PALEMBANG, Fornews.co – Women Crisis Center (WCC) Sumsel mencatat selama tahun 2020, kekerasan terhadap perempuan terjadi di Sumsel sebanyak 72 kasus. Data tersebut berdasarkan laporan korban yang masuk WCC sejak awal tahun hingga Juli 2020.
Direktur Eksekutif WCC Palembang, Yeni Roslaini Izi mengatakan angka kekerasan terhadap di Sumsel saat ini masih cukup tinggi. Tercatat, pada tahun 2019 total kasus kekerasan yang terjadi di Sumsel yakni sebanyak 138 kasus dengan rincian Pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya 72 kasus, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebanyak 38 kasus, Kekerasan Dalam Pacaran sebanyak 16 kasus dan kekerasan lainnya sebanyak 12 kasus.
Sedangkan tahun 2020, total kekerasan terhadap perempuan yakni sebanyak 72 kasus dengan rincian KDRT 20 kasus, Pemerkosaan 18 kasus, Pelecehan seksual 13 kasus, KDP 12 kasus dan kekerasan lainnya 9 kasus.
“Angka tersebut berdasarkan laporan korban ke WCC, tapi ada juga yang tidak melaporkan kekerasan ini kepada kami,” katanya saat ditemui, Selasa (11/08).
Ia mengaku ini menjadi perhatian pihaknya. Apalagi saat ini ada korban kekerasan terhadap perempuan yang justru dilaporkan balik oleh pelaku kekerasan. Kondisi ini sangat disayangkan karena menimbulkan trauma mendalam bagi si korban. Apalagi, jika penyidikan terkesan lambat dalam kasus kekerasan tersebut.
Salah satu contoh kasus KDRT terhadap korban GT yang dilaporkan balik oleh diduga pelaku MS yang tak lain suaminya sendiri.
GT ini sejak awal telah menerima kekerasan KDRT. Namun, dikarenakan korban masih mencintai suaminya maka tidak melaporkan kejadian tersebut. Namun, KDRT ini kembali terjadi hingga menyebabkan luka lebam ditubuhnya dan akhirnya melaporkan tindakan suaminya tersebut.
Namun, disaat bersamaan justru pelaku yang merupakan suaminya sendiri ini sendiri melaporkan balik korban karena atas dasar pencemaran nama baik hingga pencurian CCTV. Padahal, CCTV tersebut sebagai bukti kasus KDRT yang dilakukan oleh suaminya.
“Ini sangat jadi perhatian kami dan berharap pelaku KDRT ditahan agar kejadian ini tidak terulang kembali, baik bagi korban maupun perempuan lainnya,” tutupnya.
Sementara itu, Ketua DPC Peradi Palembang sekaligus kuasa hukum korban KDRT, Nurmala mengatakan seharusnya korban KDRT tersebut berhak menerima perlindungan dari masyarakat. Namun, pada kenyataannya justru dilaporkan balik oleh pelaku. Terlebih lagi proses hukumnya saat ini terkesan lambat.
“Ini sudah diamanatkan dalam UU dan tentunya menjadi pekerjaan kita semua dalam melindungi korban KDRT,” katanya.
Menurutnya, apa yang terjadi dengan kliennya tersebut memberikan trauma mendalam. Bahkan, multi level. Karena itu, dirinya berharap agar pihak kepolisian meninjau ulang kasus tersebut. Bahkan, dilakukan penahanan terhadap pelaku.
Dibeberkannya, korban dengan pelaku ini menikah pada tahun 2012 lalu. Dimana, saat itu pengakuan korban sering mengalami KDRT. Namun, dikarenakan sayang dengan suami sehingga tidak melaporkan kejadian tersebut.
Namun pada 13 Mei, KDRT kembali terjadi terhadap korban hingga mengalami luka lebam. Sejak saat ini korban tidak ada komunikasi hingga orangtua korban mengetahuinya.
Pada tanggal 24 Mei lalu, kasus itu pun akhirnya dilaporkan ke pihak kepolisian. Namun disaat bersamaan korban juga dilaporkan oleh suaminya.
Karena itu, dirinya meminta pihak kepolisian untuk mengusut kasus tersebut. Pihaknya juga sudah meminta lembaga pusat agar kasus ini terus diusut dan pelaku ditahan mengingat korban sudah menderita sejak lama.
“Jika korban terus terpojok maka dikhawatirkan bisa mengakibatkan hal tidak diinginkan seperti bunuh diri hingga mengalami gangguan kejiwaan,” tutupnya. (lim)