JAKARTA, fornews.co – Berdasarkan pemantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dua pekan terakhir (25 Juli – 5 Agustus 2019) sedikitnya terdapat 18.895 titik panas di seluruh wilayah Asia Tenggara dan Papua Nugini.
Deputi Meteorologi BMKG, Prabowo mengungkapkan, informasi titik panas tersebut dianalisis berdasarkan citra Satelit Terra Aqua (LAPAN) dan Satelit Himawari (JMA Jepang). Menurutnya, peningkatan jumlah titik panas ini diakibatkan kondisi atmosfer dan cuaca yang relatif kering sehingga mengakibatkan tanaman menjadi mudah terbakar.
“Kondisi tersebut perlu diperhatikan, agar tidak diperparah dengan maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian dengan cara membakar,” kata Prabowo dalam siaran persnya di Jakarta, Selasa (06/08).
Lanjutnya, hasil monitoring BMKG juga menunjukkan adanya trend titik panas meningkat di berbagai wilayah ASEAN, dimana pada 25 Juli 2019 terdapat 1.395 titik, meningkat menjadi 2.441 pada tanggal 28 Juli 2019. Kemudian titik panas mulai menurun pada tanggal 29 Juli 2019 menjadi sebanyak 1.782 titik, dan menjadi 703 titik pada tanggal 1 Agustus 2019.
“Jumlah titik panas meningkat kembali menjadi 3.191 pada tanggal 4 Agustus 2019. Titik panas tersebut terkonsentrasi di wilayah Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat, bahkan juga terdeteksi di Serawak (Malaysia), Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Filipina,” jelasnya.
Oleh karena itu, BMKG terus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), BNPB, Pemerintah Daerah (BPBD), instansi terkait, dan masyarakat luas untuk terus meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap potensi kebakaran lahan dan hutan, bahaya polusi udara dan asap, potensi kekeringan lahan dan kekurangan air bersih.
“Kondisi kering itu diikuti oleh kemunculan hotspot yang dapat berkembang menjadi kebakaran hutan dan lahan yang pada akhirnya menimbulkan asap dan penurunan kualitas udara. Untuk itu diperlukan kewaspadaan dan langkah antisipatif untuk meminimalisir dampak,” imbuhnya.
Pada musim kemarau, pola angin dominan berasal dari arah Tenggara, hal ini mendorong arah penyebaran (trayektori) asap melintasi perbatasan wilayah Indonesia (transboundary haze). Kondisi tersebut telah diantisipasi dalam bentuk informasi peringatan dini berupa monitoring sebaran asap dan prediksi zona kemudahan terbakar, dengan menggunakan Fire Danger Rating System (FDRS) sampai tujuh hari ke depan untuk wilayah ASEAN.
Dalam sistem tersebut terdapat peta prakiraan tingkat kemudahan terjadinya kebakaran berdasarkan unsur cuaca untuk wilayah Asia Tenggara. Dalam seminggu kedepan (6 – 12 Agustus 2019) wilayah Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Filipina, Thailand, Malaysia, dan sebagian kecil Myanmar, Vietnam, Laos masuk kategori diprediksi “Sangat Mudah” terjadi kebakaran.
Prabowo menerangkan, saat ini sebagian besar wilayah Indonesia dan beberapa wilayah di ASEAN, sedang mengalami musim kemarau (monsun Australia). Dimana pola angin secara umum berasal dari arah Tenggara yang bersifat kering. Selain itu, kondisi musim saat ini juga dipengaruhi oleh kondisi anomali suhu permukaan laut di perairan Indonesia yang negatif khususnya di selatan ekuator.
El Nino dengan intensitas lemah yg berlangsung dari akhir 2018 saat ini menuju kondisi netral, serta Indian Ocean Dipole Mode yang saat ini bernilai positif. Hal ini mengakibatkan musim kemarau tahun ini lebih kering dari tahun 2018, dan kondisi lahan khususnya gambut secara potensi menjadi mudah terbakar. (ars)