PALEMBANG, fornews.co – Satu persatu persoalan konflik kepemilikan tanah di Kota Palembang muncul ke permukaan. Kali ini giliran warga di Lorong Perjuangan, RT 73, Kelurahan 16 Ulu.
Ratusan warga Lorong Perjuangan tersebut menolak Penyidik Unit 2 Harda Ditreskrimum Polda Sumsel dan BPN Kota Palembang, yang akan melakukan pengukuran ulang, terkait laporan dari Ratna Juwita, Kamis (9/1/2025).
Didampingi Kuasa Hukum, Titis Rachmawati, SH, MH, Warga menghadang petugas polisi dengan membentangkan spanduk penolakan. Pihak kepolisian dari Polda Sumsel, Polrestabes Palembang, dan Polsek setempat turut berjaga di lokasi untuk melakukan pengamanan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Warga menyebut, tanah yang mereka tempati saat ini dibeli dari Tjik Maimunah dan telah memegang Sertifikat Hak Milik (SHM), serta Surat Pengakuan Hak (SPH). Sempat terjadi bersitegang antara Ratna Juwita yang hadir di lokasi, dengan warga. Pada akhirnya, rencana proses pengukuran ulang tersebut dibatalkan.
Ratna Juwita menyatakan, sertifikat miliknya sudah di PTUN-kan Tjik Maimunah, namun akhirnya Ratna menang kasasi dan Tjik Maimunah ditolak untuk PK.
“Kemudian saya pidanakan Maimunah atas pemalsuan SPH di atas sertifikat yang diakui pemerintah,” ujar dia.
Saat sidang lapangan, kata Ratna, tanah tersebut sudah diukur BPN dan disaksikan polisi, jaksa dan hakim juga hadir langsung.
“Kalian tidak komentar karena merasa menang ternyata kalian kalah,” kata dia.
Ratna mengungkapkan, dasar surat yang dimiliki warga setempat itu hanya surat SPH tahun 2012, sedangkan Ratna mengaku punya surat SPH Tahun 1957.
“Ada lima surat saya, warka saya lengkap dari 1957,” ungkap dia.
Sementara, Kuasa Hukum warga, Titis Rachmawati menanggapi, tidak benar bila Ratna Juwita itu menang, karena dalam putusan itu NO.
“Kita ada membuat ke PTUN untuk membatalkan sertifikat itu. Jadi, kata PTUN harus ditempuh dengan wilayah ke Perdata,” jelas dia, didampingi warga di lokasi.
Menurut Titis, ketika pihaknya mengajukan ke Perdata, pihaknya di NO, yang artinya tidak dapat diterima bukan ditolak. Karena ada pihak-pihak yang kurang dan saya hanya menggugat Ratna Juwita saja waktu itu.
“Dari awal saya tidak menggugat Mansyur dan tidak mau lagi melakukan gugatan. Seharusnya, Ratna Juwita itu jika merasa punya sertifikat bisa tidak didudukkan disini. Saat kita minta sertifikatnya, itu masih nama milik Mansyur,” tegas dia.
Titis menilai, hal itu berarti lucu, bila Mansyur yang ada di 8 Ulu dan ada Mansyur pecahannya di 16 Ulu. BPN melakukan pemecahan kekeliruan dengan meletakkan di wilayah 16 Ulu.
“Saat saya mem-PTUN-kan diarahkan ke Perdata saja, jadi harusnya Ratna Juwita itu ke Perdata lah kalau merasa disini,” terang dia.
Atas dasar itulah, urai Titis, tentu semua warga disini menolak karena memang tidak tepat. Titis menantang BPN, bila mau mencari di 8 Ulu, karena disini jelas wilayah 16 Ulu.
“Syaratnya tidak terpenuhi juga, dia tidak membawa gambar ukur dari 216 yang awalnya, dan informasi GU juga hilang di BPN sana, jadi kita juga curiga ada apa itu,” tandas dia. (kaf)