PALEMBANG, fornews.co – Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menilai era disrupsi, begitu besar tantangan yang dihadapi bagi media massa saat ini. Pesatnya teknologi informasi seperti media sosial mampu menyedot perhatian publik, lari dari media mainstreams.
Melalui media sosial, membuat masyarakat bukan hanya menjadi penikmat, melainkan terlibat langsung untuk mendistribusikan sebuah informasi. Di sanalah pula, informasi hoaks dengan mudah menyusup bahkan memenuhi informasi publik, karena tidak ada filter (tidak memedomani kode etik jurnalistik).
“Karenanya kami tetap optimis, media akan tetap menjadi acuan publik kapan itu. Yakni bisa dipercaya, karena menggunakan standar dan kode etik secara jurnalisme. Hanya media menjadi tempat publik mencari fakta terhadap informasi di masyarakat yang banyak sekali,” ujar Pengurus AMSI Pusat Suwarjono pada Seminar yang diselenggarakan AMSI Sumsel, Kamis (22/08).
Pemred Suara.com ini juga menekankan kepada media starup di Sumsel, Bagaimana membuat konten tidak sekedar konten, melainkan bagaimana menjalankan bisnis media untuk kelangsungan hidup media itu sendiri.
Ia menjabarkan, ada sekitar 148 juta bangsa Indonesia pengguna fb. Kemudian, ada juga instagram, twitter, youtube, dan lain-lain yang sangat luar biasa. Kenaikan medsos ini imbas terhadap media besar sekali. Bersaing platform, agregator, pemilik akun media sosial yang menjadi endorser.
“Bahkan, media kalah besar penghasilannya dengan youtubers atau endorser di twitter. Padahal media harus bertaruh nyawa dalam menggali informasi, tapi tetap tidak menjadi magnet bagi publik dibandingkan dengan mereka,” jelasnya.
Oleh karena itu, hal yang tetap harus dipegang oleh media, bagaimana bisa menyajikan informasi yang layak dikonsumsi bagi publik. Bukan hanya mengandalkan pengunjung semata, sehingga mengabaikan batasan dalam jurnalisme.
“Kalau media menjadi penyebar hoaks, maka akan menjadi titik kehancuran media itu sendiri,” ujarnya, seraya mengatakan, permaslahan media di era disrupsi ini bukan hanya di Indonesia, melainkan terjadi di seluruh dunia.
“Untuk mengantisipasi hoaks itu sendiri, AMSI punya cek fakta. Ini cara kami menjaga kepercayaan publik. Buat seruan jangan sampai media menjadi penyebar hoaks yang tidak terverifikasi,” imbuhnya.
Sedikit ia juga menjabarkan kenapa hoaks bisa menyebas secara masif. Pertama, hoaks untuk kepentingan politik. Hoaks cepat sekali dan sengaja disebar secara masif sebagaimana terjadi di 2014 dan 2017 pada saat Pilkada DKI Jakarta.
“Pilkada Jakarta, hoaks menjadi salah satu puncak besar sekali. Bahkan media pun belum mengantisipasi,” katanya.
Alasan kedua, ada kepentingan bisnis. Ingin jumlah view dan itu bisa menghasilkan uang. Terhadap kasus ini, pada 2014 dan 2017 Kominfo menutup situs-situs yang dibuat untuk memproduksi hoaks. Serta yang ketiga, terkait isu idiologi atau isu SARA.
Sementara, Rustam Fachri Mendayun, Tenaga Ahli dan Anggota Pokja Pengaduan Dewan Pers menyampaikan, terkait kasus pengaduan terhadap pers dari Januari-Juli 2019, itu ada 165 pengaduan dengan rincian 72 kasus media cetak, 355 kasus media siber, dan 20 penyiaran.
“Walau pada fakta di lapangan yang kami temukan, terkadang medianya tidak salah. Pelapornya saja yang lebay,” katanya.
Dirinya sengaja kepada komunitas media siber di Sumsel, lebih menyinggung soal kredibilitas dari media itu sendiri. Apa yang dilakukan Dewan Pers seperti ada verifikasi media dan uji kompetensi bagi jurnalis/wartawan untuk menanamkan begitu besar tanggung jawab media terhadap publik, serta memahami dan taat kode etik.
“Yang penting memang, harus paham dan taat kode etik. Ironisnya, banyak ternyata wartawan tidak membaca kode etik,” katanya. (ars)