
SIANG itu, udara terasa lembab. Perahu ketek nelayan berlalu lalang, di sekitar Taman Nasional (TN) Sembilang. Suasana terasa tenang, jauh dari bising aktivitas ibu kota. Udara segar beraroma hutan mangrove terasa begitu segar di indra penciuman. Debur ombak dan suara mesin ketek, seakan menciptakan nada-nada selaras dengan indahnya panorama Semenanjung Banyuasin.
TN Sembilang, merupakan kawasan konservasi yang terletak di pesisir Kabupaten Banyuasin, tepatnya di Desa Sungsang, dimana pengelolaanya sekarang bergabung dengan TN Berbak Provinsi Jambi. Kawasan yang meliputi hutan rawa gambut, hutan air tawar dan hutan riparian itu merupakan habitat bagi Harimau Sumatra (Panthera Tigris Sumatrae) dan spesies hewan yang dilindungi lainnya.
Di sekitar Sembilang, meliputi Terusan Dalam, Tanjung Birik, Simpang Ngirawan (Merawan), Dusun Sembilang, Sungai Bungin, dan bagan-bagan ikan di perairan pantai hidup dan berkembang masyarakat nelayan. Kegiatan perikanan di kawasan perairan Sembilang, sebagian besar terpusat di sini, selain di Sungsang, ibu kota Kecamatan Banyuasin II, yang terletak di muara Sungai Musi (di luar kawasan TN).
Muhlisin (38) warga Dusun Sembilang, yang ditemui fornews.co belum lama ini mengaku, sudah 15 tahun menumpuhkan hidup sebagai nelayanan di kawasan tersebut. Kekayaan hayati di dasar air Semenanjung Banyuasin, seperti ikan kelompok Aridae, Carangidae, Leioghnathidae, Lutjanidae, Polynemidae, Sciaenidae, Seranidae, dan udang, menjadi penghidupan atau menemuhi kebutuhan ekonomi warga tanpa mengenal musim.
“Aktivitas sehari-hari kami di sini ya melaut (menjaring ikan). Menyebar jaring di laut, sehari itu 5-6 jam. Hasilnya tidak selalu baik (mendapat banyak tangkapan ikan), tergantung kondisi. Tapi, kami tidak mengenal namanya musim. Walau cuaca berombak, kami tetap melaut,” tuturnya, sambil mendekap kedua putrinya di dermaga sambil memandangi perahu ketek nelayan yang mulai bersandar dari laut Sembilang, dengan cuaca hujan.

Umumnya tempat tinggal masyarakat nelayan di TN Sembilang, berupa rumah panggung dan terbuat dari kayu. Untuk menghubungkan rumah ke rumah, rumah ke tempat ibadah dan sekolah, secara swadaya membentuk jembatan kayu. Kendati demikian, anak-anak nelayan tetap menikmatinya, bermain dan berlari-lari tanpa ada rasa khawatir terjatuh. Sementara para orang tua, sibuk memisahkan ikan tangkapan dari jeratan jaring sebelum matahari terbenam.

“Anak-anak di sini, walau usia Balita sudah jago berenang pak. Kami orang tua, tidak khawatir kalau terjatuh ke air,” kata Udin, nelayan lainnya yang baru menyandarkan perahu keteknya. Berada di TN Sembilang, walau hanya beberapa jam, namun keakraban dengan warga sekitar begitu terasa.
Di samping mencari ikan, masyarakat setempat juga membuat penangkaran burung walet. Kemudian di Barat TN Sembilang terdapat kegiatan budidaya tambak ikan kerapu, yang dilakukan oleh masyarakat pendatang. Ini menunjukkan begitu besarnya potensi alam yang ada di TN Sembilang, sehingga banyak sekali pihak melirik kawasan tersebut terutama bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya sebagi nelayan.
Populasi masyarakat yang terus tumbuh, khususnya di Dusun Sembilang II, yang bersampingan dengan Kantor Seksi Pengelolaan TN Wilayah II Sembilang, mencapai kurang lebih 400 kepala keluraga (KK) atau 1.200 jiwa lebih. Di sana terdapat fasilitas pendidikan bagi anak nelayan, serta tempat peribadatan, Pos Polisi Sektor Banyuasin II, Keamanan Laut dari TNI AL dan Polisi Air. Untuk menuju ke TN Sembilang, hanya bisa ditempuh jalur air. Speedboat salah satunya. Jika kita dari Palembang, moda transportasi dari dermaga Pasar 16 Ilir, Palembang, dengan jarak tempuh kurang lebih 2,5 jam. Biaya transportasi sendiri, berkisar Rp175.000 perorang.

Sesungguhnya, peningkatan jumlah penduduk dan meningkatnya berbagai kebutuhan untuk perumahan, pendidikan anak, kesehatan, kendaraan bermesin, barang elektronik untuk informasi dan hiburan, dan lain sebagainya, merupakan faktor yang harus diwaspadai oleh pihak pengelola TN Berbak dan Sembilang. Sebab, akan mendorong intensitas pemanfaatan sumberdaya hutan dan perairan secara tidak terkendali dan tidak lestari, sehingga mempercepat proses penurunan kualitas SDA dan lingkungan.
Kelola Sendang
Kemitraan Pengelolaan Lanskap Sembilang-Dangku (Kelola Sendang) projek yang dijalankan Zoologicals Society of London (ZSL), sebuah konsorsium yang konsen mengelola kawasan konservasi TN Sembilang, dengan sistem kemitraan publik-swasta-orang, dalam menghadapi tantangan deforestasi, degradasi lahan gambut, kebakaran hutan, dan efek perubahan iklim di lingkup pengembangan Pertumbuhan Hijau. Proyek ini berkonsentrasi pada Sembilang-Dangku lanskap di Kabupaten Musi Banyuasin dan Banyuasin, dengan kawasan konservasi kunci dalam TN Berbak-Sembilang dan Dangku Wildlife Reserve.

TN Sembilang memiliki luas area mencapai 2.051 km2 atau 202.896,31 hektare (ha). Dari luas kawasan tersebut, dibagi ke dalam enam zona yang meliputi: Zona Inti (83.361 ha), Zona Rimba (94.956 ha), Zona Pemanfaatan (4.117 ha), Zona Tradisional (5.272 ha), Zona Rehabilitasi (12.286 ha) dan Zona Khusus (2.900 ha). TN Sembilang, sendiri Kawasan hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar dan hutan riparian, itu merupakan habitat bagi harimau Sumatra, rusa sambar, babi hutan, buaya muara, ikan Sembilang, penyu, dan berbagai spesies burung.
“Tujuan kami (Kelola Sendang), yakni untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan mengurangi deforestasi, memulihkan lahan gambut dan ekosistem hutan. Pengelolaan lanskap juga bertujuan melestarikan harimau Sumatera, yang juga sangat dipengaruhi oleh perubahan. Dengan menciptakan koridor hutan kecil, nantinya dapat menghubungkan lanskap yang sangat penting untuk kelangsungan hidup spesies,” terang Project Director ZSL Prof Dr Damayanti Buchori.
Projek Kelola Sendang, juga mendukung komitmen Green Growth Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel, dalam mengelola lanskap berkelanjutan menuju pembangunan hijau di hutan Sumsel. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi merupakan salah satu dampak negatif muncul kepermukan, sehingga kerap menimbulkan konflik harimau dan manusia. Melihat berbagai konflik itulah, pihak ZSL menjadikan TN Sembilang dan Suaka Margasatwa Dangku, sebagai kawasan konservasi harimau Sumatera untuk diterapkan proyek Kelola Sendang.
Senior Komservasi Biologi ZSL Dr Asep Adhikirana, juga memaparkan bahwa kawasan konservasi untuk menjaga populasi Harimau Sumatera dari kepunahan. Seperti kawasan konservasi Dangku, Muba, yang semula mencapai kurang lebih 49.000 hektare (ha), data 2010. Kini (2016) hanya tersisa 10%, atau kisaran 5.000 ha. Akibat adanya alih fungsi lahan, menjadi hunian penduduk, ilegal logging dan menjadi lahan perkebunan.

Populasi harimau bisa kembali ke jumlah yang cocok untuk keseimbangan genetisnya istilah ilmiahnya viable population, apabila habitat yang cocok untuk kehidupan harimau dikembalikan, ada tempat berlindung dan tersedia rantai makanan untuk berkembangbiakannya. Atau dengan kata lain, restorasi kawasan yang menjadi habitat harimau. Menanaman kembali dengan pengkayaan vegetasi dan penjagaan kawasan hutan tentunya.
Lebih jauh dikatakan Asep, sejatinya tidak ada kawasan yang menjadi ancaman harimau, selama di dalam kawasan ada mata rantai makanan bagi hewan pemangsa ini, seperti kancil, rusa, pelanduk, babi. Maka kawasan tesebut cocok untuk harimau. Kawasan kebun sawit pun tetap aman untuk harimau selama ketersediaan rantai makanan untuk harimau ada. Persoalannya yang dihadapi saat ini banyak kegiatan manusia di kebun sawit, membuat harimau pun menghindar dari zona manusia.
Satu hal yang unik, TN Sembilang menjadi tujuan ribuan burung migran asal Siberia. Burung jenis ini dapat disaksikan di Sembilang, yang mencapai puncaknya pada bulan Oktober. Di samping itu, jenis burung lainnya yang ada seperti blekok asia (Limnodromus semipalmatus), trinil tutul (Pseudototanus guttifer), undan putih (Pelecanus onocrotalus), bluwok putih (Mycteria cinerea), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), dara laut sayap putih (Chlidonias leucoptera), dan lain-lain.

Pada hahekatnya, semua jenis makhluk hidup di alam ini memiliki fungsi penting dalam menjaga ekosistem. Sebagai perumpamaan, terjaganya populasi harimau Sumatera, akan menjadi barometer kawasan tersebut sangat terjaga dan terlindungi. Begitu pula sebaliknya, habitat harimau Sumatera, yang tergerus oleh aktivitas manusia dan perburuan menyebabkan kepunahan. Fenomena, harimau menyerang manusia hal itu pertanda bahwa habitatnya tergerus dan tidak tersedianya makanan, sehingga harus masuk ke perkampungan. (ibr/fornews.co)