakat mengembangkan inovasi pengelolaan gambut yang tepat. Dimana pengetahuan tradisional dan pengetahuan lainnya, mendapat tempat penting untuk saling dipertukarkan dan dikembangkan,” jelasnya.

Agar proses-proses penyadaran, sosialisasi, maupun peningkatan partisipasi masyarakat dapat dilakukan secara efektif dan terukur, maka diperlukan sebuah pendekatan kampanye publik yang mampu menyentuh kesadaran masyarakat secara langsung, serta menjawab kebutuhan implementasi kegiatan ekonomi pedesaan yang ramah terhadap ekosistem gambut.
“Berangkat dari alasan tersebut, maka pembentukan Sekolah Lapang Gambut menjadi pendekatan interaktif yang bersentuhan secara langsung dengan masyarakat dalam melakukan sosialisasi, edukasi, dan aksi perlindungan dan penyelamatan ekosistem gambut pada tingkat desa,” bebernya.
Sekolah Lapang Gambut merupakan kegiatan edukatif dan praksis untuk pengelolaan lahan gambut secara terpadu dan alami. Sekolah Lapang Gambut ini dilaksanakan dengan kurikulum dan sistem pelatihan yang sistematis dengan mempertimbangkan kebutuhan pengelolaan sekolah lapang oleh peserta pelatihan.

Adapun tujuan pembentukan kurikulum Sekolah Lapang Gambut ini, antara lain: sebagai media sosialiasai dan edukasi interaktif antara petani dan pihak BRG, dalam menyampaikan pesan-pesan perlindungan dan penyelamatan ekosistem gambut; pembelajaran praksis bagi petani dalam pengelolaan lahan pertanian gambut yang baik dan berkelanjutan; dan penguatan kapasitas pengetahuan dan ketrampilan petani dalam pengelolaan lahan gambut tanpa bakar dan pelopor cerita sukses bertani tanpa bakard di lahan gambut.
Tanpa Bakar
Peristiwa kebakaran lahan gambut 2015 khususnya di Sumateta Selatan (Sumsel), menyimpan traumatik tersendiri bagi semua pihak. Petani yang memiliki kebiasaan membuka lahan gambut dengan cara membakar (tanam sonor). Hal itu dialihkan dengan sistem tidak membakar.

Instruktur Sekolah Lapang Petani Gambut, Syahroni menyampaikan bahwa mengikis budaya membakar pada masyarakat dalam membuka lahan butuh ketelatenan dan kesabaran. Karena, memang hal itu jalan mudah untuk kerja produktif bagi petani.
“Dengan membakar memang akan memberikan manfaat seperti mengurangi kadar asam, serta menambah unsur hara pada tanah gambut dari sisah pembakaran tersebut,” terangnya.
Maka itu sambungnya, perlu adanya metode alternatif yang ramah terhadap pemanfaatan lahan gambut dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Karena, salah dalam mengolah lahan gambut, akan berdampak juga pada rusaknya ekosistem gambut itu sendiri.
“Metode membakar memang hasilnya baik, tapi itu sifatnya sementara. Gambut yang terbakar tidak akan pulih dengan cepat, serta berdampak buruk pada lingkungan,” katanya, yang juga mengajarkan petani gambut untuk tidak menggunakan zat kimia. (ars)