PALEMBANG, fornews.co-Wacana terhadap pembubaran Badan Restorasi Gambut (BRG) yang masa mandatorinya habis pada 2020 ini, terus menjadi bahan diskusi banyak pihak.
Terlebih, tujuh provinsi yang selama ini menjadi sasaran BRG untuk memulihkan wilayah gambut pascaterjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Nah, menanggapi hal tersebut, Wakil Bupati Muba, Beni Hernedi menyatakan, ini bukan tentang bubar atau tidaknya BRG. Namun, bila sesuai masa mandatori BRG akan berakhir, maka daerah harus bersiap menyiapkan tim untuk mengganti menjalankan tugas yang selama ini dilakukan BRG.
“Karena gambut bagi daerah Muba, kalau melihat luas dan ilmu pengetahuan yang banyak memberi wasasan itu banyak gunannya. Kami melihat BRG ini ada tiga hal, yakni melindungi, memulihkan dan tak kalah penting mengelola serta memanfaatkannya,” ujar Beni saat menjadi narasumber pada Dialog Khusus Restorasi Gambut di Mata Pemerintah Daerah, yang digelar TV Tempo, Jumat (24/7).
Beni yang menjadi narasumber bersama Bupati Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, Abdul Wahid HK Yanto Adam Kepala Desa Gohong, Kabupaten Pulau Pisau, Kalimantan Tengah dan Pakar Antropologi UI dan Peneliti Gambut, Suraya Afiff, mengungkapkan, selama empat tahun ini, BRG ada pada posisi memulihkan dan mengedukasi, serta memberi superpisi ke perusahaan-perusahaan.
“Katakanlah sesuai mandarotirnya BRG akan berarkhir, daerah harus bersiap menyiapkan tim untuk mealkukan utgas tersebut. Menurut kami pemerintah pusat sudah tahu, wewenang di daerah itu terbatas. Makanya perlu ada satu badan yang posisinya berada di daerah,” ungkap dia.
Sementara, Pakar Antropologi UI dan Peneliti Gambut, Suraya Afiff menuturkan, dalam empat tahun ini BRG seperti baru menemukan dan persoalannya bagaimana BRG membangun kelembagaan.
“Kalau saya terlalu dini mengatakan bahwa BRG tidak efektif. Kalau dari perjalan, saya perhatikan banyak hal-hal positif, masalahnya BRG ini tidak mempormosikan dirinya,” tuturnya.
Suraya menerangkan, saat ini yang dibutuhkan itu bagaimana cara penanganan konflik. Karena hampir di semua wilayah ada perosoalan konflik yang jadi pemicu kebakaran.
“Ketika ada konflik, maka rentan ada kebakaran. Misalnya desa, yang tidak diberi kewenangan dan ada orang datang, tentu desa tersebut tak bisa melakukan apa-apa,” terang dia.
Terkait apa yang perlu dilakukan agar BRG bisa melakukan restorasi, Suraya mengatakan, BRG masih punya peran untuk melanjutkan tugas-tugasnya.
“Untuk membangun BRG ke depan harus ada evaluasi, goals ke depannya seperti apa? Karena, bisa jadi perlu ada yang diubah dalam struktur, pencapaian dan yang lainnya,” kata dia.
Diakhir dialog tersebut, Anton Aprianyo, Wakil Pemimpin Redaksi Tempo.co menyimpulkan, bahwa program restotasi gambut sebaiknya bisa terus berjalan.
“Karena ancaman karhutla terus terjadi setiap tahun. Sejak 2015 karhutla terjadi, program BRG sudah mengurangi luasan lahan gambut yang terbakar, terutama di lahan gambut yang ada di tujuh provinsi yang jadi sasaran BRG,” tandas dia. (aha)