SIMALUNGUN, fornews.co – Kejaksaan Negeri (Kejari) Simalungun, Sumatera Utara (Sumut), diminta untuk membebaskan Sorbatua Siallagan (65) dari tahanan hari ini juga.
Permintaan tersebut diutarakan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Saurlin Siagian, usai ada putusan banding Pengadilan Tinggi (PT) Medan yang menetapkan Sorbatua tidak terbukti bersalah secara tindak pidana.
Saurlin berharap, Pengadilan Negeri Simalungun atau panitra segera menyerahkan surat Putusan PT Medan kepada Kejari Simalungun.
“Sehingga bapak Sorbatua Siallagan, segera bebas hari ini juga. Jangan sampai negara menambah beban hukuman kepada warga negara yang tetalah diputus pengadilan tinggi tidak bersalah,” ujar dia, kepada wartawan Jumat (18/10/2024) sore.
Saurlin mengatakan, sudah berkomunikasi dengan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Simalungun, Irfan Hergianto, Jumat sore sekitar pukul 15.40 WIB. Dari pengakuan Kajari, pihak kejaksaan menunggu salinan putusan Pengadilan Tinggi Medan yang menangani sidang banding Sorbatua.
“Saya kembali menegaskan, menurut Undang-undang, putusan berlaku sejak diucapkan. Artinya, putusan majelis hakim Tinggi Medan yang menyatakan Sorbatua Siallagan harus dibebaskan, berlaku saat dibacakan di ruang sidang,” kata dia.
Saurlin mengungkapkan, hal itu tidak harus menunggu surat putusan. Dia menduga, surat putusan telah terbit Kamis kemarin dan mengingat jarak dari Kota Kedan ke Simalungun cukup dekat, waktu tempuh sekira 3 jam, maka seharusnya surat putusan telah tiba di tangan Panitera di Pengadilan Simalungun. Saurlin berharap, PN atau panitera PN Simalungun segera menyerahkan surat putusan PT kepada Kejari Simalungun.
“Saya pikir, suratnya dikirim kemarin, tidak masuk akal kalau tidak sampai hingga sore ini. Kita tidak ingin keadilan delay, terlambat. Karena putusan PT sudah terbit. Jadi jangan menambah hukuman,” ungkap eksponen/aktifis mahasiswa 1998 dan alumnus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) itu.
Selain itu, Saurlin juga mengapresiasi putusan Majelis Hakim PT Medan yang diketuai Syamsul Bahri SH MH, dan dua hakim anggota, yaitu Longser Sormin SH MH, dan Tumpal Sagala SH MH.
Ini, sambung dia, merupakan bukti bahwa masih ada hakim yang menggunakan akal sehatnya. Tiga hakim PT Medan perlu diapresiasi. Mereka menyatakan bahwa, kasus Sorbatua versus PT TPL itu adalah perdata. Karena perdata, diusutnya secara administarsi, bukan pidana. Jadi putusan perdata, diurusnya secara admisntrasi, bukan mempidana orang.
“Orang memepersoalkan batas tanah, berati urusan adinistrasi tata batas tanah. Dalam hal ini karena konflik agraria berkaitan dengan hutan, maka bereskan tata batas hutan,” jelas dia.
Dia berharap, kasus yang sama atau mirip, maka harus diperlakukan sama. Ini kasus sama, sudah ada yurisprudensinya, maka perlakuannya sama, di Dolok Parmonangan maupun di Sihaporas.
“Kita tahu, ada empat orang warga masyarakat adat Sihaporas, yang ditahan sejak 22 Juli 2024. Lokasi berdekatan dengan tanatnya Sorbatua. Jadi ini masalah perdata, yang mestinya diselesaiakan oelh Kementerian Lingkunagn Hidup dan Kehutanan (KHLK), bukan peradilan pidana,” tegas pria yang sebelummnya aktif sebagai pegiat lingkungan hidup dari Hutan Rakyat Institut (HaRI).
Kasus bebasnya Sorbatua Siallagan, warga Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan (Tiga Dolok), Kabupaten Simalungun, terang Saurlin, menjadi pembuka kotak pandora, bahwa penyelesaian konflik agraria harus digunakan dengan pendekatan kasus perdata dan administrasi, bukan pidana.
Dalam kasus Sorbatua Siallagan, Saurlin melihat mejadi hal penting untuk semua masalah tanah dan sengkata agraria di seluruh Indonesia. Kalaupun masyarakat dijerat pasal pidana, seperti penganiayaan dan pengeroyokan oleh Polres Simalungun, pokok soal adalah konflik agraria. Kalau dibereskan tata batas hutan, maka tidak ada lagi kasus.
“Ada 31 kasus batas tata hutan di kawasan Danau Toba. Masalah pokoknya adalah tata batas hutan. Siapa yang bisa menyelesaikan itu? Bukan polisi, melainkan KLHK. Komnas HAM mendorong KLKH menyelesaikan tanah bukan hanya di kawsan Danau Toba, juga di daerah lain,” terang dia.
Kasus Sorbatua Siallgan, urai Saurlin, semula dilaporkan pihak PT TPL atas kasus membakar hutan. Lalu polisi menjeratnya tindak pidana.
Tapi menurut Sorbatua, bahwa secara turun-temurun ada di tanahnya. Jadi, kasus Sorbatua awalnya disebut pembakaran, sama dengan kasus Sihaporas, disebut pengeroyokan dan perusakan.
“Polanya sama, kasus perdata ditarik ke kasus pidana. Padahal masalah pokoknya adalah tata batas hutan. Karena tiu, saya minta kasus masyarakat Sihaporas juga dijadikan kasus perdata, adminsitrasi, bukan pidana,” urai dia.
Saulir meminta pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyelesaikan konflik tenurial/hutan dengan pendekatan pencadangan hutan adat. Jadi karena masalah hutan adat, maka hentikan dulu, keadaan statusquo (stanvas).
“Hentikan masalah ini. Baru cari penyelesain konflik agraria. Negara menghentikan dulu masalah akarnya. Sekali lagi, Putusan PT Medan ini menjadi contoh yang baik untuk kasus perdata tanah, masak hakim lain menggunakan paradigma yang beda?” tegas dia.
Terpisah, Ketua Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan (65), divonis dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan. Putusan tersebut dibacakan oleh Majelis Hakim PN Simalungun, Sumatera Utara, Rabu (14/8/2024) sore.
Di luar ruangan sidang, puluhan warga adat yang mengenakan kain ulos kompak memprotes putusan hakim yang dianggap mengkriminalisasi perjuangan hak tanah adat.
Sorbatua didakwa atas dugaan perusakan dan penguasaan lahan di Huta Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yang izin konsesinya dipegang PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Padahal pengakuan Sorbatua, nenek-moyangnya turun-temurun 11 generasi hingga kepadanya mendiami tanah leluhur. Masih dari kawasan Danau Toba, desa bertetangga, lima masyarakat adat dari Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) di Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun ditangkap Polres Simalungun, Senin (22/7/2024). Hingga hari ini, mereka masih mendekam dalam tahanan.
Mereka adalah Thomson Ambarita (45 tahun), menjabat Bendahara Umum Lamtoras 2017-2021; Jonny Ambarita (49 tahun), Sekretaris Umum Lamtoras 2017-2021; dan dua aktifis Badna Pemuda Adat Nasional Lamtoras yakni Gifani Ambarita (29) dan Parando Tamba (27).
Mereka dituduh menganiaya dan merusak pihak TPL. Padahal sejatinya pokok masalah adalah konflik agraria. Pekerja PT PTL memprovokasi dan memancing keributan, sehingga terjadi tindak kekerasan fisik.
Pengadilan Tinggi Medan memutus bebas Ketua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan. Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 1820/Pid.Sus-LH/2024/PT MDN tertanggal 17 Otkober 2024. Sidang banding Sorbatua dipimpin Hakim Ketua Syamsul Bahri SH MH.
Majelis hakim menyatakan bahwa Sorbatua Siallagan terbukti ada, tetapi perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana, melainkan perbuatan perdata. Hakim juga menyatakan agar terdakwa Sorbatua Siallagan dilepaskan dari segala tuntutan penuntut umum.
“Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum membebaskan Terdakwa Sorbatua Siallagan dari Rumah Tahanan Negara,” bunyi putusan Majelis Hakim yang ditetapkan Kamis (17/10/2024).
Majelis hakim juga meminta jaksa memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat martabatnya, serta membebankan biaya perkara kepada negara.
Terkait keputusan pengadilan tingkat dua ini, Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri Simalungun, Edison S Situmorang mengatakan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti hasil putusan ini dan menerangkan pada media pada hari Senin (21/10/2024).
“Hari Senin nanti kita sampaikan keterangan kita di kantor ya,” tutur Edison saat dikonfirmasi reporter Tribun-Medan.com, Jumat (18/10/2024) siang.
Penasihat Hukum Sorbatua Siallagan, Audo Sinaga SH menambahkan, pihaknya akan terus mengawal kasus dugaan pengrusakan dan pembakaran hutan Industri yang dituduhkan oleh PT Toba Pulp Lestari kepada kliennya, tetua adat marga Siallagan di Dolok Parmonangan itu.
“Kemenangan Pak Sorbatua di tingkat banding sangat kita syukuri, bahwa dari awal memang kasus ini tidak layak masuk dalam ranah pidana. Kemenangan ini bukan hanya untuk Pak Sorbatua saja, melainkan untuk seluruh masyarakat adat di Nusantara,” tandas dia. (aha)