Oleh: Ibrahim Arsyad
Era awal tahun 90-an, untuk menjadi seorang fotografi jurnalistik bukanlah hal yang bisa didapat secara instan. Berbeda dengan kondisi sekarang yang telah ditunjang dengan berbagai fasilitas digital dampak dari meroketnya kemajuan teknologi.
Seiring lompatan teknologi yang canggih foto jurnalistik pun mengalami kemajuan yang pesat. Peralatan fotografi yang ringan memungkinkan jurnalis foto menjangkau tempat-tempat sulit dan jauh. Kamera dan lensa yang cepat memungkinkan untuk memotret aksi dan rentetan kejadian dengan sekejap.
Alat pencahayaan tambahan berupa flash yang pintar juga membuat foto menjadi lebih sempurna bahkan di lorong-lorong gelap. Era digital juga mengubah budaya foto jurnalistik dan jurnalis foto. Foto jurnalistik lebih mudah diproduksi, dikirim, disiarkan, dan dikonsumsi pembaca.
Dari kondisi yang serba minim tersebut, dapat dilalui oleh Mushaful Imam (Shaful), pria kelahiran Bandung, 45 tahun silam (24 Agustus 1973) tersebut. Untuk menggapai cita-citanya sebagai fotografer (profesional) jurnalistik, berbagai kendala dihadapinya dan semua itu membentuknya sebagai pribadi yang kuat (berkarakter).
Proses panjang yang dilaluinya, membuatnya pula untuk menghargai karya fotografi dan mengharamkan baginya untuk mengabil apalagi “mencuri” karya foto orang lain baik untuk kepentingan pribadi apalagi kepentingan publik. Karena baginya, karya fotografi merupakan identitas bagi si fotografer itu sendiri.
“Justru kita harus memaksimalkan fasilitas yang ada untuk memperkuat karya fotografi kita, bukan malah melemahkan (menggunakan teknologi mengambil atau mencuri karya orang lain untuk kepentingan pribadi dan publik),” tutur pria berbadan kecil yang ditemui fornews.co di kediamannya beberapa waktu lalu.
Bapak dua anak ini tidak ingin pada generasi mendatang juru foto atau pihak-pihak yang butuh dengan fotografi dalam pekerjaan atau usaha, tidak memberikan penghargaan terhadap sang fotografer dengan seenaknya menggunakan tanpa izin atau menampilkan identitas pada foto yang ditampilkan, khususnya pada ruang lingkup media massa baik cetak online/digital, juga media sosial.
“Fotografi merupakan sebuah karya seni yang secara otomatis dilindungi UU Hak Cipta,” ucapnya, seraya mengatakan ini berlaku baik bagi fotografi jurnalistik dan fotografi umum.
Sambung Shaful, pembeda keduanya yakni, fotografi jurnalisme jelas, bahkan yang pertama kali dipahami hasil fotografi untuk kepentingan publik. Menyampaikan pesan melalui visual tanpa mengurangi keobjektifannya dan terikat pada UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sedangkan fotografi umum sesuai kebutuhan/kepentingan; banyak campur tangan sehingga dalam hal ini tidak ada larangan untuk menampilkan ketidak aslian objek dan tidak terikat pada UU Pers. “Keduanya ini dipersatukan hanya di hak cipta,” imbuhnya.
Di sini ia juga menekankan, agar seorang jurnalis tulis harus paham fotografi. Dalam kerja jurnalistik, selain tulisan foto menjadi faktor penting dalam penyajian informasi kepada publik. Bukan sekedar pelangkap, bahkan foto bisa menjadi penentu atau bukti otentik dari sebuah peristiwa.
“Berbuat, jangan hanya untuk sekedar,” begitu pesan yang terpatri dalam dirinya.
Fotografi berasal dari bahasa Inggris (photography) yang diambil dari bahasa Yunani, photos yang berarti “cahaya” dan grafo yang berarti “melukis”. Secara umum fotografi dapat diartikan sebagai proses untuk menghasilkan gambar dengan cara merekam pantulan cahaya yang mengenai objek dan disimpan pada media yang peka cahaya.
Foto jurnalistik adalah bagian atau cabang dari foto dokumentasi yang bertujuan untuk merekam suatu kejadian atau peristiwa dari awal hingga akhir, foto jurnalistik secara khusus hanya mengambil beberapa atau bahkan satu foto yang menjadi momen terpenting, paling menarik, atau bersifat informatif.
Meski demikian, foto jurnalistik juga kerap diartikan, kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan foto melalui media massa dengan mengabungkan antara komunikasi visual (menyampaikan pesan melalui gambar atau foto/visual approach yang merupakan kompoten utama komunikasi), dan komunikasi verbal (menyampaikan pesan melalui bahasa verbal/lisan berupa teks atau dikenal keterangan foto (caption)).
Berburu Buku Loak
Mengisahkan tentang jurnalis fotografi yang digelutinya hingga sekarang, mengingatkannya bagaimana jerih payahnya awal sebagai seorang juru foto level amatiran.
Suatu ketika dirinya berkunjung ke tempat kakanya di Bandung, di sana ia juga memaksimalkan waktunya untuk mencari literasi seputar fotografi. Ia mendatangi sebuah pasar loak buku. Di sana, ia bertanya kepada pemilik toko, terkait koleksi buku fotografi. Itu juga tidak langsung didapatnya.
Ia harus memesan terlebih dahulu agar pemilik toko buku loak mencarikannya. Dan pencarian itupun bersambut baik. Ia mendapatkan buku yang diinginkan. Disadari teman berdiskusi terkait fotografi hampir tidak ada termasuk komunitas fotografi. Menurutnya, saat itu kegemaran anak remajanya lebih pada hobi yang mahal (hedon).
“Kala itu, uang pemberian orang tua saya maksimalkan untuk membiayai dan membeli kebutuhan saya menggeluti hobi saya sebagai fotografi amatiran,” kenangnya.
Dari literasi tersebut, ia praktekkan pertama melihat tempat yang tepat untuk mengambil gambar salah satunya tidak menghadap matahari karena akan membuat hasil gambar yang gelap (backligh). the right man in the right place (pria yang tepat di tempat yang tepat).
Hal inilah yang paling diingatnya yakni, perjuangan untuk mendapat pengetahuan cara pengambilan gambar harus mencari informasi melalui buku dengan proses yang panjang. Di mana saat itu minim sekali informasi dan orang yang dapat digali pengetahuan seputar dunia fotografi.
“Saat itu internet belum ada, bahkan bukupun sangat sulit didapat. Saya bahkan mendapatkannya di pasar loak di Bandung,” kenangnya, seraya mengingat-ingatkan kembali kapan ia mulai menyukai profesi yang telah mengangtarkan namanya mencapai prestasi hingga tingkat internasional.
“Berbeda sekarang, selain yang menggeluti dunia fotografi terus meningkat, ditunjang pula dengan fasilitas internet. Dari internet kita bisa mencari tahu banyak hal mengenai dunia fotografi, mulai yang dasar hingga level tinggi, dan lain-lain,” sambungnya.
Ia menceritakan, pertama sekali mengenal yang namanya kamera saat dirinya duduk di bangku kuliah perguruan tinggi negeri (PTN) di Sumsel, antara tahun 93-94. Ini tidak terkait dengan jurusan keilmuan yang ditempuh, melainkan saat dirinya menggeluti sebuah organisasi mahasiswa pencinta alam.
“Awal tertariknya saat saya mendaki gunung, meminjam kamera kawan yang saat itu masih manual masih menggunakan klise. Coba mendokumentasikan perjalanan kami saat berada di atas gunung dengan pemandangan yang luar bisa indahnya,” ujarnya.
Dari hasil gambar yang diambil setiap kali melakukan perjalanan ke gunung, tumbuh rasa penasaran dan keinginan tahuan yang lebih dalam mengoperasikan kamera. Lalu kemudian beranjak sebagai sebagai jurnalis fotografi dari sebuah surat kabar (merah) di Kota Palembang, pada tahun 2000 silam. Pertengahan tahun 90-an sebelum reformasi, saat masih kuliah ia juga pernah diminta bantu sebagai freelance pada sebuah majalah lokal di daerah ini.
“Pertama kali punya kamera tidak langsung utuh. Melainkan beli bodi terlebih dahulu sesuai dengan kemampuan. Berselang beberapa lama ketika uang terkumpul maka baru membeli lensa (lensa merupakan komponen terpenting dalam kamera),” kenangnya seraya tersenyum dan sesekali menghirup kopi hitang dan mengisap rokoknya.
Banyak sekali penjelasan yang disampaikan, namun tidak semua penulis menuangkannya dalam tulisan ini maupun mendatang terkait kualitas kamera dan proses menghasilkan gambar saat era masih serba hitam putih.
Pendiri PFI Sumsel
Kemampuan dan pemahaman di dunia fotografi tidak lantas membuat puas dan menyimpannya untuk kepentingan pribadi atau tempatnya bekerja. Ia pun menggerakkan para jurnalis fotografi di Sumsel, untuk berhimpun dalam satu wadah (berorganisasi) yakni Pewarta Foto Indonesia (PFI) yang berkantor pusat di Jakarta.
Hal ini membuatnya meski bukan orang pertama yang menggeluti profesi jurnalisme fotografi, tetapi dunia profesi satu ini khususnya di Kota Palembang, sepertinya tidak bisa dipisahkan dari sosok Mushaful Imam. Iya juga tidaklah pelit untuk berbagi pengetahuan dan terbuka bagi siapapun.
“Di sini kawan-kawan bisa mengeksplor dan berbagi pengetahuan dan pengalaman terkait dunia jurnalisme fotografi, selain persoalan/permaslahan di ruang kerja serta memperluas jaringan dan memperbanyak teman,” kata mantan fotografer salah satu media nasional biro Sumsel, yang saat ini tidak beroperasi lagi tersebut.
Diakui, berorganisasi baginya sangatlah penting, bahkan ini merupakan fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Sebelum mendirikan dan memimpin PFI Sumsel, Safhul juga pernah tergabung dan tetap berkontribusi untuk kemajuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang hingga sekarang.
Kesempatan ini ia berpesan kepada semua, untuk lebih menghargai karya sendiri dan juga orang lain. Karya fotografi baginya itu merupakan identitas atau jati diri sang fotografer yang akan membedakan fotografer yang satu dengan lainnya. (*/bersambung)
Introduction
Mushaful Imam (Photojurnalist and Documenter)
Professional Experience
* Wartawan Students and Students Base Sumatra Ekspres 1997-2000;
* Photo Jurnalist Transparan Newspaper Palembang 2000-2007;
* Photo Editor Transparan Newspaper Palembang 2002-2007;
* Freelance Photo Jurnalist Photo Agency 2005-2007;
* Photo Jurnalist Sindo Newspaper 2007-present;
* Chairman Photography Club Palembang 2005-20011;
* Chairman Pewarta Photo Indonesia (PFI) Palembang 2009-2012;
* Chairman Pewarta Photo Indonesia (PFI) Palembang 2012-2015.
Prestasi
* Juara 1 Kategori Foto Lingkungan Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2015;
* Juara III Kategori Foto Lingkungan Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2016;
* Winner Asean Environment Journalist Awards di Singapura 2016;
* Juara II Kategori Foto Hitam Putih Lomba Foto Konstruksi Indonesia 2016;
* Winner 4th Indonesia Foresty Certification Cooperation (IFCC) Photo Contest Explore Indonesia Forest.