YOGYA, fornews.co – Pentas teater berjudul “Fana, Topeng dan Religi” di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta mengangkat persoalan sampah dan lingkungan.
Sampah dianggap tidak penting. Tidak butuh perlakuan khusus. Sementara masyarakat mengeluhkan sampah di lingkungannya.
Baca: Tanpa Akta Kelahiran Anak Kehilangan Hak Layanan Publik
Pentas teater pada Selasa malam, 5 Desember 2023, oleh belasan anak-anak marjinal pada Festival tahunan ke-11 di UNY mengambil setting kehidupan sehari-hari.
Anak-anak marjinal itu di bawah pendampingan Dreamhouse yang dikelola oleh Yayasan Rumah Impian Indonesia.
“Iya bu, zaman sekarang banyak orang membuang sampah sembarangan,” seloroh tukang sapu kepada perempuan penjual makanan keliling.
“Tapi, tidak semua begitu kan?” jawab si penjual.
“Semua sama saja,” sahut tukang sapu. “Sekarang banyak orang kehilangan kepedulian terhadap apapun!”
Penggalan dialog tersebut mengajak untuk peduli sampah dan lingkungan. Seakan memberitahukan kepada penonton terhadap perilaku masyarakat sekarang.

Meski saat pentas sambil membaca naskah, namun, belasan anak-anak Dreamhouse bermain sangat apik dan natural. Seperti sedang bermain-main.
Diakui Sean, sebelum tampil seluruh pemain hanya memiliki waktu pendek untuk latihan. Hanya 14 hari.
“Agak sulit menghafal naskah. Sepekan dikebut dua kali pertemuan latihan,” ungkap mahasiswa Sanata Dharma semester 5 yang aktif di Sanggar Seribu Jendela.
Baca: Kemiskinan Penyebab Utama Anak Mencari Nafkah di Jalan
Pengelolaan sampah yang tidak serius dipastikan berimbas pada lingkungan. Sementara kesadaran masyarakat terhadap sampah masih terbilang rendah.
Pentas teater itu mengingatkan Kota Jogja yang terjebak darurat sampah yang diduga TPA tidak mampu menampung ratusan ton sampah kiriman dari sejumlah wilayah di DIY.
Penampilan teater anak-anak itu hasil kerja bareng Dreamhaouse dan Sanggar Seribu Jendela UKM Sadar. Mereka sepakat mengangkat isu sampah yang sebelumnya akan memainkan drama tentang sosial keluarga.

Pada pentas teater itu juga memperlihatkan adegan sejumlah anak membuang sampah di taman kota. Mereka mengabaikan tempat sampah yang tersedia.
“Wah! Kotor sekali tempat ini. Padahal, baru kemarin kita bersihkan,” ujar tukang sapu kepada temannya.
“Ya sudah. Ayo kita bersihkan!”
Sampah di perkotaan diperlakukan tidak istimewa. Sementara tempat sampah yang tersedia tidak digunakan sebagaimana mestinya.
Namun, pentas teater itu tidak hanya menyoalkan sampah yang berdampak pada lingkungan. Pentas teater anak itu bahkan syarat pesan tata krama, adab dan sopan santun.
Baca: Yayasan Rumah Impian Indonesia bersama IPSPI DIY Sosialisasikan Hak dan Perlindungan Anak
Ketua Yayasan Rumah Impian Indonesia, Yosua Lapudooh, berterima kasih kepada pihak penyelenggara NFEST #11 yang telah memberikan ruang bagi anak-anak Dreamhouse untuk tampil berekspresi.
Dirinya menyebut sejak tahun 1999 Yayasan Rumah Impian Indonesia telah membantu anak-anak jalanan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk kembali bersekolah.
Anak-anak jalanan itu diasramakan di Rumah Impian (Dreamhouse) guna mendapatkan pendidikan di luar sekolah.
Di Yogyakarta, Dreamhouse telah melakukan pendampingan anak di 12 kampung. Dua tahun ini fokus meningkatkan hak dan partisipasi anak di 5 kampung.
“Ruang partisipasi anak-anak di dalam keluarga dan lingkungan masyarakat masih sangat rendah,” ungkapnya.
Ia berpesan kepada masyarakat untuk melaporkan kepada Yayasan Rumah Impian jika melihat atau mengetahui anak-anak yang mengalami kekerasan dan eksploitasi.

Drama yang dipentaskan anak-anak Dreamhouse cukup menghibur meski penonton didominasi oleh mahasiswa.
Sean beralasan gagasan tentang membuang sampah sembarangan memiliki pesan yang mudah ditangkap oleh penonton.
Alasan itu didasari adanya kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan tanpa peduli dampak yang diakibatkan. Bahkan membuang sampah di sungai.
“Pesan lebih mudah ditangkap penonton,” katanya.
Selain pentas teater, anak-anak Dreamhouse juga menampilkan tari Mayong oleh Tiya dan Rara. (adam)
Copyright © Fornews.co 2023. All rights reserved.