SEKAYU, fornews.co-Gelombang penolakan terhadap terbitnya SK.5663/MENLHK-PKTL/REN/PLA.0/10/2020, yang dikelurkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan pada 15 Oktober 2020 lalu, terus berdengung.
Betapa tidak, karena surat keputusan dari Menteri LHK tersebut menetapkan areal kerja izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan jalan angkut batu bara atas nama PT. Marga Bara Jaya (MBJ) seluas 420,73 Hektare (Ha).
Sementara, jalan angkut batu bara itu masuk di wilayah kawasan Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap, yang ada di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) dan Musi Banyuasin (Muba), Sumsel dan Kabupaten Batanghari, Jambi.
Nah, kecaman dan penolakan ini lah yang menjadi dasar bagi Forum Masyarakat Penyelamat Hutan Alam Sumatra Selatan-Jambi (Formaphsi), hingga sudah menyurati Presiden RI Joko Widodo.
Pasalnya, dalam hutan tersebut masih ada keberlangsungan tempat tinggal Suku Anak Dalam (SAD) Batin Sembilan dan habitat flora fauna yang Hampir Punah.
“Kami meminta Kementerian LHK, meminta KLHK, pemerintah pusat maupun daerah untuk meninjau kembali dan membatalkan keputusan tersebut,” ujar Adiosafri, Koordinator Formaphsi, beberapa waktu lalu.

Lantas, bagaimana Pemerintah Kabupaten Muba menyikapi kondisi ini?
Wakil Bupati (Wabup) Muba, Beni Hernedi mengatakan, bahwa pihaknya sudah melihat rencana itu sudah memiliki izin. Memang, semua yang berwenang itu adalah dari pemerintah pusat, bukan wewenang dari pemerintah kabupaten.
“Hanya saja, itu akan dampaknya bagi kami di Kabupaten Musi Banyuasin. Bagi saya, bahasa yang paling tepat itu memberi masukan dan bagaimana caranya agar dampaknya yang paling kecil. Mudah-mudahan maksud saya untuk Kabupaten Muba dalam menjaga hutannya itu sejalan dengan program tambang itu,” kata dia beberapa waktu lalu.
Dari informasi yang diterimanya, jelas Beni, wilayah hutan di Kabupaten Muba yang masuk rencana jalan angkut batu bara tersebut sepanjang 26 kilometer, dari total 36 km.
Nah, sebagai daerah yang berkepentingan untuk menjaga hutan dan menjaga suku anak dalam, sebaiknya pembangunan jalan tersebut jangan malah menjadi akses bagi illegal logging atau yang lainnya.
“Ya karena semua ini sudah dapat izin, maka saya pikir kita akan menunggu. Bagaimana sosialisasi dari kami ke kabupaten. Karena kabupaten ini (Muba) punya komitmen dan visi mencegah deforestasi,” jelas dia.
“Kami juga punya komitmen sebagai Kabupaten Lestari, jadi kami pikir kalau rencana itu memberi dampak kerusakan besar, tentu pilihan dan harapan kami ya kalau ada pilihan, pilih yang lebih kecil. Kami tidak bicara bahwa kami menolak ya,” sambung dia.
Beni berharap lokasi pembangunan jalan angkut batu bara tersebutlebih sedikit berdampak pada kerusakan. Apalagi, kata dia, sudah ada kawan-kawan pergerakan yang memberikan aspirasi menolak hal itu.
Ketua DPC PDI Perjuangan Muba itu menyatakan, setelah turun langsung melihat kondisi Hutan Harapan yang berada di kawasan Desa Sako Suban, Kecamatan Batang Hari Leko (BHL), maka dia akan menyampaikan semuanya kepada Bupati Muba.
“Misalnya jalan itu dampak terbesar bagi kerusakan hutan. Saya pikir bisa memberi masukan kepada pak bupati akan rekomendasi itu. Tentu nanti dikaji lebih mendalam, kalau izinnya bukan kami,” ujar dia.
Terkait regulasi dan kebiakan terhadap hadirnya jalan angkut batu bara itu, terang Beni, tentu ada yang lebih tinggi lagi dari pemerintah daerah, yakni provinsi dan pusat. Pemerintah provinsi juga punya aturan, bahwa jalan tambang itu jangan memakai jalur umum, jadi jangan juga sampai ada perusahaan yang tidak menggunakan jalan umum, langsung ditolak mentah-mentah.
“Tidak juga seperti itu, karena kita punya aturan. Karena wewenang pertambangan dan energi ini juga bukan kewenangan kabupaten, kadang harus ikut kebijakan itu. Pusat yang memberi izin, dalam hal ini masukannya ado dua yaitu gubernur dan pemerintah pusat,” terang dia.
“Kemudian perlu dipastikan, bahwa apabila ada jalan, itu penerima ijin atau pengguna pemilik jalan itu harus benar-benar bertanggung jawab,” tegas dia.

Selain itu, kata Beni, perusahaan penerima izin sebaiknya menjelaskan kepada pemerintah daerah, terkait cara menjaga ekologi yang ada di Hutan Harapan tersebut. Karena, walaupun lokasi pembangunan jalan tersebut ada di dalam hutan, namun wilayahnya melewati Kabupaten Muba.
“Sekiranya bisa ada manfaat bagi terisoliran Desa Sako Suban, saya pikir harusnya penting juga bisa tetap adanya jalan itu. Investasi pemerintah daerah juga terbentur kalau di kawasan, ya minta ijin juga,” tukasnya, seraya menambahkan, bahwa pemerintah kabupaten hanya konsen pada adanya dampak sosial yang ke wilayah hilir.
Beni menyampaikan, pihaknya tidak menyebut kalau kabupaten tidak dilibatkan terhadap hadirnya jalan angkut batu bara di Muba ini. Karena semua ini soal kewenangan dan itu merupakan amanat konstitusi bawah amanat bidang kehutanan. Sementara, Dinas Kehutanan dan Dinas Pertambangan memang tidak ada di pemerintah kabupaten.
“Tetapi hanya ingin memberi tahu saja, giliran ada dampaknya balik ke kabupaten. Contoh, dengan adanya jalan itu, rakyat kami tergoda untuk ikut ilegal logging, orang masuk berpuluh-puluh, buat rumah di situ, buka-buka lahan. Nah itu jadi yang pemegang hendaknya di ajak untuk dijelaskan,” tutupnya.

Sementara, Presiden Direktur PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), Mangarah Silalahi menjelaskan, bahwa PT REKI sendiri mendapat izin konsesi 100 tahun dari pemerintah pusat, untuk mengelolah hutan dataran rendah yang ada di Provinsi Sumsel, tepatnya di Kabupaten Muba dan di Provinsi Jambi seluas 52.000 Ha lebih.
Hutan dataran rendah di Sumsel dan Jambi ini merupakan hutan yang tersisa dan yang paling baik di Sumatera di luar kawasan konservasi. Ini juga merupakan restorasi ekosistem pertama di Indonesia dan juga di dunia yang sekarang sudah diadopsi oleh 11 negara di seluruh dunia.
“Mengapa hutan dataran rendah disini (Muba) merupakan yang paling baik? Karena areal yang paling terancam di dunia habitatnya itu namanya dataran rendah Sumatra. Kemudian, ada 29 ekor harimau, 1.310 jenis spesies flora yang hampir 80 persen yang ada di Sumatera. Jadi Hutan Harapan itu representasi dari hutan dataran rendah yang ada di Sumatra maupun hutan dataran yang ada di sumatra,” jelas dia.

Mengapa Hutan Harapan ini sangat penting bagi Muba? Mangarah memaparkan, karena Hutan Harapan ini menjadi hulu Sungai Batang Hari Leko. Ada dua sungai besar yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) Meranti dan DAS Kapas.
Berikutnya, selain tanah Hutan Harapan memberikan jasa lingkungan bagi warga Muba yang di hulu dan di hilir, Hutan Harapan juga di huni minimal 8 sampai 10 kelompok Suku Anak Dalam (SAD) yang ada di Batin Sembilan. Kemudian ada sekitar 300-400 KK masyarakat lokal yang ada di Desa Sako Suban dan Hutan Harapan yang ada di wilyah Muba.
“Kalau kita bisa selamatkan, maka hutan ini akan menjadi representasi bagi generasi muda mendatang hingga 10 sampai 40 tahun lagi. Mereka lah yang bisa melihat hutan dataran rendah Hutan Harapan yang saat ini kondisinya 80 persen bagus,” papar dia.
Oleh karena itu, tambah Mangarah, Hutan Harapan ini sangat penting terutama bagi kelompok-kelompok masyrakat adat lokal, warga Kabupaten Muba, Provinsi Ssumsel, termasuk dunia internasional.
“Karena ini menjadi cikal bakal yang disebut global international sebagai forest of hope. Forest hope itu sebenarnya hutan untuk harapan bagi dunia,” tandas dia. (aha)