YOGYAKARTA, fornews.co – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyatakan, upaya mitigasi dan pengurangan risiko bencana merupakan investasi jangka panjang, yang harus dipersiapkan dunia usaha demi menjaga keberlanjutan usaha mereka.
Berkaca dari hal tersebut, maka pihak swasta untuk turut berkolaborasi dalam penguatan sistem mitigasi dan pengurangan risiko bencana gempa bumi dan tsunami. Karena, dunia usaha dapat menjadi aktor utama penggerak upaya pengurangan risiko bencana.
“Bencana alam otomatis juga akan berdampak pada sektor swasta. Maka dari itu kami mendorong keterlibatan aktif swasta dalam manajemen risiko bencana lewat penguatan aksi mitigasi untuk membangun ketahanan serta ketangguhan sosial dan ekonomi,” ujar dia, pada Rakor Peningkatan Upaya Mitigasi dan Peringatan Dini Bahaya Gempabumi dan Tsunami di Kawasan Bandara Yogyakarta International Airport (YIA), Jumat (5/7/2024).
Sebagai negara dengan kerentanan bencana alam, kata Dwikorita, kolaborasi aksi mitigasi dan pengurangan risiko bencana mutlak dilakukan. Pemerintah dan masyarakat, tentu akan kesulitan jika harus bekerja sendiri, mengingat dibutuhkan sumber daya yang besar untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang kompleks.
Dwikorita mencontohkan, pada saat Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia (AM IMF-WBG) di Bali tahun 2018 lalu, yang hampir saja dibatalkan karena adanya erupsi Gunung Agung.
“Akhirnya tetap terlaksana dan berhasil terselenggara dengan baik, setelah pemerintah mampu meyakinkan negara peserta bahwa Indonesia memiliki kesiapan sistem peringatan dini bencana dan aksi mitigasi bencana yang baik dan handal,” kata dia.
Lantas seperti apa peran swasta? Terhadap hal itu, Dwikorita mengungkapkan, bahwa hotel-hotel tempat menginap kepala negara, delegasi, dan tamu telah tersertifikasi kesiap-siagaan bencana oleh BPBD dan BMKG.
Indikatornya, kelengkapan infrastruktur, pemahaman bencana, sistem peringatan dini, kemampuan merespons bencana, mitigasi bencana, dan keamanan.
“Singkatnya, mereka sudah sangat siap jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam. Hal ini perlu juga dicontoh oleh penyelenggara dan pelaku wisata, khususnya di daerah rawan bencana alam,” ungkap dia.
Kemudian, Dwikorita menjelaskan, YIA merupakan satu-satunya bandara di dunia yang telah disiapkan dan didesain untuk mampu bertahan terhadap guncangan gempa megathrust dengan Magnitudo 8,7, dan aman terhadap tsunami yang dipicu oleh gempa megathrust.
Karena bandara inidilengkapi dengan crisis center yang dapat menjadi Tempat Evakuasi Sementara apabila tsunami terjadi, dengan kapasitas untuk menampung 2.000 orang. Terminal bandara, mulai dari level mezanine hingga lantai 2 telah disiapkan untuk tempat evakuasi dengan kapasitas 10.000 orang.
“Bila pengguna bandara dan masyarakat setempat merasakan guncangan gempa bumi atau memperoleh peringatan dini tsunami, dapat segera menuju crisis center atau naik ke terminal di lantai mezanine atau lantai 2,” jelas dia.
“Inilah kontribusi penting bandara kepada masyarakat sekitar dan pengguna bandara dalam menghadapi ancaman gempa megathrust dan tsunami,” imbuh dia, seraya menambahkan bahwa sistem Peringatan Dini Tsunami juga telah terpasang dan terhubung langsung dari BMKG Pusat.
Sementara, Koordinator Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami, Suci Dewi Anugrah menuturkan, sektor swasta harus terlibat aktif dalam upaya mitigasi gempa bumi dan tsunami.
Langkah awalnya, manajemen hotel dapat melakukan identifikasi indikator tsunami ready yang dicanangkan oleh The Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO (IOC/UNESCO). Karena, hotel perlu melakukan assessment terkait struktur bangunan, jumlah pengunjung, dan SOP kedaruratan, serta metadata aset.
“Berdasarkan pengamatan di lapangan, hotel-hotel di kawasan rawan gempa bumi dan tsunami masih minim rambu evakuasi. Harapan kami, hotel memiliki inisiatif sendiri dalam melakukan peningkatan kapasitas (tsunami drill) tanpa menunggu program dari BMKG atau instansi lain. Sebaiknya libatkan juga masyarakat atau stakeholder lainnya,” tandas dia. (aha)