fornews.co – Agresi Militer II di Jogjakarta, Belanda membombardir Sumberagung, Moyudan, Sleman—tak luput bandara Adisutjipto, Maguwo—diratakan.
“Waktu itu saya masih kecil. Kami mengira ada tontonan. Tak tahunya itu serangan Belanda dari pesawat,” kata Endie Soesenin mengenang peristiwa 19 Desember 1948.
Baca: Peristiwa Heroik Pejuang Pemuda Rejodani
Kala itu usia Senin belum genap 10 tahun. Tapi, masih ingat betul langit yang cerah berubah mendung setelah pesawat-pesawat Belanda membombardir desanya di Moyudan.
Belasan pesawat tempur Belanda menderu-deru bagaikan capung raksasa memuntahkan tembakannya ke berbagai objek.
Belanda yang mengetahui adanya pasukan gerilya di Moyudan mengira Sumberagung dijadikan markas.
Sejumlah bangunan yang diduga menjadi gudang persenjataan milik pasukan gerilya hancur dimortir.
Pasukan gerilya di bawah komando Letnan Soeharto atas perintah Panglima Besar Jenderal Soedirman itu kemudian bertempur sengit.
Mata-mata Belanda membocorkan adanya rombongan pasukan gerilya dari Siliwangi yang berjalan kaki dari arah Purworejo menuju Jogjakarta.
Tentara Siliwangi yang secara berkala datang dari arah Barat diketahui Belanda sehingga Sumberagung menjadi daerah operasi militer.
Tetapi, warga Moyudan hafal betul kapan serdadu Belanda berpatroli di daerahnya. Maka, lintasan jalur patroli Belanda dihancurkan oleh warga.
Lintasan jalan yang sering dilalui patroli serdadu Belanda itu kemudian dirusak. Dibuat lubang-lubang curam sehingag kendaraan berat terperosok dan terjebak.
Lubang-lubang besar yang dibuat warga itu cukup membuat serdadu Belanda kerepotan. Dengan mudah serdadu Belanda yang berpatroli digempur dari berbagai sisi.
Merasa kecolongan karena selalu diserang saat berpatroli, Belanda kemudian mengirimkan belasan pesawat tempur jenis bomber, jager dan fighter menghujani Sumberagung dengan mortir.
Peristiwa pertempuran di Sumberagung itu menewaskan 8 warga Moyudan yang kemudian diabadikan pada monumen pahlawan di halaman Kantor Kelurahan Sumberagung.
Kedelapan pahlawan yang gugur dalam pertempuran di Sumberargung tersebut yaitu Temuharjono, Basiran, Kasandikromo, Kasandinomo, Topawiro, Buang, Giyo, dan Sandiman.
Monumen pahlawan yang dibangun sekira tahun 1970-an tersebut dijadikan tetenger atau penanda bagian dari perang Agresi Militer Belanda II di Moyudan.
“Dulunya sejumlah bangunan tua di sini ditempati oleh tentara Belanda,” kata Aris warga Sumberagung yang rumahnya pernah menjadi langganan tempat istirahat bagi pasukan Siliwangi.
Pada 19 Desember 1948, ketika Agresi Militer II meletus, Belanda mendirikan pos pertahanan di Klangon dan Padon beberapa kilometer di Barat Godean.
Sebelum peristiwa Serangan Oemoem 1 Maret 1949, pasukan Siliwangi berdatangan ke Jogja membantu para pejuang yang terlebih dahulu berada di Ibu Kota Negara.
Jogja yang pada waktu itu berstatus Ibu Kota Negara diduduki Belanda agar PBB percaya bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak ada.
Namun, faktanya Tentara Nasional Indonesia masih ada meski PBB pada waktu lebih percaya kepada Belanda.
Baca : Asal-usul Dibuat Monumen Medan Laga Rejodani TP BE-17
Tetapi belum diketahui pasti sejumlah bangunan Belanda di Sumberagung itu digunakan sebagai kantor atau barak tentara.
“Setahu saya, bangunan tua yang ada di Sumberagung beberapa di antaranya digunakan untuk barak tentara Belanda,” kata Senin.
Senin yang saat ini masih aktif di Pepabri Moyudan adalah mantan prajurit yang pernah ditugaskan mempertahankan NKRI bagian Timur di bawah pimpinan Yos Sudarso.
“Jadi kami tidak menyangka pesawat-pesawat Belanda membombardir Sumberagung secara tiba-tiba,” kata Senin mengenang masa kecilnya.
Meski masih ingat, namun, hanya sebagian peristiwa yang diceritakan. Tidak semua kejadian terekam olehnya. Senin berlompat-lompat dalam bercerita.
Tiger Berigade Belanda yang masuk ke Sumberagung dari arah Selatan kemungkinan setelah berpatroli di Sedayu, Bantul.
Pada Agresi Militer II, Belanda melakukan kejahatan perang yang tidak pernah diadili oleh PBB. Belanda justru hanya diminta angkat kaki dari Jogjakarta. Padahal, kata Senin, Belanda sudah kalah.
Serangan Umum 1 Maret 1949 mutlak mengalahkan Belanda tanpa syarat. Namun, kerajaan Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Dari kekalahan Belanda pada 1 Maret 1949 kemudian muncul ungkapan Jogja Kembali yang berarti Ibu Kota Negara telah kembali di pangkuan ibu pertiwi. (adam)
Copyright © Fornews.co 2023. All rights reserved.