PALEMBANG, fornews.co – Kampanye hitam (black campaign) dan kampanye negatif (negative campaign) bisa disebut lumrah bertebaran muncul pada tahapan masa kampanye di setiap Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), terlebih pada Pilkada Serentak 2024 ini.
Seperti diketahui, bahwa pada Pilkada Serentak 2024 ini, masa kampanye dan pelaksanaannya telah diatur menurut ketentuan Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye.
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pilkada, menyebut kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.
Pada tahapan ini, kampanye dilaksanakan sebagai wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam Pemilihan.
Hanya saja, pada praktiknya tak jarang materi dan pelaku kampanye memainkan pol aitu dengan menyebarkan tentang hal-hal yang negatif untuk menyudutkan lawan politik, bahkan ada yang masuk dalam kategori kampanye hitam.
Praktisi Hukum Sumsel, Mualimin Pardi Dahlan menyampaikan, kampanye hitam atau black campaign itu menuding lawan dengan tuduhan palsu yang belum terbukti sah kebenarannya, atau tanpa didukung data yang sahih dan mengada-ada.
“Biasanya dilakukan oleh oknum pelaku yang tidak jelas dengan tujuan menghancurkan karakter seseorang,” ujar dia, Rabu (9/10/2024).
Kalau kampanye negatif, kata Mualimin, adalah tindakan menunjukkan kesalahan atau kelemahan pihak lawan berdasarkan data-data yang sahih.
“Biasanya dilakukan oleh pelaku kampanye yang jelas dan bahkan terang-terangan dengan tujuan untuk menyudutkan sisi kelemahan lawan,” kata pria yang akrab disapa Cak Apenk itu.
Apenk yang juga Managing Partner MPD Law Firm itu menilai, terhadap pengertian itu, kampanye negatif itu sebetulnya sah-sah saja dilakukan, misal ada yang menyebut pemerintahan saat ini mengalami defisit keuangan atau pihak lawan disebut mantan narapidana.
“Sepanjang didukung data yang benar dan valid hal itu justru baik bahkan dapat membantu pemilih untuk menemukan kualitas calon pemimpin dalam menentukan pilihannya, sehingga ini sejalan dengan kehendak pemilih cerdas yang seringkali diungkap dan dikehendaki oleh calon,” ungkap dia.
Sementara, jelas Cak Apenk, kampanye hitam itu sesat. Tindakan-tindakan seperti menghasut atau fitnah tanpa dasar sebaiknya dihindari, karena ini tidak mendidik dan merusak nilai-nilai demokrasi.
“Contoh yang terjadi di Pilkada Palembang 2024, ada beredar flyer ‘Ibu Cukup Menata Rumah’, yang seakan-akan dilakukan oleh calon tertentu. Itu bisa masuk kategori hasut atau fitnah jika memang bukan dibuat dan dilakukan oleh yang dituduhkan tadi,” jelas dia.
Hal tersebut, terang Cak Apenk, bisa dikenakan pidana sebagaimana diatur Pasal 187 ayat (2) UU Pilkada dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 bulan paling lama 18 bulan.
“Termasuk jika pelakunya bukan tim kampanye, orang per orang juga bisa diancam pidana 6 tahun penjara dengan UU ITE,” terang dia.
Tak lupa, Cak Apenk mengingatkan, untuk menjaga kualitas demokrasi yang sehat, bersih, dan berkeadilan, perlu tindakan kehati-hatian atas potensi munculnya kecurangan selama tahapan Pilkada berlangsung yakni netralitas ASN dan politik uang.
“hati-hati dengan netralitas ASN dan tindakan money politic, dua hal ini saya kira perlu menjadi perhatian serius selain ini dapat dikenakan sanksi pidana,” tandas dia. (aha)