PALEMBANG, fornews.co – Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022, Tentang Tata Cata Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian, baru-baru ini dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian (Kementan).
Dari Permentan tersebut, ada perubahan aturan yakni pembatasan pupuk subsidi yang awalnya dari 70 komoditas menjadi 9 komoditas pangan saja yang dialokasikan. Ke-9 komoditas tersebut yakni padi, jagung, cabai, bawang merah, bawang putih, kedelai, tebu, kakao dan kopi. Jenis pupuk subsidi yang akan digulirkan hanya dua jenis saja, yaitu pupuk Urea dan NPK.
Dosen Fakultas Pertanian (FP) Universitas Sriwijaya (Unsri), Mirza Antoni mengungkapkan, perubahan alokasi pupuk subsidi tersebut memang berkaitan dengan harga bahan pupuk yang melonjak tajam.
“Komoditas pangan memang komoditi yang diberi subsidi, seperti padi, jagung, berkontribusi ke inflasi. Tapi kurang setuju untuk kopi dan kakao, sepertinya tidak banyak kontribusi, kakao dan kopi tidak terlalu prioritas, tidak pernah kopi itu menimbulkan inflasi yang besar,” ungkap dia, Kamis (11/8/2022).
Dia menilai, pemerintah harusnya memasukkan lebih banyak komoditas sektor tanaman pangan, salah satunya yakni sawit. Karena saat ini, sudah banyak lahan sawit yang digarap dan dimiliki pribadi oleh rakyat. Sehingga dengan memasukkan komoditas pangan utama, bisa berdampak pada inflasi di Indonesia, yang nantinya bisa naik dan mengganggu ekonomi makro.
“Padahal harusnya di Sumatra, sudah banyak sawit swadaya, tidak masuk ke kebijakan ini,” kata ujar dia.
Pupuk Organik
Selain kedua pupuk prioritas NPK dan Urea, jelas Mirza, sebaiknya pupuk organik pun menjadi sebuah prioritas karena berikan banyak manfaat untuk tanaman dan lingkungan.
Hal tersebut diharapkannya, agar jangan sampai Indonesia memiliki orientasi ke pupuk anorganik. Karena terdapat pupuk organik yang bahan pembuatannya sudah pasti tersedia di dalam negeri, sehingga tidak perlu untuk impor
“Petani kita pemikirannya, jika tidak Urea, tidak mupuk. Jadi ketergantungan pupuk kimia tinggi. Kalau secara lingkungan, apalagi Green Economy ke depan, harusnya pupuk organik digalakkan,” jelas dia.
Mirza menerangkan, pupuk organik yang paling bagus, karena pupuk anorganik cenderung bermasalah untuk lingkungan. Menurutnya, petani di Indonesia harus menghilangkan ketergantungannya terhadap pupuk anorganik.
“Ada penggerak petani di Musi Banyuasin (Muba) Sumsel, yang mengedukasi kelompok petani termasuk petani padi, untuk membuat pupuk organik. Jadi tidak tergantung pupuk anorganik,” terang dia.
Walau diakuinya, banyak juga petani tidak tertarik. Sehingga harus ada penyuluhan, bahwa pupuk organik, bisa menjadi pengganti walau tidak sampai 100 persen. Namun masih bisa disubstitusikan. (aha)