KAYUAGUNG, fornews.co – Tak bisa menggarap puluhan hektare lahan yang menjadi “objek sengketa” dengan warga Desa Seriguna, Kecamatan Teluk Gelam, perwakilan warga Desa Sukapulih, Kecamatan Pedamaran, mengadukan hal ini ke Pemkab OKI.
Mantan Kades Sukapulih, Gumun saat mewakili warga beraudiensi dengan Pemkab OKI di Kantor Bupati OKI, Kamis (28/02) menyampaikan bahwa ada 100 kepala keluarga (KK) peserta transmigrasi Liposos Kementerian Sosial sejak tahun 1986 yang menempati Desa Sukapulih. Namun sejak saat itu, lahan-lahan yang seharusnya menjadi hak mereka untuk diolah tidak bisa digarap. Penyebabnya adalah karena warga Desa Sukapulih terus diganggu oleh sekelompok warga yang diduga merupakan warga Desa Seriguna saat akan menggarap lahan tersebut.
“Dari 100 hektare jatah untuk 100 kk bagi warga trans Sukapulih, hanya 30% yang bisa digarap lantaran sengketa dengan penduduk lokal. Padahal kami mempunyai surat sertifikat atas tanah tersebut yang dikeluarkan oleh Kantor Agraria Palembang kala itu,” ungkapnya.
Sekian lama menunggu penyelesaian masalah ini namun tak kunjung selesai, sejumlah warga Desa Sukapulih mendatangi Pemkab OKI. Mereka berharap permasalahan ini bisa segera selesai dan warga bisa menggarap lahan mereka.
Sementara itu, Camat Pedamaran, Herkoles mengatakan, awalnya warga Sukapulih ini akan melakukan unjuk rasa, namun berkat pendekatan-pendekatan demo dibatalkan dan warga sepakat dipertemukan dengan Pemkab OKI.
“Setahu saya permasalahan ini sudah terjadi sejak tahun 2003, dan tahun 2007 (diselesaikan dengan) dilakukan pemasangan patok. Namun patok dihilangkan oleh oknum warga yang tidak setuju dengan tapal batas wilayah tersebut,” kata Herkoles.
Sekda OKI, H Husin yang menerima warga Desa Sukapulih ini menegaskan, terkait apa yang disampaikan oleh masyarakat tentunya ada aturan-aturan yang harus diikuti sehingga bisa ditemukan kebenaran atas permasalahan ini. Menurutnya, kedepan pihaknya akan melakukan pemeriksaan atas keabsahan terhadap pengakuan 100 KK yang merupakan warga trans di Desa Sukapulih.
“Surat menyurat sejak tahun 1986 juga diharapkan dapat diperlihatkan dan dikumpulkan oleh Pemerintah Desa maupun kecamatan, agar bisa dijadikan perbandingan terhadap kelompok warga lokal yang juga mengklaim kepemilikan lahan tersebut,” tukasnya. (rif)