JAKARTA, fornews.co — Perubahan iklim yang semakin ekstrem memicu krisis air dan ketahanan pangan di Indonesia.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyebut Indonesia sedang berada di titik kritis dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
“Menunjukkan adanya tren pemanasan global yang mengkhawatirkan,” kata Dwikorita di Jakarta, Rabu kemarin dalam Talkshow Kongres Gerakan Restorasi Sungai Indonesia (GRSI) dan Gerakan Pemanenan Air Hujan Indonesia (GMHI) 2025.
Pada 2024 tercatat adanya kenaikan suhu rata-rata sebesar 27,52°C dengan anomali suhu tahunan mencapai +0,81°C dibandingkan periode normal.
Perubahan suhu yang semakin tinggi dan cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, seperti banjir dan kekeringan, mempengaruhi berbagai sektor, termasuk ketahanan air dan pangan.
Berdasar data BMKG, Dwikorita menunjukkan suhu udara di Indonesia terus meningkat hampir di atas persentil ke-95 sepanjang tahun.
Hal ini berpotensi memperburuk dampak perubahan iklim yang ekstrem baik berupa banjir maupun kekeringan.
“Masalah besar yang kita hadapi adalah ketimpangan antara pasokan air yang berlimpah saat musim hujan, namun langka ketika dibutuhkan di musim kemarau,” ungkapnya.
Kata Dwikorita, ada dua solusi utama menghadapi hal tersebut yaitu restorasi sungai dan pemanenan air hujan.
Kedua solusi itu harus dilakukan secara koordinasi dan berbasis data ilmiah yang akurat.
Solusi tersebut membutuhkan penangan yang serius dan terencana agar kemanfaatannya dapat dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah kekurangan air bersih.
Restorasi sungai dapat memperbaiki ekosistem sungai yang rusak sehingga akan meningkatkan kapasitas sungai untuk menampung dan mengalirkan air dengan lebih baik.
Sementara, pemanenan air hujan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi krisis air terutama di daerah-daerah yang rawan kekeringan.
Ia juga sempat menyinggung pengembangan Sistem Informasi Hidrologi dan Hidroklimatologi untuk Wilayah Sungai (SIH3).
Dengan adanya SIH3, pihaknya dapat memberikan peringatan dini terkait potensi kekeringan dan memberikan informasi terkait waktu yang tepat untuk melakukan restorasi sungai dan panen air hujan.
“Dengan pemanenan air hujan kita dapat mengurangi ketergantungan pada sumber daya air permukaan yang semakin terbatas akibat perubahan iklim,” terangnya.
Ia menekankan pentingnya BMKG bekerja sama dengan semua pihak baik pemerintah dan sektor swasta dalam menyebarkan informasi iklim yang akurat.
Kerja sama itu diharapkan menyediakan data yang dapat digunakan dalam merencanakan dan melaksanakan program-program ketahanan air.
“Menyediakan informasi iklim yang akurat serta prediksi curah hujan untuk mendukung perencanaan restorasi sungai dan pemanenan air hujan yang lebih efektif,” ujarnya.
Pihaknya mengingatkan perubahan iklim bukan masalah jangka pendek, tetapi tantangan besar yang harus dihadapi dengan pendekatan jangka panjang.
Kepala BMKG kembali menegaskan perlunya strategi pengelolaan air yang lebih cerdas dan adaptif dengan melibatkan pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.
Gerakan Restorasi Sungai Indonesia dan Gerakan Pemanenan Air Hujan Indonesia adalah dua langkah konkret yang harus segera diterapkan untuk memastikan ketersediaan air di masa depan baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk mendukung ketahanan pangan.