JOGJA, fornews.co—Dalam buku Sastra Indonesia Modern (1989) Prof. A. Teeuw mengatakan, bahwa sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra memiliki kepribadian dan kebebasan tersendiri.
Rendra tidak termasuk dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti angkatan 45, 60-an, atau angkatan 70.
Karya-karyanya banyak dimuat oleh majalah dan surat kabar. Bahkan hingga tahun 90-an puisi dan esainya menghiasi majalah.
Bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra yang akrab disapa WS Rendra, justru dijuluki “Burung Merak”.
WS Rendra lahir dari seorang penari srimpi karaton Solo bernama Raden Ayu Catharina Ismadillah.
Ayahnya bernama Cypriznus Sugeng Brotoatmojo bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa sekaligus dramawan.
Sejak kepulangannya dari Amerika tahun 1961 dan mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967, publik sengit Rendra menikah lagi.
Istri pertamanya Sunarti Suwandi mengijinkan suaminya menikah lagi dengan salah satu muridnya bernama Sitoresmi.
Sitoresmi yang merupakan putri darah biru Karaton Yogyakarta adalah Bendara Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat.
Pernikahan itu dilaksanakan pada tahun 1970 disaksikan Ajip Rosidi dan Taufiq Ismail.
Rendra dituduh masuk Islam hanya bermaksud ingin berpoligami.
Tapi, Rendra mengaku sudah lama ingin masuk Islam.
Ketertarikannya dengan Islam membuat dirinya lebih dekat dengan Alloh Ta’alla.
Menurut Rendra, Islam telah menjawab persoalan-persoalan yang selama ini menghantuinya.
“Saya bisa langsung beribadah kepada Alloh tanpa memerlukan pertolongan orang lain,” katanya.
Menjadi Islam bagi Rendra adalah prinsipil: kemerdekaan individual sepenuhnya.
Dalam dirinya merasakan hak individunya lebih dihargai.
“Bukankah Alloh lebih dekat dari urat leher seseorang?”
Sebuah peristiwa kecil merubah nama Rendra menjadi besar ketika sedang berjalan-jalan di kebun binatang Gembira Loka Yogyakarta.
Seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya. Spontan Rendra meneriaki burung merak itu.
“Itu Rendra! Itu Rendra!”
Sejak saat itulah WS Rendra dijuluki si Burung Merak.
Karya-karyanya menjadi perhatian besar bagi para pakar dan peneliti sastra asal Australia dan Jerman.
Kini, meski WS Rendra telah tiada, sebutan Burung Merak akan selalu dikenang. Namanya abadi. (adam)