Menurut Sekretaris Jenderal AMSI, Maryadi, koalisi Cekfakta ini sendiri sudah terbangun sejak 2018. Nah diskusi bulanan ini sekaligus sebagai inventarisir bank data hoaks.
Anggota Dewan Pers, Sapto Anggoro yang membuka kick off diskusi bulanan Cekfakta ini menilai, bahwa hoaks akan terus meningkat bersamaan dengan tahun politik. Jadi, diharapkan diskusi ini dapat mengidentifikasi hoaks lebih awal.
“Diskusi ini penting untuk dilakukan secara reguler karena kondisi/informasi palsu akan selalu berubah setiap saat. Koalisi Cekfakta dapat menjadi garda depan untuk mencegah hoaks. Dewan Pers sangat mengapresiasi,,” kata dia.
Trainer Cek Fakta, Anastasya Andriarti, yang mulai memandu diskusi melaporkan pemantauan media sosial hoaks dengan memakai mesin artificial intelligence (AI) milik Binokular. Ini merupakan alat yang digunakan koalisi Cekfakta untuk sosial media monitoring menjelang Pemilu 2024.
Kemudian, Project Manager Social Index Binokular, Danu Setio Wihananto melanjutkan, gambaran bahwa hoaks politik mayoritas mengarah pada serangan personal atau identitas para tokoh seperti capres atau cawapres
“Hoaks seputar politik dominan mengarah pada penyerangan atas personal capres, cawapres,” ungkap dia.
Sementara, Ahli Hukum Pers, Yosep Adi Prasetyo menerangkan, hoaks itu erat dengan bisnis dan kerap diproduksi untuk motif ekonomi. Hoaks terbanyak adalah hoaks tentang kesehatan.
“Waktu pandemi, banyak sekali hoaks diproduksi. Contohnya kalau mau sehat minum minyak kayu putih. Kalau mau aman dari covid berjemur. Jelas itu tidak akan menyembuhkan. Itu hoaks,” terang dia.
Mantan Ketua Dewan Pers yang akrab disapa Stanley itu menuturkan, sekarang banyak hoaks mencatut nama dokter Terawan. Ada soal penemuan obat kuat, obat jantung, obat gula darah, dan lain-lain.
“Celakanya masyarakat kita yang suka menolong, memudahkan hoaks mudah tersebar, karena didorong motif ingin berbagi informasi tanpa tahu bahwa itu adalah hoaks,” tutur dia.
“Tantangan terbesar dari penyebaran hoaks adalah literasi menggunakan media sosial dan sumber informasi. Kerja cekfakta saat ini belum menyentuh dark social yang ada di grup-grup aplikasi percakapan dan media sosial. Koalisi perlu mendesak tanggung jawab platform misalnya agar setiap grup percakapan WA baru bisa dibentuk jika ada moderatornya. Perlu menyusun panduan percakapan,” imbuh dia.
Koordinator Koalisi cekfakta, Adi Marsiela berharap, AMSI bisa mendorong lebih banyak media anggotanya masuk dalam koalisi cekfakta, agar amplifikasi kerja tim pemeriksa fakta lebih luas diakses publik.
“Anggota AMSI kan ada 456 media, misal ada 10 persen saja itu sudah bagus. Mungkin tidak semua harus produksi debunking atau prebunking, karena kemampuan dan jumlah tim tak sama. Keterlibatannya bisa juga dengan mempublikasikan konten yang ada dalam cekfakta.com,” kata dia.
Adi menambahkan, ada 20 kegiatan besar yang disusun koalisi AMSI, AJI, dan Mafindo menjelang Pemilu 2024, termasuk menyusun strategi meningkatkan kualitas dan sinkronisasi pemeriksa fakta, melengkapi database cekfakta, pembuatan konten cekfakta dengan target 2400 konten.
Diskusi bulanan hasil pemetaan data/informasi hoaks yang baru dimulai 25 Agustus ini satu strategi kampanye dan monitoring data hoaks secara berkala. Data ini akan menjadi dasar mengembangkan strategi kampanye baik online maupun offline serta meningkatkan kualitas konten cekfakta (debunking dan prebunking). (aha)