SEKAYU, fornews.co-Seiring terus meningkatnya jumlah kasus yang terkonfirmasi positif Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), makin banyak juga muncul perbedaan pemikiran terkaiy kebijakan yang dibuat pemerintah untuk memutus mata rantai COVID-19.
Salah satu kebijakan yang paling disoroti dan menjadi perbincangan masyarakat dan netizen di media sosial (medsos) adalah imbauan untuk tidak melakukan ibadah di rumah ibadah dengan mengalihkan beribadah di rumah, demi menghindari dan agar tak terjadi transmisi penularan COVID-19. Bersamaan dengan kebijakan itu, pusat-pusat perbelanjaan seperti mall dan sejumlah pasar tradisional masih ada yang tetap beroperasi.
Nah, topik tersebut terus bergulir dan menjadi pembahasan paling ramai di jagat medsos.
Mencernati hal itu, Wakil Bupati (Wabup) Musi Banyuasin, Beni Hernedi berpandangan, adanya dua aliran pemikiran pendekatan sikap di tengah pandemi COVID-19 memang harus dilihat dari pikiran yang bijak. Memang, pada satu sisi, orang-orang yang mementingkan kesehatan, tentu menganggap kesehatan dan keselamatan itu yang paling utama.
Sehingga orang-orang ini berfikir bahwa jangan sampai terjadi penularan, mencegah dari keramaian dan bahkan mungkin lebih setuju dengan tidak adanya aktifitas-aktifitas yang bisa membuat terjangkitnya virus tersebut.
Namun, ada satu soal yang berfikir bahwa perekonomian itu penting juga. Nah orang-orang ini beranggapan, takutnya tidak mati oleh COVID-19 tapi mati oleh perekononimian.
“Jadi bisa dibayangkan, bahwa begitu luasnya perbedaan-perbedaan pendapat ini dan akhirnya seolah-olah melakukan semua yang tercermin dari pemikiran masing-masing. Nah inilah maksudnya harus bijak,” ujar dia.
Beni mengungkapkan, tolong juga dipahami mengapa misalnya pusat-pusat perbelanjaan itu pada akhirnya ada yang tetap buka.
“Itu karena secara ekonomi, mereka membutuhkan perputaran perekonomian, mereka ada karyawan yang membutuhkan penghasilan. Kalau tutup terus ya akan ada PHK (Pemutusan Hubungan Kerja),” ungkap dia.
Dari dua perbedaan pemikiran inilah, terang Beni, akhirnya seolah-olah menjadi pertentangan, padahal tidak sama sekali. Belum lagi, ada yang sepertinya salah pemahaman, yang tidak baik, kontra produktif dan cenderung provokatif.
“Ya, misalnya ada yang ngomong mengapa mall dan pasar-pasar tradisional boleh didatangi orang untuk belanja, tapi rumah ibadah dilarang. Saya pikir tidak bagus juga membenturkan agama dengan cara seperti itu,” jelas dia.
“Padahal, sebetulnya pada satu sisi faktor ekonomi ini ada kebutuhan banyak orang. Satu sisi lagi, bukan ibadah atau solatnya yang dilarang. Yang dilarang dan diimbau untuk tidak dilakukan itu kan terjadinya transmisi penyebaran. Oleh karena itu, kalau ada imbauan untuk tidak beribadah di rumah ibadah, bukan berarti tak boleh mengerjakan ibadah di rumah,” sambung dia.
Kemudian, Beni menuturkan, hal itu juga jangan diterjemahkan bahwa pasar di buka dan diperbolehkan belanja, tapi lantas hingga tak terkendali. Artinya walau ada dua hal yang menjadi perbedaan pemikiran, namun tetap saja semuanya harus mengedepankan protokol kesehatan.
“Kalaupun ingin belanja ke pasar atau mall, ya sebaiknya pihak pengelola menyediakan dan memfasilitasi atau menerapkan jaga jarak. Ya kalau pasar tutup, bagaimana masyarakat ingin memenuhi kebutuhan hidup yang saat ini ada tradsi-tradisi, misalnya mau lebaran, jadi kebutuhan untuk konsumsi lebih tinggi,” tutur dia.
Berkaca dari perbedaan pemikiran ini, Beni justru mengajak apapun yang bisa dilakukan dalam kondisi seperti ini adalah bersikap lebih bijak lagi. Maksudnya, jika dalam kondisi sekarang masih memegang uang, sebaiknya digunakan atau disalurkan pada hal-hal yang benar.
“Misal, kalau hanya ingin berbaju baru saat lebaran, ya kan jalan-jalan juga tidak bisa. Jadi kalau masih kelebihan duit, apa salahnya membantu mereka yang tak mampu. Dengan kondisi sekarang ini sebaiknya jangan melakukan hal-hal yang tidak bijak,” tandas dia. (aha)