JAKARTA, fornews.co – Beberapa hari ini peristiwa pengepungan organisasi massa, satuan polisi pamong praja Kota Surabaya, polisi dan tentara terhadap asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan No 10, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (16/08) lalu jadi tranding topik hampir di semua media massa tanah air.
Dalam siaran persnya, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan menyayangkan, dalam memberitakan peristiwa tersebut, ada media menggunakan istilah yang terkesan memberi stigma negatif, yaitu dengan mengangkat dampaknya terhadap etnis tertentu.
Dicontohkannya, penulisan judul berita yang antara lain menyebut soal mahasiswa Papua “keras kepala”, “melakukan aksi anarkis”, “membuat rusuh”, dengan tanpa dukungan data dan informasi yang memadai. Ada juga yang informasinya tak berimbang, dengan tak meminta pihak yang dituduh berbuat rusuh tersebut menyampaikan versinya.
“Saat memberitakan peristiwa di Papua ini, ada media massa yang secara tak sengaja mengabaikan prinsip jurnalisme damai. Dalam pemberitaan bernuansa konflik, itu bisa memicu dampak susulan,” ujar Manan, Selasa (20/08).
Informasi yang dihimpun, pemicu pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, tentang adanya kabar dugaan pengrusakan tiang bendera. Infromasi tersebut dibantah mahasiswa Papua. Selama pengepungan itulah terlontar umpatan bernada rasis, menggunakan nama binatang kepada mahasiswa Papua.
Peristiwa itu disusul sejumlah insiden lain di Kota Malang, Jawa Timur, dan Semarang, Jawa Tengah. Puncaknya, Senin (19/08), ratusan orang di Papua dan Papua Barat, memblokade sejumlah jalan dengan merobohkan pohon. Salah satunya terjadi di Jalan Yos Sudarso, Manokwari, Papua Barat. Massa juga membakar Gedung DPRD di Kota Manokwari, 19 Agustus 2019. Protes serupa juga terjadi di Jayapura. Massa turun ke jalan dan memblokir jalan utama menuju Bandara Sentani.
Menyikapi pemberitaan media tentang peristiwa di Surabaya, Malang, Semarang dan Papua tersebut, AJI mengimbau jurnalis dan media menerapkan prinsip jurnalisme damai dalam pemberitaan peristiwa bernuansa konflik seperti ini.
“Jurnalisme damai tak berpretensi untuk menghilangkan fakta. Tapi yang lebih diutamakan adalah memilih atau menonjolkan fakta yang bisa mendorong turunnya tensi konflik dan ditemukannya penyelesaiannya secara segera,” serunya.
Ketua Bidang Pendidikan, Etik dan Profesi, Dandy Koswaraputra menambahkan, dalan kerja jurnalis dan media mematuhi kode etik jurnalistik dalam peliputan dan pemberitaannya. Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik mengingatkan jurnalis dan media untuk “tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras…”.
“Sikap itu ditunjukkan antara lain dengan tidak mudah mempercayai informasi, apalagi sekadar tuduhan, dari ormas, TNI atau Polri. Dalam membuat berita juga hendaknya jangan mengesankan membenarkan tindakan yang rasis itu, baik oleh ormas mauapun aparat keamanan,” imbaunya.
Sambungnya, memberitakan peristiwa di Manokwari dan Jayapura, sesuai kaidah Kode Etik Jurnalistik. Sikap itu antara lain dengan melakukan verifikasi sebelum melansir berita, menghindari memuat berita dari sumber yang tidak jelas, dan menuliskannya seakurat mungkin berdasarkan fakta.
“Media hendaknya tidak tergoda untuk memuat berita sensasional, meski itu mengundang jumlah pembaca yang tinggi,” katanya.
Dalam kesempatan ini, Ketum AJI Indonesia, meminta pemerintah melakukan proses hukum terhadap massa organisasi massa, TNI atau Polri, yang bersikap rasis karena itu merupakan pidana menurut Undang undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
“Aparat keamanan harus menghormati aspirasi yang disampaikan warga Papua, yang disampaikan secara damai dan memenuhi ketentuan hukum, karena itu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi Konstitusi,” tukas Manan. (ars)